Terancam atau Mengancam: Perang Dingin 2.0, Hari Akhir Kekaisaran, dan Mendayung di antara Dua Karang

Oleh: M. Rafindra Setiawan

Pada hari akhir imperium, baik Romawi maupun Inggris Raya, dan sepertinya sekarang Amerika Serikat, kepemimpinan negara tersebut mempunyai kecenderungan untuk mengalihkan perhatian masyarakat mereka ke musuh di luar perbatasan mereka, agar kontradiksi dan permasalahan internal yang dihadapkan negara tersebut tidak diperhatikan publik serta elite kekaisaran itu dalam posisi yang aman. Walaupun hal tersebut hanya untuk sesaat, disingkirkan dari rakyat mereka. Amerika Serikat (AS) sejak keruntuhan Uni Soviet pada 1991 sudah mempunyai posisi sebagai sole superpower. Hal itulah yang membuat politik internasional mengikuti konsensus yang sudah dibuat oleh Washington, apa yang dipanggil oleh Charles Krauthammer sebagai momen “unipolar” bagi AS. Krauthammer sendiri mengharapkan dalam sebuah esai di majalah Foreign Affairs yang terbit satu tahun sebelum Uni Soviet runtuh. bahwa momen unipolar ini akan membuktikan bahwa tata tertib dunia internasional di bawah lindungan AS adalah sistem yang terbaik bagi dunia. Meskipun demikian, ia pun sadar bahwa itu persepsi yang optimis dan mengundang pembuat kebijakan di luar AS untuk mengambil keputusan dengan sikap tanggung jawab dan berhati-hati. Peringatannya untuk mereka sepertinya tidak didengar dengan baik. Oleh karena itu, ada beberapa pertanyaan untuk kita di awal dekade yang sepertinya akan sangat berdampak luas untuk umat manusia. Apakah ini hari akhir kekaisaran AS, apa logikanya dari narasi Perang Dingin baru dengan Tiongkok, dan bagaimanakah posisi Indonesia dalam “orde baru” dunia ini?

Tiga puluh tahun setelah esai Krauthammer terbit, ketakutannya yang terburuk, ketika AS tidak menggunakan momen unipolar tersebut dengan baik, dan vakum kekuasaan yang masih ditinggalkan Soviet akan diisi oleh aktor yang baru dan tidak mengikuti konsensus Washington, Beijing, ataupun Moskwa. Momen ini tidak dipakai untuk membuat komunitas internasional yang lebih tertib, lebih damai, dan saling menghormati, tetapi justru menghancurkan keseimbangan kekuasaan yang berasal dari keberadaan Soviet sebagai pengimbang dunia. Walaupun Perang Dingin adalah salah satu momen paling kelam dalam sejarah modern manusia, pada saat dunia terancam dihancurkan oleh ribuan senjata nuklir, tetap saja tindakan AS sebagai tameng dan pedang sistem kapitalis global masih terbatas. Akan tetapi, hanya satu dekade antara runtuhnya Soviet, AS meluncurkan perang yang bahkan media mereka sendiri mengistilahkan sebagai “Forever Wars” (NYT, 2017). Peperangan di Timur Tengah yang takkunjung usai dikarenakan kepentingan ekonomi dan militer AS sudah berkecimpung secara mendalam di area tersebut. Hal tersebut menyedot kekayaan nasional AS yang melimpah ruah ke perang yang tidak populer baik secara nasional maupun internasional dan hanya berfungsi untuk merendahkan tradisi demokratis AS dengan perkenalan “National Security State” di era pasca-11 September dan melindungi kepentingan kompleks militer-industri AS dan perusahaan minyak, seperti ExxonMobil dan Halliburton. Oleh karena itu, AS saat ini dapat dibilang mengalami periode penurunan, secara domestik dengan ketidakpuasan publik yang terus merekah, masalah yang beraneka ragam, dan juga status yang relatif lebih lemah dibandingkan dengan kompetitor mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa AS masih menjadi negara adikuasa, walaupun sekarang tidak sendirian dalam posisi itu, ditemani dengan RRT dan bahkan bisa dibilang juga dengan Rusia dan Uni Eropa, yang juga mengambil jalan lebih mandiri dari kebijakan AS di masa administrasi Donald Trump. Akan tetapi, dengan kegagalan sistemis pemerintah dan institusi AS untuk merespons ke permasalahan domestik mereka, seperti rasisme, ketimpangan ekonomi, dan sekarang pandemi COVID-19, kuatnya kepentingan elite politik, bisnis, dan media AS yang menjadi hegemon di dunia (terutama Eropa dan Amerika Utara) untuk mengalihkan perhatian publik kepada musuh eksternal, agar posisi mereka tidak terancam. Trump saja — yang seakan tiada habisnya menerima kritikan dari berbagai pihak — bukan akar satu-satunya dari permasalahan ini. Ia hanyalah satu aktor individu, yang mempunyai kekuatan paling besar dengan merancang kebijakan AS, tetapi ia tidak sendiri dalam posisi itu. Komunitas Kebijakan Luar Amerika Serikat — termasuk think-tank — seperti Council on Foreign Relations dan Brookings Institute, dan media AS juga melebarkan narasi Perang Dingin Kedua setidaknya sejak 2006, saat Jed Babbin, anggota dari administrasi George W. Bush menulis buku yang berjudul cukup tendensius, yakni “Showdown: Why China Wants War With the United States.” Apakah Tiongkok atau AS yang menjadi permulaan sengketa ini bukan pertanyaan yang akan dijawab di esai ini, tetapi satu faktor yang harus dipikirkan adalah fakta bahwa kalangan elite AS memiliki kepentingan dengan memakai narasi ini untuk mereka, secara ekonomi dengan kompleks militer-industri dan juga secara politik untuk pengalihan perhatian publik di masa kelam ini. Selain itu, mereka juga mempunyai sejarah dengan melakukan hal yang sama dengan Uni Soviet, mengancam kepada masyarakat AS bahwa Uni Soviet akan memicu Perang Dunia III, walaupun Uni Soviet sendiri tidak mempunyai kapasitas atau kemauan untuk memulai konflik itu, setidaknya di periode setelah Perang Dunia II (Alexander, 2002).

Dengan semua informasi ini, pertanyaan yang paling penting untuk kita adalah: Bagaimanakah posisi Indonesia dengan Perang Dingin 2.0? Meskipun Indonesia saat ini diklasifikasi sebagai negara yang sudah berkembang — setidaknya oleh AS — pada kenyataannya Indonesia masih di tahap yang krusial dalam pembangunan nasionalnya. Di sisi ekonomi, bahkan sebelum pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah tertatih-tatih dan setelah pandemi, tidak pasti bahwa ekonomi Indonesia bisa kembali ke level sebelum pandemi. Ini juga dengan agenda pemerintah Jokowi yang bermaksud untuk membuat struktur welfare state yang juga berkontradiksi dengan kebijakan Omnibus Law yang jatuh di bawah label neoliberal dengan privatisasi, fokus ke investasi dari luar, dan pelemahan hak-hak pekerja dan buruh di Tanah Air yang mendapatkan serangan dari masyarakat sipil Indonesia yang kritis terhadap kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia (CNN Indonesia, 2020). Secara politik, masyarakat sipil pun sedang terbelah, dengan fokus ke politik identitas berbasis agama dan ras versus elemen sipil yang sekuler dan antara institusi dengan ormas berbau otoriter yang secara tidak resmi didukung oleh pemerintah (Tirto, 2019).

Ini tidak jauh berbeda dari situasi nasional di awal dekade 60-an, pada saat Indonesia berada di antara dua tiang kekuasaan, dahulu Moskwa dan Washington, sekarang Beijing dan Washington. Hasilnya dari kompetisi antara dua negara adikuasa saat tahun 65 adalah kekacauan besar-besaran di Indonesia dan pembentukan rezim Orde Baru di bawah Presiden Suharto, yang didukung AS (Bevins, 2020). Ketika itu, militer dan pemerintah membuat narasi bahwa mereka melindungi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia, saat di belakang layar mereka bekerja sama dengan CIA dan Kemlu AS untuk menekan WNI yang, dalam persepsi pemerintah, mengancam Orde Baru-nya Soeharto dan militer. Belum tentu bahwa sejarah akan terulang kembali, tetapi kita di tahun 2020 harus mengerti sejarah negara kita saat berada di antara dua negara adikuasa, dan mendayung antara dua karang, berdasarkan pemikiran bapak-ibu Republik untuk menjaga kemerdekaan negara dan bangsa dari negara lain yang memandang kita sebagai pion di papan catur kompetisi geopolitik mereka masing-masing.

Referensi

Alexander, A., 2002. Comment: The Soviet threat was a myth. The Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/world/2002/apr/19/russia.comment [Accessed September 19, 2020].

Bevins, V., 2020. The Jakarta method: Washington’s anticommunist crusade and the mass murder program that shaped our world, New York, NY: PublicAffairs, Hatchette Book Group.

C.F.R. Staff et al., 2012. Taking Liberties: The War on Terror and the Erosion of American Democracy; Power and Constraint: The Accountable Presidency After 9/11. Foreign Affairs. Available at: https://www.foreignaffairs.com/reviews/capsule-review/2012-03-01/taking-liberties-war-terror-and-erosion-american-democracy-power [Accessed September 19, 2020].

C.N.N. Indonesia, 2020. Omnibus Law Dinilai Kapitalistik dan Matikan Demokrasi. nasional. Available at: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200222042400-32-477017/omnibus-law-dinilai-kapitalistik-dan-matikan-demokrasi [Accessed September 19, 2020].

Perwitasari, N.H. & Prabowo, H., 2019. Jokowi Didukung Pemuda Pancasila, Amnesty: Itu Sangat Berbahaya. tirto.id. Available at: https://tirto.id/jokowi-didukung-pemuda-pancasila-amnesty-itu-sangat-berbahaya-dikl [Accessed September 19, 2020].

Krauthammer, C., 1990. The Unipolar Moment. Foreign Affairs. Available at: https://www.foreignaffairs.com/articles/1990-01-01/unipolar-moment [Accessed September 19, 2020].

Ndegwa, S., 2020. The world does not need a second Cold War. CGTN. Available at: https://news.cgtn.com/news/2020-08-06/The-world-does-not-need-a-second-Cold-War-SJWMt8l1bq/index.html [Accessed September 19, 2020].

Parenti, M., 1995. Against Empire, Lights.

Youtube.com. 2012. Michael Parenti, The Darker Myths Of Empire: Heart Of Darkness Series. [online] Available at: <https://www.youtube.com/watch?v=OOF56wYTl1w> [Accessed 19 September 2020].

The Editorial Board., 2017. America’s Forever Wars. The New York Times. Available at: https://www.nytimes.com/2017/10/22/opinion/americas-forever-wars.html [Accessed September 19, 2020].

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet