Sinyal Buruk itu Bernama Sektor Informal

Oleh : M. Naufal Fauzan

Jargon “anak muda menjadi pengusaha” akhir-akhir ini menjadi kampanye yang makin marak bagi angkatan kerja muda Indonesia. Tanpa bosan, pemerintah berkali-kali dalam berbagai kesempatan mendorong penduduk usia kerja baru untuk berani mendirikan usaha mandiri kecil-kecilan atau yang biasa kita kenal dengan istilah usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) (Defianti, 2021). Masa pandemi yang menyebabkan banyak orang di-PHK dan kesulitan mencari kerja semakin memperkuat narasi tersebut.

Kampanye menjadi wirausahawan ini bukan berarti UMKM mendesak untuk dibutuhkan, namun, ini semacam sinyal nyata dari makin kecilnya kesempatan kerja di sektor formal bagi angkatan kerja yang baru masuk ke dalam pasar. Oleh karenanya, anak muda sebagai angkatan kerja baru dibebani negara untuk menciptakan kesempatan kerjanya sendiri. Selain itu, mereka juga dituntut untuk menciptakan kesempatan kerja bagi mereka yang tak terserap oleh pasar.

Glorifikasi untuk mendirikan UMKM ini seakan melupakan fakta bahwa sebagian besar dari mereka berada dalam kondisi rentan dan kesulitan untuk berkembang menjadi industri formal. Staf Khusus Menteri Koperasi Fiki Satari mengatakan 93 % dari 64 juta UMKM terdiri dari usaha sektor informal (Wahyudi, 2020). Dengan demikian , mayoritas kesempatan kerja yang ditawarkan UMKM pun berupa pekerjaan yang bersifat informal.

Per Februari 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat proporsi pekerja informal menurun dari 60,47% menjadi 59,62%. Meski demikian, pekerja informal masih menjadi mayoritas dan jumlahnya terus mengalami kenaikan. Jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021, naik 2,64 juta orang dibandingkan Agustus 2020 yang sebanyak 77.68 juta orang (Jayani, 2021). Jika membandingkan secara year on year (yoy), kenaikan jumlah pekerja informal terjadi secara konsisten sejak Februari 2015. Periode Februari 2020 ke Februari 2021 menjadi kenaikan tertinggi dengan tambahan 4,1 juta orang pekerja informal. Tambahan angka tersebut tak terlepas dari pandemi Covid-19 yang selama setahun terakhir menyebabkan banyak pekerja diberhentikan ataupun dirumahkan.

Informalisasi ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari krisis finansial Asia yang terjadi pada tahun 1998. Hal ini dapat terlihat dari proporsi pekerjaan pertama pekerja laki-laki sebelum dan sesudah krisis. Dengan tidak memperhitungkan sektor agrikultural, pada tahun 1996, 70% pekerja laki-laki mendapatkan pekerjaan pertamanya di sektor formal. Jumlahnya kemudian turun menjadi 40% pada tahun 2001 dan stabil pada angka 60% di tahun 2009–2014. Pergeseran sektor dapat dilihat dari meningkatnya pekerjaan pertama pekerja laki-laki di sektor informal dari 15 % pada 1996 menjadi 40% pada 2001. Setelahnya, tren cukup fluktuatif hingga pada tahun 2014 angka berada pada tingkat 27% (Rizky, Suryadarma, & Suryahadi, 2020). Meski untuk saat ini pekerjaan pertama seorang pekerja laki-laki didominasi di sektor formal, tetapi kita belum mampu untuk kembali sebaik kondisi prakrisis. Selain itu, dengan tingkat penurunan yang lambat pada pekerjaan pertama sektor informal, sangat mungkin jumlahnya kembali meningkat tajam saat terjadi krisis ekonomi. Bahkan, jika kita mengacu pada data populasi pekerja, sejak tahun 2000, pekerja informal terus mendominasi dengan angka di atas 50 % seperti yang sudah disinggung pada paragraf sebelumnya.

Dominasi populasi kerja yang bekerja di sektor informal nyatanya masih menjadi problem yang umum terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Afrika misalnya, delapan dari sepuluh pekerja bekerja di sektor informal. Proporsi pekerja informal mencapai 68,2% di Asia-Pasifik, 68,6% di negara-negara Arab, dan 40 % di Amerika Tengah-Selatan. Sedangkan negara-negara maju seperti di Eropa Barat dan Amerika secara total proporsinya hanya 18,1 %. Secara global, jumlah pekerja informal mencapai 2 miliar jiwa atau 61 % dari populasi kerja total (ILO, 2018).

Selain berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, dan akses bisnis yang sulit (ILO, n.d.), informalisasi perekonomian di negara berkembang juga berkaitan dengan terjadinya deindustrialisasi. Transformasi struktural pada negara-negara industri awal melewati tahap pergeseran sektor dari agrikultur menuju manufaktur lalu jasa. Deindustrialisasi yang terjadi oleh pergeseran manufaktur menuju jasa ini umumnya terjadi setelah perekonomian telah mapan. Namun, yang terjadi pada negara-negara berkembang hari ini, deindustrialisasi terjadi sebelum mereka mencapai tahapan perekonomian yang mapan. Fenomena ini biasa disebut dengan deindustrialisasi prematur. Sebagai contoh, Afrika Selatan pada tahun 2007 memiliki pendapatan per kapita yang sama dengan Italia pada tahun 1960. Namun, pada tingkat ini, Afrika Selatan memiliki proporsi pekerja di industri jasa dua kali lipat lebih banyak dari Italia (Ortiz-Ospina & Lippolis, 2017).

Kembali ke Indonesia, struktur ekonomi setelah awal 2000-an mengalami transisi dari sektor manufaktur ke sektor jasa dan informal. Industri manufaktur Indonesia secara distribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami penurunan dari 32 % pada 2002 menjadi hanya 19,9 % pada 2020. Sedangkan negara-negara maju idealnya mengalami penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB saat nilainya mencapai 35 % (Basri, 2019). Struktur perekonomian Indonesia bergeser ke sektor jasa yang minim dalam menyerap tenaga kerja (Basith, 2018).

Peran manufaktur sangat krusial bagi transformasi perekonomian negara-negara berkembang. Selain menjadi motor perekonomian yang paling efektif, industri manufaktur selama ini terbukti efektif sebagai penyerap tenaga kerja formal. Ketika kapasitas industri berkurang, terutama yang terjadi di negara berkembang hari ini, para pekerja formal terdorong untuk menjadi self-employed atau bekerja secara informal (Cáceres, 2018).

Semakin banyaknya orang yang bekerja secara informal sudah seharusnya dilihat sebagai problem yang nyata. Semakin tinggi dominasi sektor informal maka akan semakin tinggi pula jumlah pendapatan pajak yang tidak terkumpul dan pekerja rentan (Surdej, 2017). Kontribusi penerimaan pajak terhadap PDB nasional di Indonesia cenderung rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lain. Pada tahun 2018, Brazil yang memiliki 35% pekerja informal mencatatkan kontribusi penerimaan pajak sebesar 32,16% terhadap PDB. Indonesia yang memiliki 60% tenaga kerja informal hanya menghasilkan kontribusi penerimaan pajak sebesar 11,62% terhadap PDB (OECD, 2018). Dalam hal kerentanan pekerja, menurut studi Habibi dan Juliawan (2018) lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia terkatung-katung dalam kerentanan sejak 1986–2014. Pekerja informal cenderung tidak memiliki kepastian perlindungan hak-hak dasar pekerja seperti kelayakan upah (Rothenberg et al., 2016).

Selain itu, yang menjadi masalah utama dari informalisasi ekonomi adalah perlambatan perekonomian yang diakibatkan rendahnya produktivitas. Mayoritas dari perusahaan informal di Indonesia adalah perusahaan yang sangat kecil dengan pekerja yang tak lebih dari lima orang, kurang efisien, dan dijalankan oleh wirausahawan berpendidikan rendah (La Porta, Rafael, & Shleifer, 2014). Oleh karenanya, perusahaan informal tidak bisa bersaing dengan perusahaan formal yang memiliki produktivitas lebih tinggi. Perusahaan informal hanya akan menyuplai produknya di pasar-pasar lokal dan sulit untuk melakukan ekspansi produksi (Rothenberg et al., 2016). Padahal, Indonesia yang saat ini masih tergolong negara berpendapatan menengah ke bawah sangat membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang cepat untuk dapat naik kelas menjadi negara maju. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri sangat bergantung pada tingkat nilai-tambah produksi.

Alih-alih terus mendorong anak muda untuk menjadi pengusaha kecil-kecilan yang bersifat informal, lebih baik pemerintah mengalihkan fokus pada formalisasi perekonomian. Salah satu caranya adalah dengan kembali membangkitkan industri manufaktur sebagai motor utama perekonomian untuk menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja. Melalui industri yang kuat, masalah-masalah utama yang ditimbulkan ekonomi informal seperti rendahnya penerimaan pajak, kerentanan pekerja, dan produktivitas rendah akan lebih mungkin untuk dikendalikan.

REFERENSI :

Basith, A. (2018, June 26). Ini Penyebab serapan tenaga Kerja di Indonesia rendah. kontan.co.id. Retrieved November 1, 2021, from https://nasional.kontan.co.id/news/ini-penyebab-serapan-tenaga-kerja-di-indonesia-rendah.

Basri, F. (2019, March 26). Indonesia telah Menjelma Sebagai pekonomian jasa. faisal basri. Retrieved November 1, 2021, from https://faisalbasri.com/2019/03/15/indonesia-telah-menjelma-sebagai-pekonomian-jasa/.

Cáceres, L. R. (2018). Deindustrialization, labour and violence in El Salvador. Revista CEPAL. Naciones Unidas Comisión Económica para América Latina y el Caribe (CEPAL). August.

Defianti, I. (2021, April 2). Jokowi: Kita Butuh Banyak Wirausaha Muda Untuk Antisipasi puncak bonus demografi. liputan6.com. Retrieved November 1, 2021, from https://www.liputan6.com/news/read/4522224/jokowi-kita-butuh-banyak-wirausaha-muda-untuk-antisipasi-puncak-bonus-demografi.

Habibi, M. & Juliawan, B. H. (2018) Creating Surplus Labour: Neo-Liberal Transformations and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia, Journal of Contemporary Asia, 48:4, 649–670, DOI: 10.1080/00472336.2018.1429007

ILO. (2018). Women and men in the informal economy: A statistical picture. International Labour Office.

ILO. (n.d.). 13. informal economy (decent work for sustainable development (DW4SD) resource platform). 13. Informal Economy (Decent work for sustainable development (DW4SD) Resource Platform). Retrieved November 1, 2021, from https://www.ilo.org/global/topics/dw4sd/themes/informal-economy/lang--en/index.htm.

Jayani, D. H. (2021, May 7). Berapa Jumlah Pekerja informal pada februari 2021? Databoks Katadata. Retrieved November 1, 2021, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/07/berapa-jumlah-pekerja-informal-pada-februari-2021.

La Porta, Rafael, & Shleifer, A. (2014). “Informality and Development.” Journal of Economic Perspectives, 28 (3): 109–26.

OECD. (2018, October). OECD Economic Surveys Indonesia. Retrieved November 1, 2021, from https://www.oecd.org/economy/surveys/Indonesia-2018-OECD-economic-survey-overview.pdf.

Ortiz-Ospina , E., & Lippolis, N. (2017, October 30). Are emerging economies deindustrializing too quickly? Our World in Data. Retrieved November 1, 2021, from https://ourworldindata.org/growth-and-structural-transformation-are-emerging-economies-industrializing-too-quickly.

Rizky, M., Suryadarma, D. & Suryahadi, A. (2020) Progress and stagnation in the livelihood of informal workers in an emerging economy: Long-term evidence from Indonesia. WIDER Working Paper 2020/143. Helsinki: UNU-WIDER.

Rothenberg, A. D., Gaduh, A., Burger, N. E., Chazali, C., Tjandraningsih, I., Radikun, R., Sutera, C., & Weilant, S. (2016). Rethinking Indonesia’s informal sector. World Development, 80, 96–113. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.11.005

Surdej, A. (2017, August 30). Excessive informal sector: A drag on productivity. OECD. Retrieved November 1, 2021, from https://oecd-development-matters.org/2017/08/30/excessive-informal-sector-a-drag-on-productivity/#fn1.

Wahyudi , N. A. (2020, June 26). Begini Strategi Pemerintah Bantu Pelaku Umkm di Sektor informal: Ekonomi. Bisnis.com. Retrieved November 1, 2021, from https://ekonomi.bisnis.com/read/20200626/9/1258187/begini-strategi-pemerintah-bantu-pelaku-umkm-di-sektor-informal-.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet