Refleksi 70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Vatikan: Tantangan dan Harapan
Oleh: Joshua Jolly Sucanta Cakranegara
Pada 25 Mei 2020 yang lalu, Indonesia merayakan 70 tahun terjalinnya hubungan diplomatik dengan Takhta Suci (Vatikan). Tentu, tidak dapat dipungkiri terdapat tantangan dan rintangan yang dihadapi selama tujuh dekade menjalin hubungan diplomatik tersebut. Oleh sebab itu, esai ini membahas perjalanan historis hubungan diplomatik dua entitas politik ini beserta tantangan demi tantangan yang dihadapinya dan harapan ke depan atas hubungan diplomatik ini.
Ada baiknya kita melihat sejenak bagaimana diplomasi memegang peran kunci dalam eksistensi Republik Indonesia sepanjang sejarahnya. Hubungan internasional yang dipahami dalam dunia modern sejatinya telah terjalin sejak lama, bahkan sebelum ‘Indonesia’ ada. Dalam narasi besar sejarah kita, kita tentu tidak asing dengan peran Tiongkok, India, Arab, dan bangsa-bangsa di Asia Timur pada periode sejarah klasik yang ditandai dengan kerajaan bercorak Hindu, Buddha, hingga Islam di Nusantara. Selanjutnya, kedatangan bangsa Barat, seperti Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan Belanda, sejak abad ke-16 hingga abad ke-20 turut memberikan warna dalam lanskap perpolitikan ‘negara-bangsa’ atau kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara. Dengan kata lain, diplomasi bukanlah ‘barang baru’ di Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, di tengah situasi dunia yang tidak menentu, kekuatan diplomasi adalah salah satu faktor kunci untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya (Vickers, 2011: 170). Kita tidak asing dengan berbagai perundingan sejak 1946 hingga berpuncak pada Konferensi Meja Bundar pada 1949 sebagai titik kulminasi perjuangan diplomasi Indonesia untuk benar-benar menjadi sebuah entitas politik yang merdeka dan — yang jauh lebih penting — berdaulat (Soejono dan Leirissa (eds.), 2011: 203–215). Kita juga cukup familiar dengan peran negara-negara Asia-Afrika, yang notabenenya sama-sama memiliki latar belakang historis serupa, yakni kolonialisme Barat, dalam mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Sebut saja, negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Liga Arab, seperti Mesir, Arab Saudi, Lebanon, Suriah, Irak, dan Afghanistan serta negara-negara Asia Selatan, seperti India, Pakistan, Birma, dan Sri Lanka menjadi negara-negara yang memberikan dukungan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia pada periode awal eksistensi republik ini, yakni sejak 1946 hingga 1947 (Abdullah dan Lapian (eds.), 2012: 237–244).
Berbagai literatur sejarah nasional Indonesia, secara khusus sejarah diplomasi Indonesia, menghadirkan narasi yang kurang lebih serupa, yaitu negara-negara Asia-Afrika merupakan negara-negara pertama yang mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia (Thayeb, dkk., 2004: 150–151). Padahal, sebuah fakta historis yang tidak terbantahkan menyatakan bahwa Vatikan, juga turut berperan di dalam eksistensi Republik Indonesia pada periode awalnya yang kritis. Sayangnya, Vatikan sebagai entitas politik yang merdeka dan berdaulat setelah adanya Perjanjian Lateran pada tahun 1929 tidak mendapatkan ruang yang memadai dalam memori kolektif bangsa dan negara kita, terutama yang berhubungan dengan peran diplomatiknya pada periode awal eksistensi republik ini. Lantas, apa saja peran dan tantangan yang dihadapi Vatikan sejak masa-masa kritis Indonesia pada periode yang dikenal sebagai ‘periode revolusi’ hingga mencapai usia 70 tahun?
Kita mulai dari seorang yang hampir-hampir tidak asing bagi kita, yakni Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Ia merupakan uskup bumiputra pertama di Indonesia. Kedudukannya memegang peran kunci dalam mendorong Vatikan untuk turut menyuarakan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, terutama bagi dunia Barat. Mgr. Soegija, begitu sapaan akrabnya, turut terlibat dalam penentuan duta apostolik (apostolis delegaat) sebagai duta Vatikan untuk Indonesia. Dalam catatan hariannya, ia menuliskan bahwa pada 5 Juli 1947, Mgr. George de Jonghe D’ardoye telah ditunjuk oleh Takhta Suci sebagai duta besar Vatikan untuk Republik Indonesia dan berkedudukan di Jakarta. Penentuan ini tidak terlepas dari saran Mgr. Soegija, agar perwakilan Vatikan tersebut tergolong netral, tidak berkebangsaan Belanda atau Amerika Serikat, sehingga ia dapat bekerja sama dengan semua pihak, secara khusus untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia (Subanar, 2012: 91, 343, 525).
Keberadaan Mgr. George de Jonghe D’ardoye menjadi sangat penting, ketika hampir-hampir bangsa Barat tidak menaruh dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Jika kita berselancar di dunia maya, kita dapat dengan mudah menemukan foto ketiga tokoh tersebut, yaitu Mgr. D’ardoye, Mgr. Soegija, dan Presiden Soekarno. Hal ini menggambarkan bagaimana di awal-awal masa kemerdekaan, Vatikan tidak dapat dilepaskan dari salah satu entitas politik Barat yang memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Berkat Mgr. Soegija, Vatikan menaruh perhatian untuk mendesak negara-negara Barat bersimpati kepada Indonesia. Bahkan, Soekarno sampai-sampai tidak pernah lupa memanggil Mgr. Soegija dengan sapaan “Romo Kanjeng” (“Yang Mulia”) karena jasanya yang besar tersebut.
Hubungan diplomatik ini pun terjalin secara resmi sejak 25 Mei 1950. Berdasarkan laman resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan, hubungan diplomatik tersebut telah terjalin dengan harmonis. Hal ini tidak terlepas dari penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dianut oleh kedua negara, yang senantiasa disuarakan melalui berbagai dialog antariman (interfaith dialogue) untuk memberikan ilham kepada dunia akan perdamaian abadi, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Kemlu RI, 2018). Meskipun Indonesia penduduknya mayoritas memeluk agama Islam, Vatikan mengakui keberagaman Indonesia menjadi sebuah keistimewaan tersendiri. Bahkan, menurut Mgr. Antonio Guido Filipazzi, Duta Besar Vatikan untuk Republik Indonesia pada 2011–2017, menyatakan bahwa hubungan diplomatik ini disebut sebagai “hubungan yang khas”. Hubungan yang khas ini pun terbukti terus terjalin, dengan kunjungan dua Paus ke Indonesia (Paus Paulus VI pada 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada 1989) serta kunjungan empat Presiden Indonesia ke Vatikan (Soekarno, Soeharto, Gus Dur, dan Megawati). Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika hubungan diplomatik kedua negara ini hampir-hampir tidak ada gejolak yang berarti (Elu, 2016).
Melalui hubungan diplomatik yang telah berusia tujuh dekade ini, tentu tantangan senantiasa hadir di sana-sini. Keberagaman Indonesia yang dinilai merupakan keistimewaan juga tidak dapat dipungkiri menjadi ‘ancaman’ yang harus disikapi dengan saksama sejak dini. Oleh sebab itu, tantangan ke depan atas hubungan diplomatik Indonesia-Vatikan adalah bagaimana tetap menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai landasan mewujudkan perdamaian abadi dalam pergaulan internasional. Harapannya jelas, Indonesia dan Vatikan saling meneguhkan, terutama dalam hal agama sebagai pembawa keharmonisan di tengah kehidupan masyarakat, negara, hingga dunia, sampai seterusnya. Semoga!
Referensi
Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian (eds.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang dan Revolusi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Elu, Stefanus P. 2016. “Relasi Diplomatik Khas Vatikan-Indonesia”. Dalam https://nunciatureindonesia.org/relasi-diplomatik-khas-vatikan-indonesia/?lang=id diakses pada 10 Juli 2020.
Kemlu RI. 2018. “Vatican”. Dalam https://kemlu.go.id/vatican/id/read/vatican/701/etc-menu diakses pada 10 Juli 2020.
Soejono, R.P. dan R.Z. Leirissa (eds.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Subanar, G. Budi. 2012. Soegija: Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan. Yogyakarta: Galangpress.
Thayeb, T.M. Hadi, dkk. 2004. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa: Periode 1945–1950 (Buku I). Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.