Protes Greenpeace atas Invasi Rusia: Implikasi Politik Luar Negeri Indonesia
Oleh : Gracia Ayni Warella
Invasi Rusia atas Ukraina telah memicu gelombang antipati di seluruh dunia. Berbagai negara, terlebih Uni Eropa, mengecam Putin dan menyerukan terminasi segala bentuk agresi terhadap Ukraina. Kritik pun tak hanya bersumber dari pimpinan negara, organisasi internasional seperti Greenpeace turut berpartisipasi aktif dalam gerakan solidaritas global bersama korban terdampak konflik Rusia-Ukraina. Hal ini terealisasi melalui aksi pada Kamis, 31 Maret 2022, dimana belasan aktivis Greenpeace mencegat dua kapal tanker di sekitar perairan Denmark, salah satunya adalah Pertamina Prime milik PT. Pertamina International Shipping yang akan menerima 100 ribu ton minyak impor dari kapal Seaoath milik Rusia (Reuters, 2022).
Greenpeace menilai aktivitas impor — tak hanya antara Indonesia-Rusia — berpotensi mendanai invasi secara signifikan. Menurut data pelacakan Greenpeace Inggris, sejak invasi ke Ukraina dimulai setidaknya 299 kapal tanker terdeteksi membawa minyak dan gas dari Rusia, yang 132 diantaranya menuju Eropa (Jenkins, 2022). Terlepas adanya konflik dan sanksi substansial atas perekonomian Rusia, Uni Eropa masih dependen akan impor dari beberapa sumber daya Rusia, terutama bahan bakar fosil. Sikap berbagai negara Eropa dirasa kontradiktif oleh komunitas internasional, seperti Greenpeace. Bagi para aktivis Greenpeace, siapapun yang membeli minyak dari Rusia telah mendukung invasi Ukraina (Lupilina, 2022).
Kebijakan Indonesia untuk membeli bahan bakar fosil dari Rusia didasari pada urgensi impor minyak luar negeri. Pencegatan kapal Pertamina Prime di perairan Denmark dapat dilihat dari dua perspektif berbeda. Pertama, Indonesia dianggap tak mematuhi mandat konstitusi sebagai penjaga perdamaian dunia dengan mengimpor dari Rusia yang merupakan agresor konflik (Nugraha, 2022). Etika dan moral seakan diabaikan demi profit semata, dimana agresi dimanfaatkan sebagai momen untuk mencapai keuntungan ekonomi dengan membeli minyak berharga murah. Pemerintah dinilai dapat mencari negara impor alternatif atau transformasi menuju energi terbarukan dibanding membeli dari Rusia.
Namun, apabila ditinjau dari sudut pandang lain, Indonesia juga memiliki kebijakan politik luar negeri bebas aktif, dimana sanksi unilateral oleh Amerika Serikat, Inggris, maupun Uni Eropa tak wajib dipatuhi, kecuali merupakan bagian dari resolusi Dewan Keamanan PBB. Sebagai negara berdaulat, Indonesia secara fundamental memiliki fleksibilitas dan independensi dalam menjalin relasi kooperasi dengan negara manapun, termasuk di bidang ekonomi. Tak ada kekuatan supranasional selain PBB dengan otoritas melimitasi aktivitas perdagangan Indonesia, menimbang esensi dari prinsip geopolitik bebas-aktif.
Konseptualisasi politik luar negeri Indonesia sendiri diprakarsai oleh Mohammad Hatta dengan aksentuasi pada dua prinsip, yakni bebas dan aktif. Bebas didefinisikan sebagai independensi atas kekuatan adidaya tertentu, sedangkan aktif dimaknai sebagai posisi Indonesia yang secara konsisten berpartisipasi aktif dalam berbagai resolusi problematika internasional (Hatta, 1948). Apabila dikontekstualisasikan dengan konflik Rusia-Ukraina, langkah Indonesia dirasa tepat yakni tidak berpihak pada salah satu negara berkonflik (Sukma, 1995), sehingga pemerintah berhak menjalin relasi perdagangan dengan siapapun, baik Ukraina maupun Rusia. Aksi blokade Greenpeace terhadap kapal Pertamina Prime ini dinilai hanya sebatas protes tanpa otoritas demi memengaruhi kebijakan politik-ekonomi luar negeri Indonesia.
Gracia Ayni Warella adalah anggota divisi Penelitian dan Pengembangan FPCI UGM. Artikel ini melambangkan opini pribadi penulis dan belum tentu mewakili opini FPCI UGM
REFERENSI
Hatta, M. (1953). Indonesia’s Foreign Policy. Foreign Affairs, 31(3), 441–452. https://doi.org/10.2307/20030977
Iswara, A. J. (2022, April 4). Kenapa Indonesia Mau Beli Minyak Rusia Saat Negara Lain Melarang? Halaman all — Kompas.com. KOMPAS.Com. https://www.kompas.com/global/read/2022/04/04/170500370/kenapa-indonesia-mau-beli-minyak-rusia-saat-negara-lain-melarang-?page=all
Jenkins, L. M. (2022, March 27). The Twitter bot tracking Russian oil and gas tankers in real time. Protocol. https://www.protocol.com/climate/russian-tanker-tracking-greenpeace
Lupilina, O. (2022). “No more Russian oil.” Greenpeace International. https://www.greenpeace.org/international/story/52953/no-more-russian-oil/
Nugraha, R. M. (2022, April 6). Greenpeace Indonesia Laments Ethical Issue in Pertamina, Russia Oil Shipment. Tempo. https://en.tempo.co/read/1579013/greenpeace-indonesia-laments-ethical-issue-in-pertamina-russia-oil-shipment
Reuters. (2022, March 31). Greenpeace activists block Russian oil transfer at sea. https://www.reuters.com/world/europe/greenpeace-activists-block-russian-oil-transfer-sea-2022-03-31/
Sukma, R. (1995). The Evolution of Indonesia’s Foreign Policy: An Indonesian View. Asian Survey, 35(3), 304–315. https://doi.org/10.2307/2645547