Potensi Kerja Sama Regional ASEAN dan Harapannya terhadap Aksi Perubahan Iklim Global

Ditulis oleh: Naufal Abiyyu

Jika bukan karena COVID-19, sebagian besar negara yang tergabung dalam Conference of the Parties (COP) seharusnya telah menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) yang semula direncanakan di Glasgow, Skotlandia pada akhir November lalu. Namun, konferensi tersebut terpaksa diagendakan ulang pada tanggal yang sama di tahun selanjutnya, mengingat kondisi pandemi yang masih belum memungkinkan. Berbagai negara di penjuru dunia telah berkomitmen dan berjanji untuk merundingkan aturan dasar atas regulasi emisi karbon global serta upaya untuk meningkatkan ‘National Determined Contributions’ (NDCs), sebuah resolusi di bawah Kesepakatan Paris 2015.

Penundaan konferensi tersebut hingga November 2021 seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan oleh pelbagai negara dalam upaya dekarbonisasi di negaranya. Mengingat krisis iklim yang mengancam berbagai aspek global dan kian memburuk bahkan dengan adanya pandemi. Meskipun beberapa negara telah memperkuat komitmen mereka dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya, hal tersebut menjadi tak-berarti jika tidak diikuti oleh negara-negara lainnya. Uni Eropa (UE) mendeklarasikan “Green Deal”, sebuah rangkaian kebijakan yang bertujuan agar blok tersebut mengurangi GRK sebesar 55% pada tahun 2030, dan menjadi karbon netral pada tahun 2050 (McPhie, 2020). Tak-main-main, UE akan menghabiskan hampir 550 miliar Euro untuk aksi iklim mereka selama tujuh tahun ke depan, terhitung sejak pertengahan tahun 2020 (McPhie, 2020). Upaya negara-negara dalam dekarbonisasi di Asia juga kian serius, dengan tiga negara perekonomian terbesarnya belum lama ini berkomitmen untuk dekarbonisasi ekonomi mereka menuju ‘net-zero-goals’, dengan Jepang dan Korea Selatan pada tahun 2050, dan Cina pada tahun 2060 (IISD, 2020).

Setiap negara di Asia Tenggara telah resmi bergabung dan menandatangani Kesepakatan Paris. Masing-masing negara tersebut telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK-nya dan konsumsi energi tak-terbarukan, meningkatkan penggunaan energi bersih, dan target pembangunan berkelanjutan lainnya (WRI Indonesia, 2020). Namun, pada masa pandemi ini, jalan menuju implementasi hal itu tidaklah mudah, terutama karena perhatian dan sumber daya telah dialihkan untuk menangani pandemi. Sebagai contohnya Indonesia, negara terpadat di ASEAN dan salah satu negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia. Indonesia telah menegaskan kembali komitmennya untuk mengurangi emisi karbon hingga 29% secara mandiri, serta 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 (Wijaya, 2020). Pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, yang menyumbang lebih dari setengah total emisi nasional. Presiden Joko Widodo menjadikan penanganan kebakaran hutan dan kabut asap sebagai prioritas pemerintahannya dengan memberlakukan moratorium pada konsesi minyak sawit baru — faktor penyebab utama deforestasi — dan larangan izin komersial baru di hutan primer dan lahan gambut. Hal yang serupa juga berlaku untuk hampir setiap negara ASEAN.

Kerja sama regional antarnegara ASEAN menjadi sangat penting untuk mendukung dan meningkatkan upaya masing-masing negara dalam mencapai target aksi perubahan iklim sebagaimana yang tercantum dalam resolusi Kesepakatan Paris 2015. Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-25 (COP25) tahun 2019, negara-negara ASEAN sama-sama mengeluarkan pernyataan sikap bersama yang luas dan mendalam mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan, pengurangan intensitas energi dalam industri tak-berkelanjutan, transportasi darat berkelanjutan dan penghematan bahan bakar, serta mitigasi risiko bencana iklim (Gielen, 2020). Meskipun demikian, poin-poin pernyataan tersebut tidak diikuti mengenai bagaimana implementasinya.

Dalam upaya mencapai target perubahan iklim di skala regional, salah satunya dapat dimulai dengan perumusan kerja sama bilateral. Singapore Dialogue on Sustainable World Resources baru-baru ini mengundang Menteri Kelestarian dan Lingkungan Singapura, Grace Fu,, dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Pandjaitan, untuk berdiskusi mengenai kebijakan hijau dan kemitraan regional guna menuju masa depan rendah karbon (Begum, 2020). Kedua menteri tersebut fokus untuk mendesak dan menekankan keuntungan yang bisa didapat dari berinovasi, berinvestasi, dan bekerja sama. Melalui diskusi tersebut, tiga bidang muncul sebagai peluang langsung yang menjanjikan dalam kerja sama regional Indonesia-Singapura.

Pertama, baik Singapura maupun Indonesia menghadapi masalah ketahanan pangan selama masa pandemi. Singapura meluncurkan inisiatif “30 kali 30” untuk menghasilkan 30% kebutuhan nutrisi negaranya secara lokal pada tahun 2030. Selain itu, Indonesia juga telah meluncurkan rencananya untuk membuat ‘food estate’ di atas lahan seluas 770.000 hektar, atau lebih dari sepuluh kali luas Singapura (Nasution, 2020). Indonesia yang kaya gambut dan Singapura yang langka akan lahan memiliki pertimbangan pertanian yang berbeda. Namun, penelitian bersama dan kegiatan pengembangan kerja sama akan menguntungkan kedua negara.

Peluang besar dan mendesak yang kedua terletak pada sektor energi bersih. Indonesia, memiliki tugas besar untuk memberikan akses energi yang andal kepada lebih dari 270 juta masyarakat, dan bergerak untuk mengembangkan energi baru terbarukan hampir seperempat dari bauran energinya pada tahun 2025. Upaya serupa juga sedang dilakukan Vietnam yang bertujuan untuk menggandakan penggunaan energi matahari dan angin menjadi 20% dari pasokan listrik pada tahun 2030 (Briefing, 2020). Hal ini akan mengurangi emisi karbon hingga 15% di negaranya, atau hampir dua kali lipat pengurangan yang dijanjikan negara berdasarkan Kesepakatan Paris untuk dicapai tanpa bantuan pihak internasional (Briefing, 2020). Di Thailand, yang NDC-nya berfokus pada rencana sistem transportasi berkelanjutan, dengan pengembangan angkutan massal Bangkok Mass Transit System (BTS) baru-baru ini telah menerbitkan obligasi hijau kedua (Briefing, 2020). Obligasi tersebut akan mendanai jalur skytrain yang akan membantu mengurangi emisi karbon dioksida hingga 28.000 ton per tahun (Briefing, 2020). Proyek BTS tersebut juga dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk mengubah simpanan emisi ini menjadi kredit karbon.

Singapura, dengan kredensial infrastrukturnya yang kuat, dapat bermitra dengan negara tetangga ASEAN untuk menyumbangkan investasi, teknologi, dan kapabilitas. Sebagai contoh, perusahaan properti, seperti Sembcorp dan lembaga keuangan, seperti DBS memiliki pengalaman yang luas dalam mengembangkan, mendanai, dan melaksanakan proyek-proyek yang layak secara bisnis di wilayah tersebut (Sagar, 2020). Singapura juga menginvestasikan hingga 49 juta Dolar AS dalam mengembangkan teknologi rendah karbon baru, seperti energi hidrogen dan penangkapan karbon, yang pada waktunya dapat berbagi pembelajarannya dengan negara lain.

Ketiga, untuk memotivasi investasi dan kerja sama yang saling menguntungkan, kredit karbon dapat dihasilkan di seluruh kawasan ASEAN. Sebagian dari ini dapat berasal dari pendekatan berbasis alam yang terkait dengan konservasi dan rehabilitasi ekosistem khusus. Indonesia, misalnya bertujuan untuk merehabilitasi sekitar 600.000 hektare hutan bakau yang rusak — ekosistem kritis yang membantu menyimpan karbon dan melindungi dari kenaikan permukaan laut — dalam tiga tahun ke depan.

Oleh karenanya, pandemi telah menggarisbawahi kebutuhan untuk membangun ketahanan terhadap risiko di masa depan, terutama ketahanan terhadap perubahan iklim. Selain itu, ada tantangan nyata untuk menunjukkan bahwa aksi iklim memang dapat memengaruhi perubahan positif bagi masyarakat sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan pertumbuhan ekonomi. Upaya bilateral dan multilateral yang sesungguhnya diperlukan untuk kemajuan yang berarti. Bagi ASEAN, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah berkumpul sebagai komunitas regional yang solid dan berfokus pada aksi iklim serta menghidupkan kembali upaya menuju tujuan bersama menjelang COP26 pada tahun ini.

Referensi

Briefing, V. and Das, K., 2020. Renewables In Vietnam: Current Opportunities And Future Outlook. [online] Vietnam Briefing News. Available at: <https://www.vietnam-briefing.com/news/vietnams- push-for-renewable-energy.html/> [Accessed 1 December 2020].

BEGUM, S., 2020. Sustainability Must Be At Centre Of Recovery: Grace Fu. [online] The Straits Times. Available at: <https://www.straitstimes.com/singapore/sustainability-must-be-at-centre-of- recovery-grace-fu> [Accessed 1 December 2020].

Gielen, D., Boshell, F., Saygin, D., Bazilian, M., Wagner, N. and Gorini, R., 2019. The role of renewable energy in the global energy transformation. Energy Strategy Reviews, 24, pp.38–50.

Hub, I., 2020. Japan, Republic Of Korea Pledge To Go Carbon-Neutral By 2050 | News | SDG Knowledge Hub | IISD. [online] Sdg.iisd.org. Available at: <https://sdg.iisd.org/news/japan-republic-of-korea-pledge-to-go-carbon-neutral-by-2050/> [Accessed 1 December 2020].

McPhie, T., 2020. Press Corner. [online] European Commission — European Commission. Available at: <https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/IP_20_1599> [Accessed 1 December 2020].

Nasution, D., 2020. Kementan: <Em>Food Estate</Em> Bakal Dibangun Di Seluruh Indonesia |Republika Online. [online] Republika Online. Available at: <https://republika.co.id/berita/qiuhbg370/kementan-food-estate-bakal-dibangun-di-seluruh-indonesia> [Accessed 1 December 2020].

Sagar, M., 2020. Singapore Government Announces $49 Million Low-Carbon Energy Research Funding Initiative. [online] OpenGov Asia. Available at: <https://opengovasia.com/singapore-government-announce-49-million-low-carbon-energy-research-funding-initiative/> [Accessed 1 December 2020].

Wri-indonesia.org. 2020. How Can Indonesia Achieve Its Climate Change Mitigation Goal?. [online] Available at: <https://wri-indonesia.org/sites/default/files/WRI%20Layout%20Paper%20OCN%20v7 .pdf> [Accessed 1 December 2020].

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet