Polemik RUU PKS dan RUU KK: Harumnya Budaya Patriarki dalam Lembaga Legislatif di Indonesia

Oleh: Kinaryossy Diva A

Semua orang lahir dari perempuan dan kebanyakan anak dibesarkan oleh perempuan. Akan tetapi, mengapa hak asasi yang mendasar untuk perempuan malah sering dianggap radikal atau dijadikan perdebatan yang tak-berujung? Perempuan di Indonesia masih harus berperang melawan ketidaksetaraan gender dan bahkan kekerasan berbasis gender. Mirisnya, perjuangan ini tidak didukung oleh negara. Negara tidak jarang justru menjadi lawan. Sebab, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menendang pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 dan malah justru melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK).

Pembahasan RUU PKS yang terus ditunda melanggengkan budaya patriarki di Indonesia. Pasalnya, kekerasan dilaporkan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki dan dalam dua belas tahun terakhir kekerasan berbasis gender meningkat sebanyak 792% atau 8 kali lipat menurut Komnas Perempuan (Madrim, 2020). Apabila RUU PKS disahkan, kekerasan seksual dijabarkan menjadi sembilan bentuk, perlindungan diberikan kepada penyintas, dan hukuman berat akan dijatuhkan pada pelaku (Mustinda, 2019). Melihat hal ini, RUU PKS yang ramah gender dan dapat memberikan keadilan pada korban kekerasan, sangat mendesak untuk disahkan. Namun DPR tidak melakukan demikian, tetapi memprioritaskan pembahasan RUU yang dianggap lebih menguntungkan (i.e. RUU Cipta Kerja) dan terus meremehkan urgensi penanganan kekerasan seksual.

Mirisnya, anggota DPR sering ditemui tidak mendukung emansipasi wanita dan tidak berempati pada perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Contohnya saja, Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB, Marwan Dasopang, mengatakan bahwa “pembahasan RUU PKS agak sulit” dan “RUU PKS terlalu liberal dan feminis”. Perkataan Marwan yang merepresentasikan lembaga legislatif tersebut, berbau misoginis dan patriarkis. Bagaimana tidak? Kesetaraan gender dianggap para anggota DPR sebagai suatu hal yang tabu dan radikal. Padahal, memperoleh hak, seperti mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual, gaji yang setara, bebas dari tindakan diskriminasi, mempunyai kesempatan untuk mendapatkan edukasi setinggi mungkin, dan hal serupa, bukanlah hal yang radikal, melainkan bagian dari hak asasi manusia yang fundamental.

Bukti bahwa para anggota lembaga legislatif mengharumkan budaya patriarki semakin jelas dengan fenomena RUU KK yang menjadi bagian dari Prolegnas prioritas tahun 2020. Seakan memperjuangkan agar RUU PKS disahkan secepatnya tidak cukup berat, perempuan Indonesia harus berjuang pula untuk mencegah disahkannya RUU KK. Lantaran, pasal-pasal yang terkandung dalam RUU KK mampu mengganggu gugat otoritas perempuan terhadap rumah tangganya dan dirinya sendiri. Dalam Pasal 25 dari RUU KK, istri diwajibkan untuk mengatur urusan rumah tangga untuk memastikan agar keluarga tetap utuh, dan memenuhi “hak” dari suami mereka. Pasal ini sangat kontroversial dan merugikan bagi perempuan. Permasalahannya, pasal ini membuat negara untuk ikut campur dalam masalah keluarga dan mengharuskan perempuan untuk menjadi penanggung jawab rumah tangga. Padahal, jika sepasang suami-istri sudah mengikat janji setia, selayaknya masalah rumah tangga diselesaikan bersama-sama secara adil.

Di atas itu, RUU KK memiliki tujuan untuk menyeret perempuan ke ranah domestik dan laki-laki ke lapangan kerja (Pasal 25). Padahal, di banyak rumah tangga, justru suami yang mengurus rumah tangga dan istri yang mencari nafkah. Mirisnya lagi, RUU KK yang seharusnya bertujuan untuk “mengharmonisasikan keluarga” malah justru tidak membahas hukuman bagi warga yang melakukan KDRT (Hutabarat, 2020). Padahal, kasus KDRT di Indonesia kerap mengambung setiap tahunnya. Jika RUU KK disahkan, perempuan Indonesia seolah-olah dipukul mundur kembali ke zaman R.A Kartini. Yang mana perempuan diharuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dan tidak memiliki hak atas masa depannya sendiri.

Memandang polemik pembahasan RUU yang tidak ramah gender dan diskriminatif terhadap perempuan, tidak heran bahwa menurut hasil studi dari lembaga riset asal Singapura, Value Champion, Indonesia dinyatakan sebagai negara kedua paling berbahaya untuk perempuan di Asia Pasifik (Knott, 2019). Sedangkan tiga negara yang menduduki posisi negara teraman untuk perempuan menurut Value Champion adalah Singapura, Selandia Baru, dan Australia. Ketiga negara tersebut telah berusaha untuk mengeliminasi ketidaksetaraan gender dengan cara memperkenalkan hukum dan peraturan negara yang ramah gender. Di atas itu, negara-negara yang ramah gender ini juga memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan, sehingga perempuan dapat direpresentasikan dengan baik di ranah politik. Contohnya saja, saat ini Selandia Baru dipimpin oleh PM Jacinda Ardern.

Pada kesimpulannya, RUU PKS yang tak-kunjung disahkan dan RUU KK yang tetap dilanjutkan pembahasannya oleh DPR, menunjukkan bahwa para anggota lembaga pemerintahan berkuasa dengan cara menjegal dan merugikan perempuan. Dapat dimengerti bahwa Indonesia yang tampaknya belum siap dengan kehadiran perempuan yang bebas dari belenggu patriarki. Para stakeholders yang berkuasa mengancam bertumbuhkembangnya para wanita tangguh dan cerdas. Jika generasi pemimpin selanjutnya masih melanggengkan budaya patriarki yang telah terinternalisasi ini, Indonesia akan terus menjadi negara yang tidak aman bagi perempuan.

Referensi

Hutabarat, D., 2020. Komnas Perempuan: RUU Ketahanan Keluarga Seret Perempuan Ke Ranah Domestik. [online] liputan6.com. Available at: <https://www.liputan6.com/news/read/4185119/komnas-perempuan-ruu-ketahanan-keluarga-seret-perempuan-ke-ranah-domestik> [Accessed 16 September 2020].

Knott, K., 2019. Singapore And New Zealand Rated Safest Places For Women In Asia-Pacific Region. [online] South China Morning Post. Available at: <https://www.scmp.com/lifestyle/article/2188707/singapore-and-new-zealand-safest-places-women-asia-pacific-region> [Accessed 16 September 2020].

Madrim, S., 2020. Dalam 12 Tahun, Kekerasan Terhadap Perempuan Naik Hampir 8 Kali Lipat. [online] VOA Indonesia. Available at: <https://www.voaindonesia.com/a/dalam-12-tahun-kekerasan-terhadap-perempuan-naik-hampir-8-kali-lipat-/5319863.html> [Accessed 16 September 2020].

Mustinda, L., 2019. Ini Poin-Poin RUU PKS Yang Belum Juga Disahkan Oleh DPR. [online] detiknews. Available at: <https://news.detik.com/berita/d-4721543/ini-poin-poin-ruu-pks-yang-belum-juga-disahkan-oleh-dpr> [Accessed 16 September 2020].

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet