Perspektif Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Oleh: Aridiva Firdharizki

Dalam dekade terakhir, komitmen negara untuk mengadopsi perspektif pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negerinya kian meningkat (Clinton, 2010; Wallström, 2016). Penerapan perspektif pengarusutamaan gender ini menjelma dalam berbagai upaya, seperti peningkatan representasi perempuan dalam pengambilan kebijakan luar negeri, peningkatan partisipasi perempuan dalam upaya rekonsiliasi konflik, dan diadopsinya norma kesetaraan gender internasional. Hingga saat ini, negara-negara yang dikenal telah mengadopsi prinsip pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negerinya mencakup Britania Raya, Amerika Serikat, Australia, Swedia, Kanada, Norwegia, dan Afrika Selatan. Menariknya, sejak dipilihnya Retno Lestari Priansari Marsudi sebagai menteri luar negeri perempuan pertama Indonesia, upaya pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia juga semakin menguat. Dalam tulisan ini, akan diulas lebih jauh mengenai kebangkitan, kiprah, tantangan, dan masa depan keberlangsungan penerapan pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Pengaruh Kepemimpinan terhadap Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Kepemimpinan menyumbang pengaruh yang cukup besar terhadap orientasi kebijakan publik suatu negara, termasuk kebijakan luar negeri. Salah satu faktor yang memengaruhi diterapkannya prinsip pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik suatu negara adalah dorongan dari pemimpin yang menjunjung nilai feminisme, utamanya perempuan (Bjarnegard and Melander, 2017, p. 481). Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik cenderung menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif gender dan memunculkan kepekaan lebih akan kebutuhan perempuan di masyarakat (Bashevkin, 2014, p. 410).

Dalam kerangka kebijakan luar negeri, penerapan prinsip pengarusutamaan gender juga kerap didorong oleh aktor kebijakan luar negeri perempuan. Tokoh-tokoh perempuan, seperti Margot Wallström di Swedia, Julie Bishop di Australia, Gro-Harlem Brundtland di Norwegia, Nkosazana Dlamini-Zuma di Afrika Selatan, dan Chrystia Freeland di Kanada dinilai kritis dalam memanfaatkan kepemimpinannya untuk menyusun kebijakan luar negeri yang inklusif gender (Aggestam and True, 2020, p. 157).

Di Indonesia, penerapan prinsip pengarusutamaan gender juga didorong oleh dilantiknya menteri luar negeri perempuan pertama Indonesia, yaitu Retno Marsudi. Sejak menduduki posisi tersebut, Retno Marsudi secara tegas mencanangkan berbagai program dengan prinsip pengarusutamaan gender, baik dalam aspek manajerial di internal kementerian maupun dalam penyusunan kebijakan luar negeri Indonesia di ranah internasional.

Kiprah dan Tantangan Penerapan Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Penerapan prinsip pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri dapat dilihat sebagai penjelmaan dari dukungan Indonesia terhadap Sustainable Development Goals — yang merupakan suatu bentuk komitmen internasional — utamanya pada poin kelima yang berkaitan dengan pencapaian kesetaraan gender. Selain itu, diterapkannya prinsip pengarusutamaan gender juga merupakan suatu bentuk aksi dari komitmen Indonesia terhadap beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasinya, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW).

Di Indonesia, kehadiran Retno Marsudi dalam posisi strategis pengambilan kebijakan luar negeri tentu mendatangkan angin segar terhadap orientasi kebijakan luar negeri Indonesia yang sebelumnya belum menekankan prinsip pengarusutamaan gender. Sejak kepemimpinannya, data menunjukkan bahwa terdapat signifikansi penambahan jumlah diplomat perempuan Indonesia (Prajuli & Yustikaningrum, 2019). Selain itu, terlepas dari komposisi partisipasi perempuan di internal Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dalam kepemimpinan Retno Marsudi juga menghasilkan sejumlah kebijakan luar negeri yang menganut prinsip pengarusutamaan gender.

Kebijakan luar negeri dengan prinsip pengarusutamaan gender tersebut salah satunya diadopsi pada sektor keamanan. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia pada Women, Peace, and Security (WPS) Agenda yang diadopsi pada tahun 2000 silam oleh Dewan Keamanan (DK) PBB. Belakangan ini, Indonesia aktif terlibat dalam upaya promosi peran personel perempuan Indonesia sebagai pasukan perdamaian dalam sejumlah misi PBB. Hal ini didorong pula oleh agenda untuk meningkatkan kontribusi pasukan Indonesia dalam misi perdamaian PBB seiring terpilihnya Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB pada 2018. Per 31 Agustus 2018, Indonesia telah mengirim 71 pasukan perdamaian perempuan di beberapa misi PBB, antara lain misi UNIFIL di Lebanon, UNAMID di Sudan, dan UNMISS di Sudan Selatan (Kemlu RI, 2019). Indonesia meyakini bahwa sehubungan dengan tingginya permasalahan berbasis gender dalam misi perdamaian, perempuan memegang peran yang tidak kalah penting dengan laki-laki dalam upaya perdamaian. Selain itu, kehadiran perempuan juga dapat menetralisasi nilai-nilai maskulin yang telah mengakar kuat pada upaya rekonsiliasi konflik (Indriyosanti, 2019, p. 7).

Walaupun aksi-aksi konkret Indonesia dalam penerapan pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri telah terlihat, nyatanya ada pula kebijakan luar negeri Indonesia yang masih tidak sejalan dengan prinsip pengarusutamaan gender. Pada 22 Oktober 2020 lalu, Indonesia baru saja mendukung sebuah deklarasi berjudul “The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family”. Tidak sendiri, Indonesia mendukung deklarasi ini bersama dengan tiga negara yang terkenal represif terhadap perempuan, seperti Saudi Arabia, Irak, dan Libya (Asumsi, 2020). Sesuai dengan namanya, deklarasi ini memiliki tujuan untuk memperkuat peran keluarga dalam masyarakat dan mewujudkan kesehatan perempuan yang lebih baik. Meskipun demikian, poin-poin di dalamnya justru menyubordinasi perempuan dan mengecualikan hak serta pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual untuk perempuan. Hal ini tentu tidak selaras dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam CEDAW dan Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Lebih lanjut lagi, dukungan Indonesia dalam deklarasi ini seolah kembali memburamkan posisi Indonesia dalam upaya pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negerinya.

Masa Depan Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Penerapan prinsip pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang patut diapresiasi. Namun, terlepas dari aksi konkret yang telah dilaksanakan, konsistensi keberpihakan Indonesia dalam penerapan prinsip pengarusutamaan gender masih patut dipertanyakan. Menjadi pertanyaan lanjutan bagaimana prinsip pengarusutamaan gender akan terus berlangsung ketika Retno Marsudi tidak lagi menjabat sebagai menteri luar negeri. Meskipun demikian, tidak patut rasanya apabila kita hanya berandai-andai dan terus terbelenggu dalam pertanyaan-pertanyaan akan ketidakpastian. Oleh karena itu, tugas yang kita emban adalah memastikan bahwa penerapan nilai-nilai pengarusutamaan gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia ini harus terus berlangsung. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan menyuburkan gerakan akar rumput yang mendukung nilai-nilai tersebut.

Referensi

Aggestam, K. and True, J. (2020) ‘Gendering Foreign Policy: A Comparative Framework for Analysis’, Foreign Policy Analysis, 16, pp. 143–162.

Asumsi. (2020) ‘Indonesia Dukung Deklarasi “Penguatan Keluarga” Bersama Negara-negara yang Terkenal Represif terhadap Perempuan’. URL https://asumsi.co/post/indonesia-dukung-deklarasi-penguatan-keluarga-bersama-negara-negara-yang-terkenal-represif-terhadap-perempuan (accessed 11.26.2020).

Bashevkin, Sylvia. (2014) ‘Numerical and Policy Representation on the International Stage’, International Political Science Review, 35(4), pp. 409–429.

Bjarnegard, E. and Melander, E. (2017) ‘Pacific Men: How the Feminist Gap Explains Hostility’, The Pacific Review, 30(4), pp. 478–493.

Clinton, Hillary. (2010) ‘Development in the 21st Century’, Foreign Policy [online]. URL https://foreignpolicy.com/2010/01/06/development-in-the-21st-century/ (accessed 12.1.2020).

Hutabarat, L.F. (2017) ‘Indonesian Female Peacekeepers in The United Nations Peacekeeping Mission’, Jurnal Pertahanan: Media Informasi ttg Kajian & Strategi Pertahanan yang Mengedepankan Identity, Nasionalism & Integrity, 3(3), pp.185–206.

Indriyosanti, A. (2019) ‘Prinsip Gender-Mainstreaming dan Keterlibatan Indonesia dalam Operasi Perdamaian PBB’, IIS Brief [online]. URL https://iis.fisipol.ugm.ac.id/2019/07/25/prinsip-gender-mainstreaming-dan-keterlibatan-indonesia-dalam-operasi-perdamaian-pbb/ (accessed 12.1.2020).

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019) ‘Pengarusutamaan Gender’. URL https://kemlu.go.id/portal/id/read/45/tentang_kami/pengarusutamaan-gender (accessed 12.1.2020).

Prajuli, W.A. and Yustikaningrum, R.V. (2019) ‘Kesadaran Gender dan Kesetaraan dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia’, Kyoto Review of Southeast Asia [online]. URL https://kyotoreview.org/trendsetters/gender-awareness-and-equality-in-indonesian-foreign-policy/ (accessed 11.26.2020).

Wallström, Margot. (2016) ‘State of the Government Policy in Parliamentary Debate on Foreign Affairs’. URL http://www.government.se (accessed 12.1.2020).

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet