Perlombaan Hijau: Siapa yang Akan Memenangi Krisis Iklim dan Ekonomi Dunia di Masa Depan?
Oleh: Alifia Sekar
Datangnya krisis iklim tak-terelakkan lagi. Hari ini kita tidak hanya menyaksikan negara-negara kepulauan kecil, seperti Vanuatu dan Kiribati, yang terancam paling rentan terhadap naiknya permukaan air laut ataupun welfare state, seperti Norwegia saja yang waswas terhadap kenaikan suhu ekstrem. Partai kanan sokongan elite bisnis semacam Australia dan Chile yang sebelumnya memperlakukan krisis iklim sebagai fake science pun, kini mulai menyiratkan urgensinya terhadap pembangunan yang lebih berkelanjutan. Konsekuensinya, perimbangan kekuasaan di dalam skema geopolitik perubahan iklim pasti sedikit banyak akan terpengaruh, menyelaraskan dengan sikap yang diambil masing-masing negara. Transformasi masif terhadap kerangka ekonomi yang baru tersebut bisa jadi kembali melahirkan salah satu titik balik paling penting dalam peradaban manusia. Sama dengan yang terjadi pada revolusi industri pertama, negara-negara yang merebut garis start lebih awal dalam perlombaan hijau inilah yang besar kemungkinan akan mendominasi panggung ekonomi dunia di masa depan. Lantas, menarik bagi kita, untuk mempertanyakan apakah Amerika Serikat (AS) yang sering dijuluki sebagai adikuasa terakhir pascaruntuhnya Uni Soviet, akan tetap mampu mempertahankan singgasananya? Atau dunia justru akan melihat kembali bentuk keterulangan sejarah dari bangkitnya Eropa dan Tiongkok yang berusaha merebut posisi teratas dalam hierarki tatanan global?
Di tengah transfigurasi negara menuju ekonomi hijau, Uni Eropa (UE) selalu terlihat paling getol sejak awal. Tiga tahun pascaperhelatan Kesepakatan Paris, UE menjadi kawasan pertama yang mendeklarasikan ambisinya untuk mencapai carbon neutrality di tahun 2050 (Mulvaney, 2019). Meskipun saat ini secara kolektif UE masih menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia, melalui penyusunan berbagai paket kebijakan yang komprehensif, seperti European Green Deal serta komitmennya menerapkan skema yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pada negara anggota di tahun 2030 (Mulvaney, 2019), jelas menunjukkan keseriusan UE dalam memaknai ratifikasi Kesepakatan Paris. Konsistensi tersebut dapat dilihat pula secara langsung pada progres masing-masing negara anggota, yang mana berdasarkan Climate Change Performance Index (CCPI) tahun 2020, Swedia dan Denmark berhasil menempati dua posisi teratas dari keseluruhan komponen penilaian terkait proteksi iklim (Burck et al., 2019). Pada skala domestik, setidaknya kita dapat menyepakati bahwa UE cukup berhasil menegakkan supremasinya. Namun, bila ingin merebut status sebagai climate leader, posisi ini tentunya tidaklah cukup. Sama dengan skenario masa imperium, negara harus memproyeksikan pengaruhnya secara aktif di luar kawasan. Jika tidak, maka negara lain tidak akan melegitimasi kekuasaannya. Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh European Commission (2019), UE sendiri juga telah berupaya memperluas soft power-nya dengan menjadi donatur utama dari lebih 40% pembiayaan mitigasi krisis iklim secara global. Lantas, sudah cukupkah partisipasi tersebut meletakkan UE sebagai kandidat unggul dari pemenang perlombaan hijau ini?
Agaknya akan terlalu sembrono dalam menjawab pertanyaan tersebut, bila kita belum menimbang munculnya kekuatan ekonomi dunia baru, Tiongkok. Momen krusial bagi masyarakat internasional dalam melihat ikut andilnya Tiongkok pada perlombaan hijau ini bukanlah saat negara tirai bambu tersebut menandatangani Kesepakatan Paris pada tahun 2015. Akan tetapi, saat Tiongkok merebut mikrofon KTT Iklim PBB tahun 2019 di tengah AS, yang seharusnya bertindak sebagai the sole global superpower justru menarik diri secara mengejutkan terhadap perjanjian iklim tersebut. Kala itu, Tiongkok tidak hanya mengikuti ambisi UE dengan menyatakan tekadnya untuk mencapai carbon neutrality pada tahun 2060 (Myers, 2020), secara tersirat ia juga mengejawantahkan posisinya sebagai pengganti Negeri Paman Sam yang dianggap telah gugur masa kejayaannya.
Mirip dengan UE yang menetapkan besaran target emisi secara spesifik pada negara anggotanya, Tiongkok pun melalui rencana pembangunan lima tahun, juga mengalokasikan subtujuan ke masing-masing provinsi dengan memberi target tertentu (Sandalow, 2019). Namun, dalam konteks politik luar negeri, Tiongkok lebih memfavoritkan win-win scenario secara langsung melalui perdagangan serta pengadaan investasi hijau ketimbang memberikan bantuan dana seperti yang dipilih UE. Di satu sisi opsi ini memang dapat menaikkan power play Tiongkok, terutama atas sumbangsih besarnya terhadap pengurangan biaya yang dramatis untuk produksi tenaga surya (Sandalow, 2019) — secara Tiongkok menjadi produsen terbesar tenaga surya dan angin melalui skema padat karya — serta diseminasi proyek hijau yang masif melalui Belt and Road Initiative (Chan, 2018). Akan tetapi, di sisi lain, status Tiongkok sebagai penerbit obligasi hijau terbesar di dunia pun masih banyak mengundang skeptisisme terkait regulasinya yang dinilai dapat memojokkan negara penerima ke dalam debt-trap diplomacy ataupun dukungannya terhadap pembangunan clean coal yang bagi sebagian besar pengamat lingkungan, menyalahi definisi ‘investasi hijau’ yang disertifikasi oleh CBI (Lee, 2017). Pun di beberapa negara, seperti di Venezuela atau Brazil, hanya 7% dari pembiayaan energi oleh Tiongkok difokuskan pada pengembangan tenaga surya dan angin, sementara sisanya masih dialokasikan untuk memperhalus jalannya impor minyak dari negara tersebut (O’Neil, 2019). Terlepas dari pro-kontra yang tercermin, setidaknya Tiongkok jelas mematenkan posisinya dalam perlombaan hijau ini. Masih merujuk pada survei CCPI, Tiongkok pun telah menunjukkan progres yang menjanjikan dengan menjadi kelompok negara kinerja menengah di tahun 2019–2020, setelah sebelumnya tergolong pada kategori negara berkinerja rendah di tahun 2018 terkait perlindungan iklim.
Lantas, bisakah dibilang bahwa pengaruh AS telah benar-benar usai? Menurut Adams (2018), AS sebenarnya telah lama kehilangan statusnya sebagai the center of a rules-based international order. Kegagalan tersebut secara beruntun ditunjukkan dengan invasinya ke Irak di tahun 2003, deklarasi perang dagang melawan Tiongkok, hingga terakhir diperparah dengan sikap impulsif Donald Trump untuk menarik AS dari sebuah perjanjian yang boleh jadi merupakan momentum terakhir dunia dalam menyelamatkan manusia dari krisis terbesar abad ke-21. Semenjak penarikannya di tahun 2017, secara bertahap Trump mulai menghapuskan legasi mantan presiden sebelumnya, Obama’s clean power plan yang sebenarnya dapat membatasi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan oleh PLTB, hingga kembali memberikan subsidi pada PLTB yang sebelumnya telah dihentikan (Clevenger & Herbert, 2020). Tak-hanya kehilangan posisinya dalam percaturan politik global, janji Trump terhadap the war on coal di tahun 2016 untuk kembali memperjuangkan slogan ‘America first’ tersebut pun ternyata justru mengantarkan beberapa PLTB besar di ambang kebangkrutan. AS justru dikalahkan oleh kekuatan pasar yang mana lebih murahnya harga gas alam serta meningkatnya permintaan untuk energi terbarukan membuat batu bara menjadi kurang diminati (Lipton, 2020). Kondisi tersebut harusnya berhasil memberi ancaman pada AS sebelum ia benar-benar kalah telak.
Menakar sikap yang diambil oleh para kekuatan besar tersebut, kita dapat melihat bahwa sejauh ini UE dan Tiongkok masih menjadi satu-satunya aktor yang paling berambisi dalam menyukseskan perlombaan hijau ini. Meskipun demikian, kita masih harus mempertimbangkan munculnya kekuatan baru, seperti Jepang yang baru-baru ini mulai memperlihatkan taringnya terhadap langkah dekarbonisasi di bawah PM Suga, setidaknya menurut Smith, Enders, dan Rushe (2017) kita telah sampai di satu kesimpulan yang sama bahwa mundurnya AS dari komitmen terhadap energi bersih telah menempatkan posisi kepemimpinan global dalam keadaan vakum. Walaupun di satu sisi, terpilihnya Biden dengan janjinya untuk membalikkan kemunduran yang Trump lakukan membuka harapan mengenai keberlanjutan hegemoni AS dalam hal ini ke depannya. Bisa jadi UE dan Tiongkok akan menyusun strateginya sendiri, tetapi bukan tidak mungkin, bahwa kedua kawasan tersebut justru akan bersekutu untuk merebut takhta AS, mengingat kini UE telah menjalin aliansi dengan Tiongkok untuk mempercepat transisi dunia menuju energi bersih. Perlu diingat pula bahwa krisis iklim tidak hanya memengaruhi perimbangan kekuasaan negara-negara maju saja, tetapi juga mampu membawa angin segar bagi negara-negara berkembang. Menurut Paul Steele, seorang ekonom, negara berkembang yang ekonominya tidak terlalu bergantung pada bahan bakar fosil dan pertanian monokoltur jauh akan lebih diuntungkan dari perlombaan hijau ini berkat kemudahan transisinya (Vesper, 2020).
Referensi
Adams, G. (2018). A new world is dawning, and the US will no longer lead it. The Conversation. Available at: https://theconversation.com/a-new-world-is-dawning-and-the-us-will-no-longer-lead-it-98362
Burck, J., Hagen, U., Hohne, N., Nascimento, L., dan Bals, C. (2019). Climate Change Performance Index: Result 2020. German Watch.
Chan, W. S. (2018). How the ‘Belt and Road Initiative’ can be China’s path to green leadership. South China Morning Post. Available at: https://www.scmp.com/comment/insight-opinion/article/2129647/how-belt-and-road-initiative-can-be-chinas-path-green
Clevenger, T. & Herbert, M. (2020). 7 ways the Trump administration is harming the climate. World Resources Institute. Available at: https://www.wri.org/blog/2020/04/7-ways-trump-administration-harming-climate
European Commission. (2019). EU as a global leader. Available at: https://ec.europa.eu/commission/presscorner/api/files/attachment/860252/EU_as_a_global_leader_en.pdf.pdf
Lee, G. (2017). Why some Chinese green bonds are not ‘so green’ in the eyes of international inventors. South China Morning Post. Available at: https://www.scmp.com/business/global-economy/article/2121438/why-are-some-chinese-green-bonds-not-so-green-eyes
Lipton, E. (2020). ‘The Coal Industry Is Back’ Trump Proclaimed, It Wasn’t. The New York Times. Available at: https://www.nytimes.com/2020/10/05/us/politics/trump-coal-industry.html
Mulvaney, K. (2019). Climate change report card: These countries are reaching targets. National Geographic. Available at: https://www.nationalgeographic.com/environment/2019/09/climate-change-report-card-co2-emissions/https://www.nationalgeographic.com/environment/2019/09/climate-change-report-card-co2-emissions/
Myers, S. L. (2020). China’s pledge to be carbon neutral by 2060: What it means. The New York Times. Available at: https://www.nytimes.com/2020/09/23/world/asia/china-climate-change.html
O’Neil, S.K. (2019). China’s green investment won’t undo its environmental damage to Latin America. Council on Foreign Relations. Available at: https://www.cfr.org/blog/chinas-green-investments-wont-undo-its-environmental-damage-latin america#:~:text=China’s%20Green%20Investments%20Won’t%20Undo%20Its%20Environmental%20Damage%20to%20Latin%20America,-An%20aerial%20view&text=While%20solar%20panels%2C%20electric%20buses,to%20degrade%20Latin%20America’s%20environment.&text=Solar%20and%20wind%20energy%20only,percent%20of%20China’s%20energy%20financing.
Sandalow, D. (2019). Guide to Chinese climate policy 2019. SIPA Center on Global Energy Policy. Available at: https://energypolicy.columbia.edu/sites/default/files/file-uploads/Guide%20to%20Chinese%20Climate%20Policy_2019.pdf
Smith, D., Enders, C., Rushe, D. (2017). EU leads attacks on Trump’s rollback of Obamam climate policy. The Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/environment/2017/mar/28/climate-change-eu-leader-trump-executive-order
Vesper, I. (2020). Where will global South rank in new green economic order? SciDev.Net. Available at: https://www.scidev.net/global/environment/news/where-will-global-south-rank-in-new-green-economic-order.html#:~:text=eventually%2C%20polypropylene%20sheeting.-,Paul%20Steele%2C%20chief%20economist%20at%20the%20International%20Institute%20for%20Environment,transition%20to%20the%20green%20economy.