Penanganan COVID-19: Pukulan Lain bagi Hubungan Indonesia-Australia?

Oleh: Dhiah Rizka Raihani

Neighbours can’t be choosers” mungkin dapat menjadi ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan sepak terjang hubungan bilateral Indonesia dan Australia. Dengan perbedaan geografis, demografis, politik, sosial, budaya, dan lainnya yang sangat mencolok, kedua negara bagaikan air dan minyak di dalam suatu wadah bernama kawasan Asia Tenggara-Pasifik. Konsekuensinya, hubungan bilateral antara kedua negara diwarnai dengan fluktuasi kooperasi-konfrontasi yang tiada habisnya, seperti ketika munculnya kasus penyadapan pejabat Indonesia, kontroversi sapi gelonggongan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, dan lain sebagainya. Walaupun keadaan hubungan bilateral dapat dinilai cukup baik selama paruh awal kuartal pertama tahun 2020, khususnya karena Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang akhirnya diratifikasi kedua belah pihak, keadaan ini agak sedikit terguncang setelah World Health Organization (WHO) mengumumkan COVID-19 sebagai krisis kesehatan global. Peningkatan proteksi terhadap warga negara oleh masing-masing pemerintah tampaknya juga meningkatkan prasangka terhadap negara lain yang kedekatan geografis, keadaan demografis, dan infrastruktur kesehatannya dinilai tidak mumpuni dan akan mengancam keamanan nasional. Agaknya inilah yang dipersepsikan Australia terhadap Indonesia.

Pejabat, media lokal, masyarakat umum, dan kalangan lain di Negeri Kanguru tercatat cukup sering melayangkan kritik mengenai penanganan pandemi ala pemerintah Indonesia. Sekitar awal Februari lalu, misalnya ketika COVID-19 masih menjadi guyonan bagi sebagian besar masyarakat karena Indonesia dinilai imun dari virus tersebut, berbagai institusi, seperti Harvard University dan WHO, meragukan kemapanan infrastruktur kesehatan lokal untuk mendeteksi virus tersebut. Keraguan ini dirasakan juga oleh Australia, ketika Kepala Paramedis Australia, Brendan Murphy, menuturkan bahwa Indonesia “seharusnya ada alasan untuk khawatir, mungkin ada kasus yang tak terdeteksi” (CNN Indonesia, 2020). Dengan nuansa skeptisisme yang sama, Profesor Virologi Queensland University, Ian Mackay, sulit memercayai bahwa Indonesia tidak memiliki satu pun kasus positif dan bahwa “ini adalah negara besar, (sehingga) kemungkinan memiliki infeksi yang tidak terdeteksi” (McCauley & Massola, 2020).

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, pun ikut bersuara. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio 3AW, Morrison menunjukkan keraguan terhadap Indonesia dengan mengungkapkan bahwa, “Saya tidak bermaksud (tidak sopan). Indonesia memiliki sistem kesehatan yang berbeda dengan Australia, dan kami memiliki kapasitas yang berbeda untuk memberikan jaminan tersebut” (Putri, 2020). Kritik berikutnya datang di pertengahan Maret ketika lembaga think tank Australia, Lowy Institute, menganggap pemerintah Indonesia tidak siap dan kurang transparan dalam mengendalikan COVID-19 yang mulai merebak sejak awal Maret. Salah satu peneliti sekaligus Direktur Program Asia Tenggara Lowy Institute, Benjamin Bland, menilai bahwa sebelum kasus COVID-19 terkonfirmasi, respons Indonesia melalui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sudah sangat mencemaskan. Bland menganggap wabah varian dari virus corona ini memperlihatkan bahwa pemerintahan Jokowi minim berpikir strategis (CNN Indonesia, 2020).

Tidak berhenti di situ, kritik terbaru dilontarkan melalui artikel tulisan James Massola yang diterbitkan oleh The Sydney Morning Herald pada pertengahan Juni lalu. Dengan judul ‘The world’s next coronavirus hotspot is emerging next door’, artikel ini mengindikasikan bahwa Indonesia sedang kewalahan, bahkan kekalahan, dalam menangani penyebaran pandemi dan meratakan kurva. Di saat dunia internasional berfokus pada tingginya angka infeksi dan mortalitas di Amerika Serikat, India, Rusia, dan Brasil, Indonesia mungkin sedang berada di bawah radar dan akan menjadi hotspot baru di kawasan. Dengan membahas penyebaran kasus selama sepuluh hari terakhir yang berjumlah lebih dari 1000 infeksi baru setiap harinya, artikel ini juga mengikutsertakan kekhawatiran para epidemiolog bahwa jumlah kasus dapat melewati 60.000 (saat itu 42.762) dalam dua minggu ke depan (Massola, 2020). Prediksi itu tidak meleset karena lebih dari satu bulan setelah artikel tersebut dipublikasikan, Indonesia melampaui jumlah kasus di Cina, dengan jumlah sebesar 121.226 kasus per 7 Agustus 2020.

Lalu, bagaimana tanggapan pemerintah Indonesia mengenai kritik bertubi-tubi ini? Menanggapi pernyataan PM Australia, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kementerian Kesehatan saat itu, Achmad Yurianto, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia sudah melakukan segala hal sesuai dengan prosedur dari WHO. Yuri lantas menyarankan kepada pihak-pihak yang ragu dengan ketiadaan kasus COVID-19 di Indonesia agar menanyakan langsung kepada WHO. “Jangan mengukur menggunakan standar Australia. Indonesia bukan Australia, Australia bukan Indonesia,” ungkapnya. Dua hari berselang, giliran Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang memberikan tanggapan. “Ragu ya biasa saja. Nanggapin orang ragu ya pusing,” kata Terawan seperti dilansir CNN Indonesia (Putri, 2020). Di sisi yang lain, menanggapi tulisan Massola, Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyebutkan bahwa kondisi Indonesia saat ini sudah mendekati hotspot baru. “Memang sudah seperti hotspot sekarang,” ujarnya. Menurut Pandu, tak-ada yang salah dengan artikel tersebut. Evaluasi penulis disebut komprehensif karena melihat keseriusan Indonesia dalam menangani pandemi, melaksanakan PSBB. “Ini kekhawatiran negara tetangga, jangan dianggap menjelek-jelekkan Indonesia. Justru jadi suatu dorongan untuk Indonesia menangani COVID-19 dengan lebih baik,” tuturnya (Nursastri, 2020).

Walaupun hubungan bilateral Indonesia dan Australia terkesan sempat memburuk karena hal ini, kedua negara tampaknya tidak ingin berlama-lama larut dalam ketegangan karena permusuhan mungkin adalah hal terakhir yang diinginkan saat ini. Benar saja, pada pertengahan Juni lalu, sebagai bagian dari komitmen untuk mendukung upaya respons dan pemulihan COVID-19, Australia menyalurkan dana bantuan sebesar 4.2 juta Dolar AS kepada Indonesia melalui WHO (WHO, 2020). Berdasarkan joint statement oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan WHO Indonesia, dana tersebut bertujuan untuk memperkuat laboratorium Indonesia, meningkatkan cara Indonesia mengumpulkan dan menggunakan informasi kesehatan, serta membantu melindungi pasien dan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. “Sebagai tetangga dan mitra jangka panjang, Indonesia dan Australia berada dalam posisi yang baik untuk mengatasi tantangan ini bersama-sama,” ungkap Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan (Pinandita, 2020). Sejauh ini, dapat dinilai bahwa krisis kesehatan global yang menjadi ‘cobaan’ bagi hampir semua negara dalam berbagai sektor, tidak terkecuali hubungan bilateral Indonesia dan Australia, tidak menjadikan keadaan terus-menerus memburuk. Seperti idiom “every cloud has a silver lining”, banyak potensi penguatan solidaritas dan kerja sama internasional yang juga muncul, seperti dalam kasus hubungan antara Indonesia dengan Australia ini. Toh, cooperation is needed now more than ever.

Referensi

‘Australia and WHO working together to support Indonesia’s response to COVID-19,’ WHO (daring), 16 Juni 2020, <https://www.who.int/indonesia/news/detail/16-06-2020-australia-and-who-working-together-to-support-indonesia-s-response-to-COVID-19>, diakses pada 28 Juli 2020.

‘Jejak Kritik Australia atas Penanganan Corona di Indonesia,’ CNN Indonesia (daring), 25 Juni 2020, <https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200625111616-106-517322/jejak-kritik-australia-atas-penanganan-corona-di-indonesia>, diakses pada 22 Juli 2020.

Massola, J., ‘The world’s next coronavirus hotspot is emerging next door,’ The Sydney Morning Herald (daring), 19 Juni 2020, <https://www.smh.com.au/world/asia/the-world-s-next-coronavirus-hotspot-is-emerging-next-door-20200619-p5549q.html>, diakses pada 28 Juli 2020.

McCauley, D. & James Massola, ‘GPs test Bali travellers for coronavirus as 100,000 Aussies visit,’ The Sydney Morning Herald (daring), 20 Februari 2020, <https://www.smh.com.au/politics/federal/gps-test-bali-travellers-for-coronavirus-as-100-0000-aussies-visit-20200220-p542mg.html>, diakses pada 28 Juli 2020.

Nursastri, S.A., ‘Media Australia Sebut Indonesia Hotspot Baru Corona, Ini Tanggapan Ahli,’ Kompas (daring), 24 Juni 2020, <https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/24/120300123/media-australia-sebut-indonesia-hotspot-baru-corona-ini-tanggapan-ahli?page=all>, diakses pada 28 Juli 2020.

Pinandita, A., ‘Australia pours out $4.2 million in aid for Indonesia’s COVID-19 response through WHO,’ The Jakarta Post (daring), 17 Juni 2020, <https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/16/australia-pours-out-4-2-million-in-aid-for-indonesias-COVID-19-response-through-who.html>, diakses pada 28 Juli 2020.

Putri, C.A., ‘Heboh PM Australia Ragukan RI yang Kebal Virus Corona, Why?,’ CNBC Indonesia (daring), 1 Maret 2020, <https://www.cnbcindonesia.com/news/20200301205817-4-141575/heboh-pm-australia-ragukan-ri-yang-kebal-virus-corona-why>, diakses pada 28 Juli 2020.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet