Paviliun Indonesia dalam UNFCCC COP-24 Katowice: Kontradiksi Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia

oleh Andeta Karamina dan Farid Angkasa Mukti

Artikel ini adalah bagian dari Foreign Policy in Review 2018, rilis tahunan yang dibuat oleh FPCI chapter UGM yang berisi tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa penting politik luar negeri Indonesia sepanjang satu tahun.

Unduh versi lengkap pdf “Foreign Policy in Review 2018" di http://ugm.id/FPIR2018

Konferensi Perubahan Iklim Katowice COP-24 telah diselenggarakan di Katowice, Polandia pada tanggal 3–14 Desember 2018 lalu. Konferensi ini merupakan acara tahunan yang diadakan di bawah kerangka kerja UNFCCC, yang berfungsi sebagai rapat formal dari seluruh pihak (Conference of the Parties — COP) untuk mengevaluasi kemajuan usaha global untuk menangani perubahan iklim (“History of the Convention”, 2019). Tugas utama dari COP adalah untuk menilai sejauh mana implementasi perjanjian telah dilakukan, dan menyepakati kesepakatan dan/atau aturan yang diperlukan untuk memenuhi efektivitas pencapaian implementasi secara objektif (“Conference of the Parties (COP)”, 2019). Agenda dari COP-24 dalam garis besar meliputi dua kunci utama, yaitu implementasi Paris Agreement dan meningkatkan ambisi negara untuk mencapai target emisi karbon dunia 2020. Di dalam rangkaian acaranya, Konferensi Iklim PBB 2018 terdiri atas 24 sesi dari COP (COP-24), 14 sesi dari pihak-pihak di dalam Protokol Kyoto (CMP-14), dan konferensi dari pihak penandatangan Kesepakatan Paris (CMA-1.3) (“Conference of the Parties (COP)”, 2019).

Indonesia turut meramaikan perhelatan konferensi dengan menjadi salah satu pengisi acara dalam paviliun internasional sebagai manifestasi soft diplomacy. Paviliun Indonesia memiliki tema “Climate Change, Society Change: Let’s Work-Up and Team-Up”, dan terdiri atas talkshow, pameran, pertunjukan seni, dan diskusi informal. Paviliun tersebut ditujukan sebagai sebuah wadah untuk menyampaikan perkembangan terkini dari upaya Indonesia dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (“Pavilion Indonesia”, 2019). Selain itu, pembukaan paviliun juga bertujuan untuk mempromosikan pencapaian inovasi dan aksi nyata negara dalam mengatasi tantangan iklim global selama ini. Soft diplomacy digunakan sebagai strategi untuk membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain, khususnya di level internasional, dalam upaya pengendalian perubahan iklim.

Penyampaian Capaian Implementasi Kesepakatan Paris

Dalam Paviliun Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan secara langsung kepada press yang hadir bahwa Indonesia memang telah menunjukkan komitmen pelaksanaan Kesepakatan Paris dan karenanya posisi Indonesia telah cukup kuat di UNFCCC. Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, Menteri Siti menyebutkan, Indonesia sudah lebih baik dalam implementasi Kesepakatan Paris dan karenanya dapat menjadi aktor yang aktif dalam mendukung negara berkembang lainnya. Kemajuan pencapaian Indonesia antara lain dengan adanya sistem registrasi nasional di mana setiap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat, LSM, dan akademisi akan didaftarkan secara transparan (Christiastuti, 2019).

Dr. Ruandha Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Republik Indonesia, di Paviliun Indonesia juga menyebutkan bahwa REDD+ di Indonesia telah berada pada fase implementasi penuh baik pada tingkat nasional maupun sub nasional. Target kontribusi bidang kehutanan sebesar 17,2% penurunan emisi karbon dari total target sebesar 29% NDC[1] akan dicapai melalui strategi implementasi NDC dan 4 aksi utama: menekan laju deforestasi tidak melebihi 0,45 juta ha/tahun, peningkatan implementasi sustainable management pada hutan alam produksi dan hutan tanaman, rehabilitasi 800.000 ha lahan terdegradasi per tahun, dan restorasi 2 juta ha lahan gambut dengan tingkat keberhasilan 90% hingga tahun 2030. Sistem informasi juga telah dikembangkan dalam mendukung pelaksanaan REDD+ sebagai bentuk prinsip transparansi yaitu Sistem Monitoring Hutan Nasional, SRN PPI, SIGN SMART, dan SIS REDD+ (Direktorat Jenderal Pengengalian Iklim, 2019).

Realita Mitigasi Perubahan Iklim Indonesia

Pada tahun 2017, terjadi penurunan sejumlah 60% atas pepohonan di hutan Indonesia dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa peran Indonesia di lapangan masih minim untuk mencapai target 2020. Fakta tersebut merupakan suatu pencapaian yang patut dibanggakan di mana 0,2 gigaton emisi karbon dioksida berhasil untuk tidak dilepaskan ke atmosfer, akan tetapi, saat ini Indonesia menjadi penyumbang kelima terbesar emisi gas rumah kaca di dunia (Coca, 2019b). Pernyataan Menteri Siti di Paviliun Indonesia dalam COP-24 sejatinya tidak menampakkan realita sebenarnya dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh pemerintah. Deforestasi dan degradasi hutan & peningkatan emisi karbon Indonesia masih menjadi permasalahan klasik yang belum tertangani.

Narasi perkembangan ekonomi masyarakat daerah mendominasi dialog mengenai produksi minyak sawit di Paviliun Indonesia (Coca, 2019a). Sebagian pembicara berusaha untuk menepis argumen yang mengatakan bahwa industri minyak sawit hanya menghasilkan kerusakan, karena keberadaannya memberikan kesempatan masyarakat daerah untuk terangkat dari kemiskinan. Pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan komitmennya untuk memberhentikan deforestasi hutan guna pengembangan perkebunan sawit pada tahun 2011 (Coca, 2019a). Namun, besarnya permintaan pasar dan kepentingan pihak-pihak tertentu membuat praktik deforestasi terus dilanggengkan, salah satunya di Hutan Sumatra dan Kalimantan. Setidaknya 10.000 mil persegi dari hutan dan lahan gambut telah hilang sejak dilaksanakannya moratorium 2011 (Coca, 2019a). Deforestasi justru berpotensi untuk mengalami peningkatan dengan adanya rencana memperluas produksi minyak sawit untuk konsumsi bahan bakar hayati dan membangun 100 pembangkit listrik batu bara di seluruh wilayah negara (Coca, 2019c). Deforestasi Indonesia selama tahun 2001 hingga 2017 sendiri mencapai 24.4Mha atau setara dengan hilangnya 15% total luas hutan sejak tahun 2000 dan menghasilkan emisi karbon sebesar 2.44Gt. Mayoritas emisi karbon Indonesia (240–447 juta ton per tahun) berasal dari agrikultur dan alih fungsi hutan untuk pertanian (2019). Kebakaran lahan gambut akibat deforestasi hutan turut pula menyumbang besarnya emisi yang dihasilkan oleh Indonesia setiap tahunnya.

Investasi Indonesia untuk pembangunan yang berkelanjutan sangat kecil, sistem transportasi yang masih didominasi oleh infrastruktur penunjang kendaraan pribadi alih-alih untuk mendorong pembangunan transportasi umum ramah lingkungan (Coca, 2019). Begitu pula dengan pengembangan sektor energi baru terbarukan. Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) mengakui bahwa dirinya pesimis Indonesia mampu mencapai target 23% dari total energi di Indonesia berasal dari sumber energi baru terbarukan pada tahun 2025 dalam Kesepakatan Paris. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif dari Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat bahwa meski Indonesia telah mampu membangun dua pembangkit listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan, masing-masing berkapasitas 75 Megawatt dan 70 Megawatt, energi baru terbarukan hingga kini hanya menyentuh 13% dari total energi yang diproduksi Indonesia. Angka investasi untuk energi baru terbarukan hingga kuartal ketiga tahun 2018 hanya di angka $1,16 miliar, terus menurun dari $1,34 miliar pada tahun 2017 dan $1,57 miliar pada tahun 2016 (“Indonesia Struggles to Meet Renewable Energy Target”, 2019).

Soft Diplomacy Paviliun Indonesia sebagai Manuver Menjaga Reputasi

Indonesia sedang menunjukkan diri sebagai aktor aktif dalam politik internasional. Hal ini ditunjukkan dengan partisipasinya dalam upaya penyelesaian berbagai isu internasional serta keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi internasional. Indonesia memainkan peran penting pada upaya penyelesaian krisis kemanusiaan Rohingya dengan memberikan formula “4+1”, menjadi satu-satunya perwakilan ASEAN dalam G-20, berperan aktif di IORA dengan menjadi ketua pada periode 2015–2017 dan menghasilkan IORA Concord, hingga terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019–2020. Dengan berbagai posisi penting dan peran aktif Indonesia di politik internasional, maka menjadi strategis bagi Indonesia untuk mempertahankan legitimasinya dengan menjaga reputasi baik yang dimilikinya di komunitas internasional, salah satunya melalui soft diplomacy dalam Paviliun Indonesia di COP-24.

Meski begitu, realita pencapaian yang belum cukup memuaskan dan terkesan kontradiktif dengan apa yang ditampilkan di paviliun akan dapat merugikan Indonesia, terlebih isu perubahan iklim dalam jangka panjang juga berpotensi untuk menambah persoalan ekonomi dan sosial di Indonesia. Diperlukan evaluasi lebih lanjut terhadap kebijakan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.

Tinjauan Ke Depan

Delegasi Indonesia untuk COP-24 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki perhatian terhadap urgensi kerangka modalitas, prosedur, dan arahan untuk mencapai NDC bagi tiap negara. Dibutuhkan pula transparansi sistem terkait pengukuran, pelaporan, dan verifikasi dari setiap aktivitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim agar setiap tindakan mendapat pengakuan internasional di bawah UNFCCC (“Pavilion Indonesia”, 2019). Kebutuhan terhadap modal sebenarnya telah direspon positif oleh CEO Bank Dunia, Kristalina Georgiewa, yang mengumumkan penggandaan investasi lima tahun untuk mendukung inisiatif perubahan iklim, dengan pengalokasian US$ 200 miliar mulai tahun 2020. Namun, UNFCCC masih memerlukan dorongan untuk membentuk dan menyepakati suatu mekanisme komprehensif yang menjadi pendukung upaya pencapaian NDC; dan dorongan ini diharapkan untuk lebih banyak lagi datang dari negara anggota.

Kurangnya kehendak politik oleh pihak otoritas pemerintah untuk berkomitmen dalam implementasi kebijakan perubahan iklim memberikan kesempatan pada pihak-pihak tertentu untuk mendorong kepentingannya atas deforestasi demi minyak sawit. Melihat kenyataan di lapangan, dapat dikatakan bahwa pemerintah Indonesia masih belum memprioritaskan kelestarian hutan untuk mengurangi emisi karbonnya. Narasi dominan perkembangan ekonomi di atas proteksi hutan yang digunakan oleh beberapa pihak di pemerintahan maupun swasta, menjadikan perkembangan mitigasi penanganan iklim Indonesia terhambat secara signifikan. Aksi nyata memang sudah dilakukan, dan dipaparkan pula di Paviliun Indonesia, namun apabila praktik deforestasi hutan demi kepentingan industri minyak sawit masih terus dilanggengkan, maka Indonesia tidak akan berhasil dalam mencapai target Kesepakatan Paris 2020. Apabila Indonesia gagal untuk mengurangi emisi dan membangun infrastruktur ramah lingkungan, upaya kolektif masyarakat internasional untuk mencapai target iklim global akan terbuang sia-sia. Lingkungan tidak seharusnya diperlakukan sebagai public goods. Berpacu dengan waktu, setiap pihak yang ada di dalamnya, tidak terkecuali Indonesia, perlu benar-benar memberikan kontribusi agar tidak terjadi tragedy of the common dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.

[1] Nationally Determined Contribution, target penurunan emisi karbon nasional yang telah ditentukan dalam Kesepakatan Paris.

Referensi

(2019). Retrieved from http://data.globalforestwatch.org/datasets/d33587b6aee248faa2f388aaac96f92c_0

Christiastuti, N. (2019). Ini yang Diperjuangkan Indonesia dalam COP24 di Katowice. Retrieved from https://news.detik.com/read/2018/12/04/194828/4330394/10/ini-yang-diperjuangkan-indonesia-dalam-cop24-di-katowice

Coca, N. (2019a). Despite Government Pledges, Ravaging of Indonesia’s Forests Continues. Retrieved from https://www.climatepolicylab.org/news/2018/12/7/a-morning-at-the-unfccc-cop24-indonesia-pavilion-illustrates-the-tension-behind-common-but-differentiated-responsibilities

Coca, N. (2019b). The most important country for the global climate no one is talking about. Retrieved from https://www.vox.com/energy-and-environment/2018/12/5/18126145/indonesia-climate-change-deforestation

Coca, N. (2019c). The Other Country Crucial to Global Climate Goals: Indonesia. Retrieved from https://thediplomat.com/2018/03/the-other-country-crucial-to-global-climate-goals-indonesia/

Conference of the Parties (COP). (2019). Retrieved from https://unfccc.int/process/bodies/supreme-bodies/conference-of-the-parties-cop

Conference of the Parties (COP). (2019). Retrieved from https://unfccc.int/process/bodies/supreme-bodies/conference-of-the-parties-cop

History of the Convention. (2019). Retrieved from https://unfccc.int/process/the-convention/history-of-the-convention

Indonesia Struggles to Meet Renewable Energy Target. (2019). Retrieved from https://www.voanews.com/a/indonesia-struggles-to-meet-renewable-energy-target/4679578.html

Pavilion Indonesia. (2019). Retrieved from http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/cop24/rev-RAPAT_Pleno_DELRI-Indonesia_Pavilion-23_November_2018.pdf

Peningkatan Tata Kelola Kehutanan melalui Implementasi REDD+ dalam Konteks Paris Agreement (Pembelajaran pelaksanaan program FCPF Carbon Fund) Indonesia Pavilion- COP24, Katowice, Poland Jumat, 14 Desember 2018 — Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. (2019). Retrieved from http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3293

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet