Paralisis Inggris, Hilangnya Sanitas: Teka-teki Implikasi Brexit pada Keseimbangan Eropa Kontinental
Oleh: Khalil Makarim
Sejarah Eropa modern tidak lepas dari keseimbangan kekuasaan regional; tiada negara yang berhasil mendominasi geografi Eropa dalam jangka berkepanjangan. Hal ini telah memicu berbagai konflik antarnegara atau aliansi-negara pada masa lalu, sebagaimana yang terjadi dengan kedua perang berskala global. Namun, pengalaman-pengalaman tersebut telah membantu dalam menciptakan kondisi Eropa yang lebih bersatu dalam payung persekutuan Uni Eropa.
Setelah periode dua puluh tahun yang relatif damai pascaruntuhnya “Tirai Besi” di Eropa Timur, telah muncul kembali konflik-konflik besar yang mengancam stabilitas kekuasaan tersebut. Dekade terakhir telah ditandai dengan kebangkitan negara-negara, diawali oleh Rusia, diikuti oleh Tiongkok dan Turki, sebagai ancaman terhadap hegemoni negara-negara Eropa, konflik berkepanjangan antarmasyarakat secara internal, serta berkurangnya dukungan moral dan materiel dari negara-negara yang umumnya menjadi mitra kerja penting negara-negara Eropa (Martill and Staiger, 2018, p. 264). Dengan adanya reorientasi kebijakan luar negeri negara-negara tersebut bergerak menuju isolasionisme, setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atas dasar hasil referendum yang dilakukan tahun 2016 lalu atau Brexit. Peristiwa-peristiwa ini berlawanan dengan tradisi yang terbentuk pasca-Perang Dunia II, yang mana kedua negara telah berperan besar dalam pembentukan keseimbangan regional sebagai “wasit” antara kepentingan negara-negara Eropa kontinental. Meskipun sikap menutup diri AS sering kali ditanggapi dengan lebih serius oleh komunitas internasional mengingat statusnya sebagai negara adidaya, pada kasus ini, sikap Inggris lebih disorot, mempertimbangkan jarak geografisnya yang lebih dekat serta relasi multisektoral yang lebih kuat dengan negara-negara Eropa kontinental secara historis.
Terjadinya Brexit, meskipun terkesan mengejutkan komunitas internasional, merupakan hasil puncak dari advokasi selama lebih dari dua dekade. Berakar dari diskusi-diskusi berkepanjangan mengenai isu identitas kebangsaan serta kedaulatan, yang mana sebagian kekuatan kenegaraan, didelegasikan kepada Parlemen Eropa di Brussels, isu-isu tersebut kemudian memiliki dampak yang besar terhadap adanya referendum tahun 2016 serta kemenangan advokat Brexit pada referendum tersebut (Malik, 2018, p. 94). Diskusi-diskusi tersebut, yang membelah penduduk hampir sama rata, menjadi salah satu alasan utama terhadap instabilitas internal Inggris selama satu dekade terakhir, yang turut berkontribusi terhadap lumpuhnya kemampuan Inggris untuk aktif berpartisipasi dalam komunitas internasional. Namun, perubahan sikap pemerintahan Inggris terhadap negara lain, terutama dengan negara-negara anggota UE, memiliki potensi yang lebih besar untuk melumpuhkan peran internasionalnya.
Sikap politik internasional yang cenderung hati-hati pada masa pemerintahan Theresa May cenderung telah berubah menjadi sikap yang lebih agresif pada masa pemerintahan Boris Johnson, dengan penggunaan segala cara dalam upaya “pengembalian kedaulatan nasional”, yang ditandai dengan eskalasi konfrontasi dengan UE serta peningkatan keberanian pemerintah untuk melanggar perjanjian-perjanjian internasional, sebagaimana yang dilakukan dalam upaya perbaikan regulasi perdagangan di Irlandia Utara yang telah berlangsung sejak bulan lalu. Meskipun menjadikan Inggris lebih asertif dalam upaya mencapai agenda kedaulatan tersebut, sikap pemerintah Inggris menimbulkan berbagai pertentangan dari analis-analis serta dari negara-negara UE, yang berpeluang untuk memojokkan Inggris pada pojok yang mana mereka tidak dapat keluar. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan penawaran Inggris dalam pembentukan perjanjian bilateral ataupun multilateral, dengan hilangnya elemen kepercayaan komunitas internasional sebagai mitra yang baik.
Brexit dijual oleh advokatnya dengan dasar bahwa Inggris akan lebih berdaulat, akan lebih berpotensi dalam memaksimalkan perekonomiannya, akan menjadi negara yang lebih terbuka dalam hal kerja sama internasional, dikemas dalam ide “Global Britain”. Namun, pada hakikatnya, ide tersebut takubahnya sebuah delusi, yang cenderung lebih merepresentasikan glorifikasi Inggris sebagaimana pada masa lalunya sebagai Kekaisaran Inggris (Harrois, 2018), daripada upaya untuk menghadapi tantangan masa depan. Sikap politik yang agresif oleh pemerintah, terutama pada era Johnson, menambah argumen bahwa Inggris telah kehilangan “akal pikiran sehat”, yang akan mengakibatkan kerugian yang besar baik secara materiel maupun imateriel. Salah satu dari banyak analisis menunjukkan keluarnya Inggris dari UE, baik berasaskan keteraturan (soft) maupun tidak (hard), akan berimplikasi terhadap penurunan kualitas hidup masyarakat pada negara tersebut (Van Reenen, 2016, p. 372), yang dapat menjadi salah satu faktor penghambat kapabilitas Inggris untuk dapat berpartisipasi aktif pada dunia internasional, sebagaimana pada masa sebelum referendum.
Kembali pada permasalahan keseimbangan regional, lumpuhnya Inggris sebagai “penyeimbang” menjadikan terjadinya posisi tersebut vakum, yang meningkatkan beban negara-negara, seperti Jerman, Italia, dan Perancis, untuk merangkul negara-negara Eropa dan menjaga stabilitas kawasan mereka. Pada jangka pendek, mereka telah berhasil, dengan adanya pembaruan rasa persatuan yang terlihat pada blok UE, yang telah ditunjukkan pada berbagai periode genting, terutama selama negosiasi Brexit (Nugent, 2018). Namun, dengan ancaman yang semakin besar dan berbagai macam pada masa depan, mesti terdapat resolusi mengenai siapa yang akan mengisi kekosongan tersebut pada jangka panjang. Apakah AS, salah satu negara Eropa kontinental, atau negara lain akan mengambil peran tersebut? Hal itu yang masih ditunggu.
Referensi
Harrois, T. (2018) ‘Towards “Global Britain” ? Theresa May and the UK’s Role in the World after Brexit’, Observatoire de la société britannique, (21), pp. 51–73. doi: 10.4000/osb.2119.
Malik, S. (2018) ‘Post-Brexit Scenario’, Strategic Studies, 38(4), pp. 90–109.
Martill, B. and Staiger, U. (2018) ‘Rethinking the futures of Europe’, in Brexit and Beyond: Rethinking the Futures of Europe. UCL Press, pp. 260–265. doi: 10.2307/j.ctt20krxf8.
Nugent, N. (2018) ‘Brexit: Yet another crisis for the EU’, in Brexit and Beyond: Rethinking the Futures of Europe. London: UCL Press, pp. 54–62.
Van Reenen, J. (2016) ‘Brexit’s Long-Run Effects on the U.K. Economy’, Brookings Papers on Economic Activity, 2016(2), pp. 367–383. doi: 10.1353/eca.2016.0031.