[Opini] Kisruh NBA dengan Pemerintah Republik Rakyat China: Ketika Kapitalisme digunakan Untuk Mengekspor Otoritarianisme
Oleh: Muhammad Rizka
NBA (National Basketball Association) adalah liga basket di Amerika Serikat yang sering kali disebut sebagai liga basket paling bergengsi di seluruh dunia. NBA telah beroperasi sejak tahun 1946 dan hingga sekarang masih terus menyajikan pertandingan seru antara tim papan atas seperti LA Lakers, Golden State Warriors, Boston Celtics, dan lainnya. Pemain NBA juga menjadi selebritas baik di dalam maupun luar lapangan. Tanya saja orang awam, pasti paling tidak mereka pernah mendengar beberapa nama seperti Michael Jordan, Steph Curry, atau LeBron James. Berkat pengaruh yang didapatkan oleh pemain NBA tersebut, tidak jarang mereka menjadi bagian suatu gerakan aktivisme dengan peran sebagai juru bicara atau bahkan penggagas gerakan tersebut.
Karena NBA berasal dari Amerika, tidak heran terdapat nilai-nilai “Amerikanisme” yang tertanam didalamnya. Nilai “Amerikanisme” yang sering ditunjukan oleh pemain NBA, meskipun beberapa bukan merupakan warga negara Amerika (Ernest Kanter, Buddy Hield, dkk), adalah nilai yang tercantum dalam amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat yaitu kebebasan untuk berpendapat. NBA memiliki pemain yang sangat vokal dalam menyuarakan pendapatnya terutama terkait isu terkini jika dibandingkan dengan liga olahraga Amerika Serikat lainnya seperti MLB, NFL, NHL dan MLS (namun keadaan tersebut tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa NBA lebih populer dibandingkan ketiganya minus NFL). Para pemain NBA sering kali mengkritisi isu sosial di Amerika seperti kekerasan akibat senjata api, dan diskriminasi berdasarkan ras.
NBA sendiri bernilai lebih dari $55 milyar dengan rata-rata satu tim bernilai $1,87 milyar. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PDB nominal beberapa negara di benua Afrika. Tentu dengan nilai yang begitu fantastis pengelola NBA akan berhati-hati untuk tidak mengecewakan investor dan mitra mereka….
Masalah muncul ketika manajer umum dari tim Houston Rockets, Daryl Morey mengekspresikan apa yang dapat dipahami sebagai dukungannya terhadap kemerdekaan Hong Kong melalui sebuah gambar yang diunggah ke akun Twitternya. Gambar tersebut, yang sekarang sudah dihapus, mengandung tulisan yang berbunyi “fight for freedom, stand with Hong Kong”. Tweet ini mengacu pada kondisi Hong Kong yang telah mengalami demonstrasi besar-besaran yang diakibatkan oleh rancangan undang-undang ekstradisi antara Hong Kong dengan China. RUU ini diklaim akan memberikan China kendali atas pemerintahan Hong Kong dan mengakibatkan ribuan demonstran turun ke jalan memprotes langkah pemerintah. Seiring berjalannya waktu, demonstrasi tersebut tidak lagi menggunakan cara nir-kekerasan dan mulai menggunakan kekerasan yang menyasar aparat keamanan Hong Kong. Beberapa jam setelah Morey men-tweet pendapatnya, muncul reaksi keras dari Asosiasi Basket China yang menghentikan sementara seluruh kerja sama dengan NBA. Seketika itu pula Morey menghapus tweetnya dan meminta maaf secara publik.
Beberapa hari setelah permintaan maaf tersebut, Adam Silver selaku komisioner NBA berusaha mencari “jalan tengah” dengan membela kebebasan berekspresi milik Morey tetapi juga meminta maaf kepada China jika Morey menyinggung pemerintah dan fans (baca: konsumer) NBA di China. Seakan bukan sesuatu yang mengejutkan, upaya Silver untuk mencari jalan tengah gagal karena selang beberapa jam kemudian hampir seluruh perusahaan China yang bekerja sama dengan NBA memutuskan untuk menghentikan kerja sama mereka dengan NBA. Dengan nilai investasi di China dan pendapatan dari kerja sama dengan perusahaan China mencapai $4 milyar, NBA berusaha sekuat mungkin untuk menghentikan/mengurangi kehancuran akibat dari tweet Morey tersebut. Bahkan beberapa pemain NBA malah mencela Morey dengan LeBron James menyebutnya “he wasn’t educated on the situation at hand and he spoke” (LeBron James memiliki kepentingan finansial yang signifikan di China melalui kontrak dengan Nike dan penjualan merchandise).
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kepentingan finansial akan lebih diutamakan mayoritas pemain dan pemilik tim di NBA. Ketika masa Perang Dingin pertama (antara AS dan Uni Soviet), kapitalisme digadang-gadang mampu meruntuhkan rezim yang menindas dan otoriter dari ideologi lawannya, karenanya Amerika berusaha “mengkespor” kapitalisme ke seluruh penjuru dunia untuk melawan komunisme. Pada masa sekarang, kapitalisme digunakan bukan untuk menyebarkan nilai-nilai kebebasan, tetapi malah untuk membatasi kebebasan itu sendiri. Contoh perseturuan antara NBA dan China menggambarkan dengan jelas bagaimana sebuah pemerintah mampu “membungkam” pendapat yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah.
Sikap NBA yang cenderung menunjukkan appeasement terhadap tuntutan dari pemerintah China terbukti dapat mempersatukan kubu Demokrat dan Republikan di Amerika untuk bersatu dalam mengkritik sikap NBA: Demokrat yang condong ke kiri mengkritik NBA sebagai entitas yang mengedepankan keuntungan ekonomi dibandingkan dengan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat, sementara Republikan yang nasionalis mengkritik sikap NBA yang dinilai telah menyerah kepada kepentingan pemerintah luar negeri dan mempertanyakan arti huruf N sebagai “National” dalam NBA itu sendiri.
Perseturuan NBA dengan China sendiri merupakan babak baru dalam Perang Dingin Kedua yang sedang berlangsung. Ketika pada Perang Dingin yang pertama, kapitalisme digunakan untuk melawan rezim yang diklaim represif dan anti-kritik, kini kapitalisme malah digunakan oleh rezim represif untuk memaksa lawan menurutinya. Pemain, manajer, serta jajaran petinggi di NBA “terpaksa” mengikuti kemauan rezim tersebut jika ingin tetap mendapatkan keuntungan finansial. Terdengar munafik ketika pemain NBA mengkritik habis-habisan pemerintah Donald Trump mengenai permasalahan sosial di Amerika Serikat, namun mereka tidak mau membela dan bahkan malah mencela koleganya karena menyuarakan dukungannya untuk suatu gerakan yang melawan rezim tempat mereka mendulang pundi-pundi rezeki mereka.
Mungkin, para pemain ini membaca hasil studi dari Asosiasi Pemain NBA (NBA-PA) yang menunjukkan bahwa 60% pemain NBA akan bangkrut setelah 5 tahun pensiun dari NBA. Mungkin, karena itu mereka rela terlihat hipokrit asalkan tetap mendapat uang. Mungkin, mereka lebih memilih uang daripada kebebasan karena mereka take freedom for granted in the first place, dan mereka tidak pernah mengerti seberapa besar perjuangan yang harus ditempuh bagi orang di rezim yang otoriter untuk dapat menikmati kebebasan berpendapat seperti yang mereka rasakan.
Referensi :
“LeBron James Criticises NBA Manager’s China Tweet.” BBC News, October 15, 2019, sec. US & Canada. https://www.bbc.com/news/world-us-canada-50054195.
“NBA Players’ Financial Security No Slam Dunk | The Star.” Accessed October 29, 2019. https://www.thestar.com/sports/basketball/2008/01/31/nba_players_financial_security_no_slam_dunk.html.
Barrabi, Thomas. “Americans Support Rockets GM’s Hong Kong Tweet, Say LeBron Acted from Financial Interest: Poll.” Text.Article. FOXBusiness, October 25, 2019. https://www.foxbusiness.com/sports/nba-china-daryl-morey-lebron-poll.
Forbes. “Forbes Releases 21st Annual NBA Team Valuations.” Accessed October 29, 2019. https://www.forbes.com/sites/forbespr/2019/02/06/forbes-releases-21st-annual-nba-team-valuations/.
Geraghty, Jim. “The NBA’s Adam Silver on China: ‘We Have No Choice but to Engage.’” National Review (blog), October 22, 2019. https://www.nationalreview.com/corner/the-nbas-adam-silver-on-china-we-have-no-choice-but-to-engage/.
Reiff, Nathan. “How The NBA Makes Money: The Second-Largest Sport in the Country.” Investopedia. Accessed October 29, 2019. https://www.investopedia.com/articles/personal-finance/071415/how-nba-makes-money.asp.
Yglesias, Matthew. “The Raging Controversy over the NBA, China, and the Hong Kong Protests, Explained.” Vox, October 7, 2019. https://www.vox.com/2019/10/7/20902700/daryl-morey-tweet-china-nba-hong-kong.