Militer Menindak Keras Melawan Demonstrasi Pro-Demokrasi di Myanmar

Ditulis Oleh: M. Rafindra Setiawan

Sejak 1 Februari 2021, Republik Myanmar sedang mengalami suatu periode kerusuhan dalam politik dalam negerinya setelah Angkatan Bersenjata Myanmar meluncurkan kudeta melawan pemerintah sipil negara tersebut (BBC, Maret 2021). Tentu saja berita ini sudah terkenal di Indonesia karena suatu video viral dimana seorang instruktur aerobik direkam berolahraga di ibukota Myanmar — Naypyidaw — saat prajurit dari Militer Myanmar sedang melaksanakan kudeta tersebut.

Diskursus publik di tanah air lazim memperdebatkan antara apatisme atau solidaritas dengan pengunjuk rasa di Myanmar (Bestari, 2021). Sejak kejadian 1 Februari tersebut, ratusan ribu demonstran sudah turun ke jalan untuk menolak kudeta militer dan menuntut untuk transisi balik ke demokrasi dan akhirnya dwifungsi militer di negara mereka. Militer di Myanmar kerap ikut campur dengan politik dalam negeri karena doktrin yang dipelajari dari Dwifungsi ABRI di Indonesia masa Orde Baru (Indozone, Februari 2021), di mana angkatan bersenjata mempunyai fungsi untuk mempertahankan negara dari ancaman di luar dan dalam negeri. Dwifungsi menjadi suatu praktik yang tidak lazim dipakai di negara-negara yang mempunyai demokrasi dewasa. Situasi ini lebih buruk lagi karena transisi Myanmar ke sistem yang demokratis juga didikte oleh Militer Myanmar sendiri, lewat program “Roadmap to Democracy” yang dibimbing oleh militer sendiri (Pinheiro, 2008).

Sejak dimulainya unjuk rasa, ribuan demonstran sudah tertangkap oleh polisi dan militer, dan puluhan lainnya tewas karena kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara (Nachemson, Maret 2021). Kita di Indonesia perlu melihat keadaan di Myanmar dengan solidaritas dan berhati-hati. Sikap solidaritas perlu ditunjukkan karena hanya beberapa puluh tahun yang lalu, kita menghadapi situasi yang mirip dengan situasi mereka, dan berhati-hati karena metode-metode yang dipakai oleh aparatus keamanan negara di Myanmar adalah metode yang sama yang dipakai di negara kita puluhan tahun yang lalu. Terakhir, mari seluruh rakyat Indonesia berharap bahwa di Myanmar, rakyat bisa memenangi kekuasaan dan kebebasan di atas penindasan.

Referensi

  1. Cuddy, A. (2021, Maret 01). Myanmar coup: What is happening and why? Diakses pada Maret 12, 2021, dari https://www.bbc.com/news/world-asia-55902070
  2. Bestari, F. (2021, Maret 10). KSBSI gelar aksi Solidaritas Di Depan KEDUBES MYANMAR. Diakses pada Maret 12, 2021, dari https://foto.tempo.co/read/87189/ksbsi-gelar-aksi-solidaritas-di-depan-kedubes-myanmar
  3. Tim Editorial. (2021, February 02). Terungkap! Militer Myanmar Belajar Dwifungsi dari ABRI, KINI KUDETA Aung San Suu Kyi Dkk. Diakses pada Maret 12, 2021, dari https://www.indozone.id/news/qEsj5yV/terungkap-militer-myanmar-belajar-dwifungsi-dari-abri-kini-kudeta-aung-san-suu-kyi-dkk/read-all
  4. Pinheiro, P. S. (2008). The Myanmar Road Map to the Consolidation of Military Authoritarianism. Diakses pada Maret 12, 2021, dari https://www.files.ethz.ch/isn/98069/paulo-sergio-pinheiro.pdf
  5. Nachemson, A. (2021, Maret 10). Myanmar’s protesters adapt under siege. Diakses pada Maret 12, 2021, darihttps://foreignpolicy.com/2021/03/10/myanmar-protests-coup-tactics-military-crackdown/

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet