Menyoal Non-interferensi ASEAN dalam Krisis Myanmar
Oleh: Gregorius Nugroho Arimurti
Hukuman mati yang dijatuhkan pada empat aktivis pro-demokrasi akhir Juli lalu menjadi percikan terbaru dalam bara konflik sipil Myanmar. Keempatnya memperoleh vonis mati karena dituduh terlibat dalam kegiatan melawan junta militer. Dua di antaranya, Kyaw Min Yu dan Phyo Zeya Thaw, dieksekusi karena jeratan pasal antiterorisme (Than, 2022). Sedangkan, dua lainnya, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, dieksekusi karena dituduh membunuh seorang perempuan yang bekerja bagi junta (Jalil, 2022).
Eksekusi keempat aktivis itu memancing respons dari seluruh penjuru dunia, khususnya Asia Tenggara. Menlu Malaysia, Saifuddin Abdullah, melihat eksekusi empat aktivis tersebut sebagai olok-olok terhadap pelaksanaan konsensus lima poin (Ng dan Rising, 2022). Pernyataan ini senada dengan pernyataan resmi ketua ASEAN 2022, Kamboja, yang diberikan setelah proses eksekusi disiarkan. Dalam pernyataan tersebut, Kamboja menyayangkan dan mengutuk tindakan tersebut karena mencederai pelaksanaan konsensus lima poin (ASEAN, 2022).
Kedua pernyataan di atas mengungkap sebuah masalah pelik dalam penyelesaian konflik di Myanmar. Masalah itu adalah tidak terwujudnya kelima poin yang termasuk dalam konsensus antara ASEAN dan junta Myanmar. Konsensus ini sejatinya bertujuan untuk meredam kekerasan dan mendorong dialog di antara pihak-pihak yang bertikai. Akan tetapi, keengganan junta untuk terlibat di dalamnya menghalangi pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Sebagai akibatnya, konflik sipil terus membara dengan rakyat Myanmar sebagai korbannya.
Kegagalan pelaksanaan konsensus lima poin mendorong penulis untuk mempertanyakan pendekatan ASEAN dalam konflik Myanmar. Pendekatan yang kurang tegas dan cenderung hati-hati itu justru melanggengkan kekerasan baik dari pihak junta maupun kelompok oposisi. Di saat yang sama, pendekatan tersebut mengancam kestabilan dan keamanan di kawasan Asia Tenggara karena membiarkan eskalasi konflik terus terjadi. Dengan mempertanyakannya, penulis berharap pendekatan tersebut dapat dievaluasi kembali dan diperbaiki.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan prinsip non-interferensi yang melandasi pendekatan ASEAN. Penjelasan tersebut kemudian dilanjutkan dengan argumentasi mengenai pendekatan ASEAN di bagian kedua. Terakhir, bagian ketiga akan memuat kesimpulan yang ditarik dari penjelasan dan argumentasi pada dua bagian sebelumnya.
Mengapa ASEAN Memilih Non-interferensi?
Sebagai sebuah organisasi regional, ASEAN berdiri di atas beberapa prinsip fundamental yang disepakati seluruh anggotanya. Salah satu di antaranya adalah non-interferensi. Prinsip ini berangkat dari asas kesetaraan antara negara-negara berdaulat (sovereign equality of all states) dalam piagam PBB (Ramcharan, 2000). Adanya prinsip ini menghalangi anggota-anggota yang tergabung dalam ASEAN untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri anggota lainnya.
Dalam tulisannya, Suzuki (2019) menyampaikan dua argumen yang menjelaskan tentang penyebab ASEAN mengadopsi non-interferensi. Argumen pertama menjelaskan bahwa ASEAN mengadopsi non-interferensi untuk mewujudkan stabilitas di wilayah Asia Tenggara. Sedangkan, argumen kedua menunjukkan bahwa ASEAN mengadopsi non-interferensi sebagai tindak lanjut dari konsensus anggota-anggotanya mengenai kedaulatan.
Argumen pertama dilandaskan pada kondisi geopolitik Asia Tenggara pada masa Perang Dingin. Selama Perang Dingin berlangsung, Asia Tenggara menjadi arena perebutan pengaruh di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Konflik dua negara adidaya tersebut kemudian memicu sejumlah konflik dengan dampak signifikan di ranah sosial, politik, dan ekonomi. Salah satu di antaranya adalah Perang Vietnam.
Keadaan tersebut menyadarkan negara-negara pendiri ASEAN akan pentingnya stabilitas dan pembangunan nasional (nation-building). Untuk mendukung proses-proses tersebut, ASEAN berusaha mencegah intervensi satu anggota dalam urusan anggota lain dengan mengadopsi non-interferensi. Pada gilirannya, upaya pencegahan ASEAN ini berperan sebagai penyokong dalam konsolidasi politik dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara.
Sebaliknya, argumen kedua dilandaskan pada pemahaman kedaulatan yang dipegang oleh anggota-anggota ASEAN. Pemahaman tersebut menjelaskan bahwa semua anggota ASEAN bertanggung jawab atas masalah dalam negerinya sendiri. Pemahaman tersebut dibarengi keyakinan bahwa setiap anggota ASEAN memiliki kemampuan yang memadai untuk menjawab masalah- masalah itu.
Pemahaman di atas menunjukkan bahwa anggota-anggota ASEAN tidak mempunyai kebutuhan akan intervensi baik dari ASEAN sebagai organisasi maupun anggota-anggota lainnya. Absennya kebutuhan akan intervensi kemudian diformulasikan menjadi prinsip non-interferensi dalam Piagam ASEAN. Dalam hal ini, non-interferensi tak lagi terbatas pada upaya pencegahan, tetapi juga penggambaran dari realitas di kawasan Asia Tenggara.
Non-interferensi dalam Krisis Myanmar: Sesuai atau Tidak?
Pemaparan di atas mengungkapkan bahwa ASEAN mengadopsi non-interferensi atas dasar pewujudan stabilitas dan absennya kebutuhan akan intervensi di kawasan Asia Tenggara. Kedua landasan ini menjadi dasar dari sikap dan pendekatan ASEAN dalam beberapa dekade terakhir. Namun, apakah pendekatan non-interferensi ASEAN dalam konflik Myamar berjalan sesuai dengan kedua landasan tersebut?
Bagi penulis, pendekatan non-interferensi ASEAN dalam konflik Myanmar tidak sejalan dengan kedua landasan di atas. Ketidaksesuaian pertama terletak pada kegagalan ASEAN dalam menciptakan iklim dialog yang kondusif di Myanmar. Kegagalan ASEAN ini berdampak secara langsung pada berlanjutnya gejolak politik dan sosial di Myanmar. Tak hanya itu, kegagalan itu juga melanggengkan kekerasan yang merugikan rakyat Myanmar.
Sedangkan, ketidaksesuaian kedua terletak pada ketidakacuhan ASEAN atas keadaan di Myanmar. ASEAN yang cenderung menahan diri secara tidak langsung telah mengesampingkan panggilan rakyat Myanmar untuk terlibat dalam proses perdamaian di Myanmar. Panggilan yang menyerukan ASEAN untuk terlibat langsung ini menunjukkan bahwa ada kebuutuhan akan suatu bentuk intervensi dalam krisis tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa non-interferensi tidak lagi dapat dibenarkan.
Ketidaksesuaian antara non-interferensi dan landasan-landasannya dalam konteks krisis Myanmar menandakan bahwa ASEAN perlu mengubah arah pendekatan mereka menjadi lebih intervensionis. Perubahan arah pendekatan ini memberi kesempatan bagi ASEAN untuk terlibat langsung dalam proses perdamaian di Myanmar. Dengan begitu, ASEAN dapat memastikan hasil yang menguntungkan dari proses tersebut.
Bentuk intervensi yang paling tepat bagi ASEAN dalam konteks krisis Myanmar adalah intervensi diplomatik. Bentuk intervensi ini menjadi pilihan yang tepat karena memungkinkan sebuah proses perdamaian yang inklusif bagi seluruh pemangku kepentingan. Sebaliknya, proses serupa tidak dapat dilaksanakan jika ASEAN memilih bentuk intervensi ekonomi atau militer karena sifatnya yang agresif terhadap pihak junta.
ASEAN dan Intervensi: Sebuah Konklusi
Krisis sosial dan politik yang pecah setelah kudeta militer di Myanmar pada tahun 2022 menjadi tantangan baru bagi ASEAN. Krisis yang melibatkan junta militer dan gabungan pihak oposisi ini berpotensi mengguncang stabilitas di Myanmar dan kawasan Asia Tenggara. Sebagai organisasi regional di kawasan tersebut, ASEAN berusaha menjawab masalah tersebut melalui pendekatan non-interferensi.
Akan tetapi, pendekatan tersebut justru gagal menghentikan kekerasan dan mewujudkan stabilitas di Myanmar. Sebaliknya, pendekatan ASEAN yang dirumuskan dalam konsensus lima poin justru tak diacuhka oleh junta Myanmar. Keadaan ini membawa penulis pada kesimpulan bahwa ASEAN perlu meninggalkan pendekatan non-interferensi dan terjun langsung dalam proses perdamaian di Myanmar.
Dengan terjun langsung, ASEAN dapat memastikan bahwa proses terkait berjalan secara inklusif dan demokratis. Dalam konteks ini, ASEAN dapat menjembatani kepentingan dari pihak junta dan oposisi. Di sisi lain, ASEAN juga dapat memastikan bahwa hasil dari proses tersebut menguntungkan bagi rakyat Myanmar secara khusus dan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Gregorius Nugroho Arimurti adalah anggota divisi Penelitian dan Pengembangan FPCI UGM. Artikel ini melambangkan opini pribadi penulis dan belum tentu mewakili opini FPCI UGM
Referensi
ASEAN. 2022. ASEAN Chairman’s Statement on the Execution of Four Opposition Activists in Myanmar. asean.org. https://asean.org/wp-content/uploads/2022/07/final-2-Eng- Chairmans-statement-on-execution.pdf. Diakses pada 23 Agustus 2022.
Jalil, Z. A. 2022. Myanmar: Military executes four democracy activists including ex-MP. BBC. https://www.bbc.com/news/world-asia-62287815. Diakses pada 22 Agustus 2022.
Ng dan Rising. 2022. Myanmar executions of 4 activists spur global outrage. AP News. https:// apnews.com/article/myanmar-united-nations-thailand-antonio-guterres-aung-san-suu-kyi-cc89157ce351fea2229cc5662951bab2. Diakses pada 23 Agustus 2022.
RAMCHARAN, R. 2000. ASEAN and Non-interference: A Principle Maintained. Contemporary Southeast Asia, 22(1), 60–88. http://www.jstor.org/stable/25798479. Diakses pada 21 Agustus 2022.
Suzuki, S. 2019. Why is ASEAN not intrusive? Non-interference meets state strength. Journal of Contemporary East Asia Studies, 8:2, 157–176. https://doi.org/10.1080/24761028.2019. 1681652. Diakses pada 29 Agustus 2022.
Than, T. 2022. Top democracy activists were executed in Myanmar — 4 key things to know. The Conversation. https://theconversation.com/top-democracy-activists-were-executed-in- myanmar-4-key-things-to-know-187671. Diakses pada 22 Agustus 2022.