Mengapa Sekarang? Mundurnya Amerika dari Panggung Kontestasi Afghanistan dan Dampaknya Bagi Trayektori War on Terror

Penulis: Dian Eunique Lestari

Parade letusan senjata yang terdengar di jalanan sepanjang Kabul menjadi bentuk dari ritual selebrasi Taliban menyambut ‘kemenangan’ melalui pemberangkatan gelombang evakuasi terakhir Amerika Serikat. Per 11 September 2021, tepat di hari peringatan dua puluh tahun sejak serangan di World Trade Centre, Amerika Serikat akhirnya resmi meninggalkan Afghanistan, negara yang selama ini menjadi wilayah dengan bahaya yang signifikan akibat upaya AS dalam menumpas kelompok teroris pasca-9/11. Dua dekade berselang sejak lahirnya retorika War on Terror, peristiwa penarikan militer yang disambut dengan pendudukan Taliban kemudian memunculkan pertanyaan menyangkut keputusan penyerahan kekuasaan ini serta bagaimana transformasi tersebut berpengaruh pada trayektori War on Terror di keamanan global.

Rencana yang Akhirnya tidak sekedar Wacana

Tragedi 9 September 2001 akan selalu dikenang sebagai fenomena dalam sejarah yang meruntuhkan arogansi Amerika Serikat sekaligus menjadi bentuk pengenalan terhadap eksistensi kelompok teroris yang berpotensi tinggi mengancam stabilitas global. Peristiwa yang memakan hingga 2.700 korban jiwa ini adalah pemantik bangkitnya pengaruh AS pasca-Perang Dingin di ranah keamanan global melalui doktrin War on Terror inisiasi pemerintahan George W. Bush yang kemudian mengubah fiksasi politik luar negeri Amerika Serikat dan meletakkan fondasi hegemoninya di upaya keamanan dunia. Dua dekade kemudian, setelah serangkaian upaya dan invasi yang dijalankan untuk mewujudkan ambisi ini, kita kini menyaksikan bagaimana pihak dengan klaim sebagai kekuatan terbesar dunia menarik mundur pasukan dan menyerahkan perebutan kekuasaan pada Taliban. Kelompok militer yang berhasil digulingkan dua dekade silam kini bangkit untuk merebut kekuasaan seakan menggambarkan kembalinya upaya War on Terror ke titik nol.

Pertanyaan ‘mengapa baru sekarang?’ tentu saja membayangi keputusan ini. Penarikan pasukan militer ini bukanlah mandat yang diluncurkan secara mendadak, melainkan sebuah eksekusi riil setelah proses orkestrasi panjang dan serangkaian dialog perdamaian yang telah dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya. Presiden Barack Obama, pascaperingkusan Osama bin Laden di persembunyiannya di Abbottabad, telah mengumumkan intensi penarikan kekuatan Amerika dan menjanjikan penyerahaan kekuasaan pada pemerintah domestik di tahun 2014 (Zucchino, 2021). Hal ini tentu tidak direalisasikan, dan pendudukan tetap berlanjut dengan dalih pelatihan serta bimbingan militer untuk melatih kekuatan Afghanistan sebagai antisipasi bangkitnya kekuatan kelompok teroris. Situasi tersebut berlangsung hingga pada masa pemerintahan Presiden Trump yang kemudian mengungkit kembali agenda tersebut dan mulai berusaha diwujudkan melalui negosiasi damai bersama kelompok Taliban. Kedua pihak akhirnya menemukan titik tengah di mana perjanjian ditandatangani pada bulan Februari 2021 dengan kesepakatan Amerika akan meninggalkan Afghanistan per 1 Mei 2021 dan, sebagai gantinya, Taliban akan memutus hubungan dengan afiliasi teroris seperti Al-Qaeda dan Islamic State (ISIS-K), serta berkomitmen untuk menghindari kampanye kekerasan di negara tersebut (Zucchino, 2021).

Terlepas dari dialog yang akhirnya mencapai konsensus di atas kertas, perang dan konfrontasi bersenjata nyatanya tidak berhenti. Taliban tidak menunjukkan adanya intensi untuk tunduk pada perjanjian bersama Amerika. AS pun berspekulasi bahwa militan tidak memenuhi sumpahnya, baik untuk menghentikan aksi kekerasan maupun untuk memutus hubungan dengan kelompok ekstrimis. Oleh karena itu, di tengah ketegangan militer yang dikhawatirkan akan semakin bereskalasi, administrasi Biden memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang masa pendudukan serta justru melaksanakan operasi pemulangan pasukan dan aliansi AS. Dimuat dalam Vazquez dan Liptak (2021), Biden secara defensif menolak kritik yang diterima dan kukuh mempertahankan klaim bahwa keputusan ini adalah pilihan yang paling tepat guna mencegah lebih banyak korban jiwa dan kerugian dibanding apabila terus terlibat dalam ‘forever war’. Berdasarkan data dari Universitas Brown (dalam Chellaney, 2021) perang berkepanjangan ini telah menghabiskan sekitar $8 triliun serta estimasi korban jiwa mencapai 900,000 kematian menyertakan masyarakat sipil dan kombatan.

Kontradiktif dengan kericuhan dan kekhawatiran sepanjang proses peralihan kekuasaan berlangsung, “keberhasilan yang luar biasa” menjadi frasa yang digunakan oleh Presiden Biden untuk menggambarkan keputusan penarikan militer dan proses evakuasi yang dilakukan di Afghanistan (Shear & Tankersley, 2021). Dengan semakin pesatnya perkembangan dan transformasi politik di tingkat global, Presiden Biden menggarisbawahi pentingnya momentum ini sebagai transformasi AS ke era baru kepemimpinan di lanskap politik dan keamanan internasional.

Turning Point: Taliban dan Trajektori War on Terror

Kepergian Amerika Serikat dari daerah yang dilabelkan sebagai ‘sarang teroris’ memunculkan berbagai kekhawatiran terkait isu keamanan serta potensi kelompok radikal untuk kembali beroperasi. Dengan lepasnya Afghanistan dari campur tangan AS beberapa argumen yang menyayangkan keputusan ini menyoroti ancaman akan isu humanitarian, perampasan hak asasi terutama bagi perempuan, dan peningkatan resiko spillover di regional. Sebagai respons, administrasi Biden tampaknya berusaha untuk menenangkan kekhawatiran tersebut dengan menjamin kapabilitas satuan militer dan pemerintah Afghanistan dalam penanganan masalah Taliban (Shear & Tankersley, 2021). Argumen tersebut tentu patut dipertanyakan, berangkat dari pengamatan terhadap eskalasi aktivitas Taliban dalam perebutan wilayah kekuasaan sejak penarikan militer AS secara bertahap pada Juni 2021. Efikasi satuan keamanan Afghanistan dalam membendung pergerakan justru menunjukkan kebalikannya. Per Agustus 2021, Taliban telah berhasil menguasai 407 distrik dan kini meningkatkan ekspansinya mengincar tingkat provinsi (Anadolu Agency, 2021). Dengan keadaan ini hasil akhir kontestasi seolah dapat diprediksi, kedua pihak berhasil terkooptasi dalam membangun pemerintahan bersama atau, dengan kata lain, Taliban berkuasa penuh atas negara ini sebelum konsensus dapat ditemukan.

Belajar dari fenomena serupa yang terjadi di Iraq, Suriah, Libya, hingga kini Afghanistan, pembelaan dan bantahan akan ‘kekalahan’ Amerika dan Global War on Terror pada akhirnya tidak bermakna apa-apa ketika kita mengulas kembali upaya-upaya GWOT yang memiliki tendensi berakhir pada kegagalan (Julien Théron, 2021). Retorika War on Terror yang menggunakan semangat ‘us vs them’ dengan objektif awalnya guna menumpas afiliasi teroris Al-Qaeda dan memfokuskan penanganan di Afghanistan telah menyertakan serangkaian invasi militer serta intervensi domestik melawan pemerintahan otokratis yang nyatanya tidak berhasil mewujudkan keamanan global sebagaimana diharapkan. Peristiwa ini seakan membuka lembaran baru terhadap proyeksi politik luar negeri AS dalam ranah keamanan global.

Presiden Biden menyampaikan distingsinya dari implementasi War on Terror generasi pasca-9/11, yaitu menghindari perang dengan pengiriman kekuatan militer skala besar, mendukung strategi yang lebih dimanuver oleh kompetisi ekonomi dan penanganan keamanan siber, serta mengupayakan perkembangan teknologi militer sebagai alternatif solusi mengatasi ancaman teroris. Amerika Serikat tetap menjanjikan bimbingan dan pendanaan untuk mendukung pertahanan dan keamanan di Afghanistan terlepas dari kondisi dilematis Washington terkait bagaimana masa depan hubungannya dengan Taliban. Baik bersikap toleran maupun memutus hubungan terhadap pendudukan Taliban, kedua pilihan ini akan memiliki konsekuensi masing-masing yang berimplikasi pada perkembangan relasi politik dan keamanan di kawasan (Fisher, 2021). Meskipun demikian, pada akhirnya komitmen AS untuk menarik diri dan memutus campur tangan di Afghanistan merupakan keputusan yang tepat. Terlepas dari efektivitas alternatif solusi yang ditawarkan, persoalan pembangunan negara sudah selayaknya diserahkan sebagai urusan pemerintah masing-masing dan tidak berdasarkan dikte Amerika Serikat.

REFERENSI

Anadolu Agency. (2021). Anadolu Agency. [online] Available at: https://www.aa.com.tr/en/info/infografik/24514 [Accessed 19 Sep. 2021].

Brahma Chellaney (2021). A Crippling Blow to the Global War on Terror | by Brahma Chellaney — Project Syndicate. [online] Project Syndicate. Available at: https://www.project-syndicate.org/commentary/taliban-takeover-of-afghanistan-boosts-global-jihadism-by-brahma-chellaney-2021-09 [Accessed 19 Sep. 2021].

Fisher, M. (2021). The U.S. War in Afghanistan: How It Started, and How It Ended. The New York Times. [online] Available at: https://www.nytimes.com/article/afghanistan-war-us.html [Accessed 19 Sep. 2021].

Julien Théron (2021). [Opinion] The defeat of the “Global War on Terror.” [online] EUobserver. Available at: https://euobserver.com/opinion/152823 [Accessed 19 Sep. 2021].

Shear, M. and Tankersley, J. (2021). Biden Defends Afghan Pullout and Declares an End to Nation-Building. The New York Times. [online] 31 Aug. Available at: https://www.nytimes.com/2021/08/31/us/politics/biden-defends-afghanistan-withdrawal.html [Accessed 17 Sep. 2021].

Vazquez, M. and Liptak, K. (2021). See Biden’s message to remaining Americans in Afghanistan. [online] CNN. Available at: https://edition.cnn.com/2021/08/31/politics/biden-afghanistan-withdrawal-speech/index.html [Accessed 19 Sep. 2021].

Zucchino, D. (2021). The U.S. War in Afghanistan: How It Started, and How It Ended. The New York Times. [online] Available at: https://www.nytimes.com/article/afghanistan-war-us.html [Accessed 18 Sep. 2021].

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet