Menelisik Problematika Hak Paten Vaksin dan TRIPs
Oleh: Dian Anggraini Pary Usamahu
Sudah satu warsa semenjak kasus COVID-19 pertama kali muncul. Virus yang mencatat lebih dari 60 juta kasus per awal Desember 2020 ini telah mendorong negara-negara di dunia mengembangkan vaksin. Dengan kemajuan teknologi, setidaknya hingga akhir tahun 2020 beberapa kandidat vaksin sudah menemui titik terang dengan efektivitas lebih dari 70%. Penciptaan vaksin bukan perkara kemanjurannya saja, melainkan juga efektivitas dan efisiensi dalam proses produksi serta distribusi agar menjamin keterjangkauannya. Berbicara keterjangkauan, vaksin sebagai barang temuan dapat dikenakan hak cipta yang diatur dalam TRIPs WTO. Hak cipta ini selain menjamin pengembangan dan standarisasi vaksin di sisi lain menghambat keterjangkauan vaksin bagi negara-negara kurang berkembang atau LDC. Lantas, bagaimana nasib LDC bila vaksin COVID-19 dipatenkan? TRIPs telah menyediakan mekanisme compulsory licensing untuk mengatasi hal ini. Namun, keterjangkauan vaksin bagi negara-negara miskin terkait dengan hak paten vaksin tidak cukup hanya diatasi dengan compulsory licensing yang termaktub dalam TRIPs WTO. Sebab secara struktural, compulsory licensing memiliki beberapa kekurangan. Untuk itu diperlukan mekanisme alternatif: voluntary pooling mechanism.
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) merupakan perjanjian di bawah WTO yang mengatur mengenai hak paten. Ketentuan mengenai hak paten ini dapat sedikit ‘dilonggarkan’ apabila terdapat kasus luar biasa, utamanya menyangkut kesehatan masyarakat (pasal 27.2, 27.3a, dan 27.3.b). Lebih lanjut, TRIPs mengatur compulsory licensing yang memperbolehkan negara atau pihak lain memproduksi produk paten tanpa persetujuan sebelumnya dari pemilik paten. Mekanisme ini hanya diperbolehkan dalam situasi tertentu, seperti kegawatdaruratan nasional dan terbatas pada kegunaan nonkomersial (diotorisasi oleh pemerintah). Compulsory licensing ini hanya boleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja.
Lantas bagaimana nasib negara-negara yang tidak mampu memproduksi obat-obatannya sendiri? Terdapat pengecualian bagi negara-negara tersebut. Mereka secara otomatis mendapatkan hak untuk compulsory licensing dan diperbolehkan untuk mengimpor obat-obatan mereka. Sementara negara non-LDC harus memberi tahu dewan TRIPs perihal maksud untuk menjadi importir dan seberapa banyak produk dan kuantitas yang dibutuhkan untuk impor (Hu 2020).
Untuk menjadi negara importir, negara tersebut haruslah melewati beberapa kriteria: 1) kuantitas dari produk yang akan diimpor haruslah dihitung secara bersama dan hanya untuk jumlah tertentu; 2) konfirmasi bahwa negara tersebut tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk memproduksi produk farmasi; 3) konfirmasi bahwa telah memberi atau bermaksud memberikan compulsory licensing jika produk tersebut dipatenkan di wilayahnya (Hu 2020). Menanggapi hal ini, beberapa pihak mengambil sikap yang berbeda: ada yang bersedia menjadi importir hanya pada kondisi kegawatdaruratan nasional, seperti Cina dan Israel, ada juga yang tidak ingin menjadi pengimpor, seperti Uni Eropa dan Jepang (“Annex and Appendix to the TRIPS Agreement” n.d.).
Sayangnya, menurut pasal 31(d) TRIPS, compulsory licensing tidak dapat secara eksklusif diberikan kepada pemilik lisensi, sehingga pemegang paten dapat mempertahankan hak eksekutif untuk mengeksploitasi paten yang bersangkutan di pasar tertentu (Hu 2020). Akibatnya, distribusi vaksin dapat berbeda-beda di berbagai negara.
Selain itu, mekanisme compulsory licensing relatif memakan biaya dan waktu dibandingkan voluntarily pooling karena sifatnya yang kasus per kasus. Mekanisme ini tidak dapat diajukan secara kolektif layaknya voluntarily pooling. Beberapa perusahaan obat generik India saja hanya berhasil mendapatkan satu dari tiga kesepakatan compulsory licensing (Chaudhuri 2020). Sehingga untuk penanganan COVID-19 mekanisme ini dapat dikatakan kurang efektif untuk mempercepat dan memperluas skala penanganan COVID-19.
Costa Rica beberapa waktu lalu mengusulkan voluntarily pooling mechanism yang mana produk paten dan teknologi terkait akan ‘dikolamkan’ secara sukarela demi menjamin ketersediaan dan keterjangkauan vaksin bagi seluruh dunia — utamanya negara berkembang dan LDC (Chaudhuri 2020). Proposal Costa Rica dapat menjadi jalan alternatif dari compulsory licensing TRIPs. Proposal Costa Rica ini didukung oleh 35 negara, yang mana tiga di antaranya merupakan negara maju, yaitu Belgia, Norwegia, dan Belanda. Sayangnya, negara-negara besar, yang terdepan dalam produksi dan pengembangan produk farmasi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Cina tidak termasuk ke dalamnya.
Mekanisme voluntarily pooling dapat diwujudkan melalui Medicine Patent Pool (MPP). MPP merupakan mekanisme yang menegosiasikan produk paten kepada pemilik lisensi agar menjamin keterjangkauan produk utamanya untuk negara-negara berkembang. MPP sendiri telah berpengalaman dalam menegosiasikan lisensi untuk obat-obatan HIV/AIDS. Melalui mekanisme ini, produk obat-obatan dan vaksin COVID-19 dapat secara kolektif dinegosiasikan. Proses ini jauh lebih efisien dibandingkan melalui mekanisme compulsory licensing WTO yang memakan waktu karena hanya berlaku kasus per kasus.
Sayangnya, mekanisme voluntarily pooling ini bersifat sukarela dan MPP pun tidak memiliki kekuatan mengikat. MPP tidak dapat membujuk perusahaan multinasional untuk menyetujui pemberian lisensi secara sukarela kepada semua negara (Chaudhuri 2020). MNC dapat mengakali konsekuensi dari MPP ini dengan menerapkan hambatan terhadap negara. Sehingga walaupun produk paten telah berada di bawah mekanisme MPP, tidak semua negara MPP dapat menerima manfaatnya. Dari sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, kesuksesan MPP sangat bergantung pada keinginan perusahaan multinasional farmasi dan negara-negara besar untuk bergabung ke dalamnya. Dari kedua skema di atas, voluntarily licensing menawarkan kecepatan dan kemudahan dari segi administrasi. Juga dari segi biaya, mekanisme voluntarily pooling jauh lebih murah dibandingkan compulsory licensing yang hanya bisa diajukan case by case, products by products.
Mekanisme compulsory licensing yang sudah hampir dua dekade berada di dalam TRIPs, tidak cukup untuk mengeliminasi hambatan paten dalam pengembangan vaksin. Untuk itu, diperlukan kerja sama tidak hanya dari negara-negara, tetapi juga dari sektor swasta yang mengembangkan dan memiliki produk paten untuk COVID-19 ke dalam mekanisme voluntarily pooling. Selain itu, anggota WTO perlu mendiskusikan kembali pengabaian khusus terhadap beberapa ketentuan compulsory licensing terutama terkait efisiensi waktu dan biaya pengajuan compulsory licensing. Pengembangan vaksin memang menjadi ladang basah bagi pemilik hak paten, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Namun, demi kemaslahatan umat manusia, sudah seharusnya vaksin ditempatkan sebagai barang publik.
Referensi
“Amendment to the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).” n.d. World Trade Organization. Accessed December 4, 2020. https://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/tripsfacsheet_e.htm.
“Annex and Appendix to the TRIPS Agreement.” n.d. World Trade Organization. Accessed December 5, 2020. https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/31bis_trips_annex_e.htm#fnt-3.
Chaudhuri, Sudip. 2020. “Making Covid-19 Medical Products Affordable: Voluntary Patent Pool and TRIPS Flexibilities,” June.
“FACT SHEET: TRIPS AND PHARMACEUTICAL PATENTS Obligations and Exceptions.” n.d. World Trade Organization. Accessed December 4, 2020. https://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/factsheet_pharm02_e.htm.
Hu, Weinan. 2020. “COMPULSORY LICENSING AND ACCESS TO FUTURE COVID-19 VACCINES.” CEPS RESEARCH REPORT. Brussels: Centre for European Policy Studies.
Johri, Mira, and Ronald Labonte. n.d. “COVID-19 Drug and Vaccine Patents Are Putting Profit before People.” The Conversation. Accessed December 5, 2020. http://theconversation.com/covid-19-drug-and-vaccine-patents-are-putting-profit-before-people-149270.
Malbon, Justin. 2020. “Access to Medicines: What Happens If a COVID-19 Vaccine Is Discovered?” Global-e 13 (58). https://www.21global.ucsb.edu/global-e/august-2020/access-medicines-what-happens-if-covid-19-vaccine-discovered.
“Statement by Moderna on Intellectual Property Matters during the COVID-19.” 2020. Moderna. October 8, 2020. https://investors.modernatx.com/news-releases/news-release-details/statement-moderna-intellectual-property-matters-during-covid-19/.
“THE TRIPS AGREEMENT AND COVID-19.” 2020. World Trade Organization.
“TRIPS and Public Health: Compulsory Licensing of Pharmaceuticals and TRIPS.” n.d. World Trade Organization. Accessed December 4, 2020. https://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/public_health_faq_e.htm.
Wong, Hilary. 2020. “The Case for Compulsory Licensing during COVID-19.” Journal of Global Health 10 (1). https://doi.org/10.7189/jogh.10.010358.