Menakar Kudeta Mali: Pemberontakan, Krisis Ekonomi, dan Peluang Intervensi Asing

Oleh: Alfin Febrian Basundoro

Pada 18 Agustus 2020, sejumlah satuan dari Angkatan Bersenjata Mali melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat negara tersebut. Dengan menggunakan kendaraan-kendaraan tempur, para prajurit yang sebelumnya berhasil mencuri sejumlah besar senjata api merangsek ke kantor-kantor pemerintahan strategis di Bamako, ibu kota Mali. Pasukan pimpinan Kolonel Assimi Goita — komandan Kesatuan Pasukan Khusus Mali — yang menamakan dirinya sebagai “Komite Penyelamatan Rakyat” tersebut serta-merta menyandera para menteri, pejabat tinggi negara, dan sejumlah perwira militer (Al Jazeera, 2020). Tak-luput, Presiden Ibrahim Boubacar Keita turut ditawan. Dengan ditawannya sebagian besar aparat negara, praktis pemerintahan Mali lumpuh seketika. Sang presiden kemudian menyatakan pembubaran pemerintahan sekaligus pengunduran dirinya menjelang tengah malam, demi mencegah terjadinya pertumpahan darah. Beruntung, pasukan militer yang memberontak berhasil menguasai keadaan dan tidak terjadi kerusuhan di tengah kota Bamako (Al Jazeera, 2020).

Sebagaimana terjadi di banyak negara Afrika, kudeta menjadi fenomena politik yang “umum” terjadi di Mali. Kudeta tersebut merupakan kudeta kedua Mali dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun (Diallou & Soumare, 2020). Dengan sambutan positif masyarakat akan kudeta tersebut — ditandai dengan kegembiraan yang terjadi di sejumlah kota di Mali — menimbulkan tanda tanya besar terhadap efektivitas rezim Keita. Kudeta ini bermula dari meningkatnya penentangan masyarakat terhadap rezim tersebut sejak protes berkepanjangan yang terjadi pada Juni 2020. Sejumlah penyebab yang dapat digarisbawahi adalah dugaan kecurangan pada Pemilu Parlemen Mali 2020, krisis ekonomi, meningkatnya kekerasan oleh kelompok-kelompok pemberontak, hingga gagalnya rezim Keita menghadapi pandemi COVID-19 yang hingga kini masih mendera Mali (Maclean, 2020).

Krisis ekonomi yang terjadi di Mali agaknya menjadi kronis dan memengaruhi kehidupan di negara tersebut secara masif. Ekonomi Mali secara umum amat bergantung pada sektor primer, terutama pertanian dan peternakan yang membutuhkan kondisi fisik tanah dan iklim yang memadai. Masalahnya, Mali merupakan salah satu negara di kawasan Sahel yang terkenal dengan iklim yang tandus (semikering) dan rawan mengalami penggurunan (Bastagli & Toulmin, 2015, hlm. 4). USDA bahkan mencatat bahwa kendati sektor-sektor pertanian mencakup 75% total ekspor dan 70% tenaga kerja Mali, hanya 15% dari total lahan di negara tersebut yang subur (United States Department of Agriculture, 2017). Ditambah lagi, lahan pertanian di Mali hanya mengandalkan air Sungai Niger yang terus menyusut akibat penggurunan yang mengakibatkan hasil panenan menjadi tidak optimal. Akibatnya, target ekspor nasional menjadi sukar dicapai. Problematika ini terjadi selama lebih dari satu dasawarsa dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di Mali tak-beranjak dari angka 2% sepanjang 2010 hingga 2014 dan hanya naik hingga 5% pada 2018 menurut data Bank Dunia (World Bank Group, 2019, hlm. 25). Maka tidak heran apabila Mali menjadi salah satu negara termiskin di kawasan Afrika Barat dengan pendapatan per kapita berkisar 2.300 Dolar AS tiap tahunnya.

Kemiskinan akut yang mendera masyarakat Mali diperparah pula dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia di negara tersebut, dibuktikan dengan rendahnya angka literasi dan minimnya pekerja dengan taraf pendidikan yang memadai (Bastagli & Toulmin, 2015, hlm. 5–6). Akibatnya, pembangunan infrastruktur yang krusial untuk menjalankan roda ekonomi dan modernisasi tidak terwujud. Efek domino inilah yang kemudian menjadikan krisis ekonomi Mali terjadi berkepanjangan. Kondisi ini juga diperparah dengan tingginya ketergantungan Pemerintah Mali secara ekonomi terhadap Perancis, ECOWAS (organisasi negara Afrika Barat), Bank Sentral Afrika, serta pihak-pihak pendonor (Bastagli & Toulmin, 2015, hlm. 28). Korupsi yang merajalela menjadi penyebab utama lambannya respons Pemerintah Mali terhadap krisis ekonomi, meskipun bantuan asing terus mengalir — baik secara material maupun asistensi kebijakan.

Lemahnya Pemerintahan Ibrahim Boubacar Keita yang berkuasa sejak 2013 juga memperpanjang perang saudara antara pemerintah melawan pemberontak Tuareg dan Kelompok Teror Al-Qaeda yang sejatinya telah berlangsung sejak 2012. Dapat dikatakan hampir tidak ada usaha signifikan untuk memperkuat ketahanan nasional Mali dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka membendung gerakan nasionalisme etnis dan terorisme. Rendahnya penyerapan anggaran militer — lagi-lagi akibat korupsi — menjadi penyebabnya (The International Institute for Strategic Studies, 2020, hlm. 487). Militer Mali yang kecil juga mengalami penurunan moral tempur secara drastis — salah satu aspek yang mendorong terjadinya pemberontakan militer dan kudeta pada Agustus lalu.

Untuk menegakkan stabilitas dan melawan pemberontakan Tuareg dan terorisme di utara Mali, Pemerintahan Keita sejak 2013 meminta bantuan kepada Perancis — sekutu klasiknya, ECOWAS, dan sejumlah negara Afrika lainnya (BBC, 2013). Sejumlah operasi militer, seperti Operasi Serval dan Operasi Barkhane dilakukan guna melawan pemberontakan sekaligus menguasai kembali kota-kota yang dikuasai oleh pemberontak. Dengan total lebih dari 23.500 pasukan asing berikut pasukan perdamaian PBB (Norman, 2012), praktis Mali menjadi “sarang” bagi kekuatan asing di Afrika setelah Somalia.

Keberadaan pasukan asing dalam jumlah demikian besar di Mali menciptakan situasi ideal untuk intervensi terhadap pemerintahan interim pascakudeta 2020. Sekalipun disambut gembira oleh sebagian besar masyarakat Mali karena berhasil menumbangkan rezim Keita yang korup dan tidak efektif, pemerintahan Komite Penyelamatan Rakyat pimpinan Assimi Goita tersebut tidak mendapat sambutan baik secara internasional akibat pemindahan kekuasaan secara paksa dan disertai kekerasan. Sejumlah besar negara Afrika, berikut ECOWAS dan Uni Afrika selaku institusi regional di benua tersebut mengutuk keras kudeta militer tersebut (France24, 2020).

Perancis, sekutu lama Keita turut melayangkan kritik keras terhadap kudeta tersebut dan menyerukan dibentuknya pemerintahan demokratis dengan segera. Bukan hal yang mengejutkan, mengingat Perancis sedang berusaha mempertahankan kepentingannya di kawasan Afrika Barat. Perlu dicatat bahwa Perancis merupakan negara penjajah sebagian besar negara di kawasan tersebut. Untuk mempertahankan posisinya secara ekonomi-politik, Perancis mendirikan Bank Sentral Afrika Barat (CFA) yang mengontrol sistem moneter di kawasan ini, termasuk Mali (Aboa, 2019). Angin segar untuk intervensi Perancis semakin terasa dengan pernyataan resmi Dewan Keamanan PBB yang berisi serupa: mengutuk kudeta tersebut dan menyerukan dibentuknya pemerintahan baru yang demokratis, menurut laporan Anadolu (Aytekin, 2020). Akankah intervensi asing terjadi? Bagaimana pemerintahan baru Mali akan membentuk politik luar negeri guna meyakinkan pihak eksternal? Apakah masyarakat melegitimasi pemerintahan baru Mali tersebut? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

REFERENSI

Aboa, A. (2019, Desember 22). West Africa renames CFA franc but keeps it pegged to euro. Reuters. https://af.reuters.com/article/uk-ivorycoast-france-macron-idAFKBN1YP0KD

Al Jazeera. (2020, Agustus 20). Mali crisis deepens as president, PM detained by mutinous troops. https://www.aljazeera.com/news/2020/08/gunfire-heard-mali-army-base-warnings-mutiny-200818111723901.html

Aytekin, E. (t.t.). UN Security Council to meet over Mali coup. Diambil 3 September 2020, dari https://www.aa.com.tr/en/africa/un-security-council-to-meet-over-mali-coup/1946748

Bastagli, F., & Toulmin, C. (2015). Mali: Economic Factors Behind the Crisis (Policy Recommendation EP/EXPO/B/DEVE/2013/13). European Parliament.

BBC. (2012, Oktober 13). UN adopts resolution on northern Mali. https://web.archive.org/web/20121013013800/http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-19933979

Diallou, A., & Soumare, M. (2020, Agustus 20). Mali Coup d’État: The soldiers who brought down IBK. The Africa Report.Com. https://www.theafricareport.com/38414/mali-coup-detat-the-soldiers-who-brought-down-ibk/

France24. (2020, Agustus 19). African Union suspends Mali’s membership as international community condemns coup. France 24. https://www.france24.com/en/20200819-mali-coup-leaders-face-international-condemnation-au-suspends-membership

Maclean, R. (2020, Juli 16). Anger at Mali’s President Rises After Security Forces Kill Protesters. The New York Times. https://www.nytimes.com/2020/07/16/world/africa/mali-protesters-killed-keita.html

Norman, L. (2012, Oktober 31). Europe’s Response to Mali Threat — WSJ. https://www.wsj.com/articles/BL-RTBB-3437

The International Institute for Strategic Studies (Ed.). (2020). The Military Balance (Vol. 459). Routledge.

United States Department of Agriculture. (2017, April). Mali | USDA Foreign Agricultural Service. https://www.fas.usda.gov/regions/mali

World Bank Group. (2019). Global Economic Prospects: Heightened Tensions, Subdued Investment [Flagship Report]. World Bank Group.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet