Masa Depan Hong Kong: Dekonsolidasi Demokrasi dan Ancaman Hilangnya Pusat Keuangan Asia
Oleh: Alifia Sekar
Pengumuman mengenai Rancangan Undang-Undang Keamanan oleh Tiongkok terhadap Hong Kong bulan lalu menuai protes dan kecaman dari masyarakat lokal sekaligus internasional. Pasalnya, UU yang ditujukan untuk mengatur hal-hal terkait separatisme, subversi kekuasaan negara, tindakan terorisme, dan campur tangan asing tersebut dikhawatirkan justru dapat menghapus esensi dari kebebasan rakyat, melindas aksi kelompok prodemokrasi, dan mencederai kewajiban pemberian otonomi Tiongkok terhadap Hong Kong yang masih akan terus berlanjut hingga tahun 2049. Bahkan, Wu Chi-wai, salah satu pemimpin dari kubu pro-demokrasi di Hong Kong, menandaskan bahwa UU yang berlaku mulai bulan September tersebut akan menandai kematian dari hak “satu negara, dua sistem” yang dimiliki Hong Kong sejak tahun 1997 (BBC, 2020) — walaupun pemerintah Tiongkok berdalih pengimplementasian UU tersebut tidak akan mengurangi hak otonomi Hong Kong.
Takhanya membuka babak baru bagi perjuangan demokrasi di ‘Tanah Mutiara dari Timur’ tersebut, respons yang diberikan oleh Amerika Serikat juga diprediksi akan mampu membawa ancaman tersendiri bagi nadir perekonomian masyarakat domestik. Hal itu terjadi lantaran pernyataan Donald Trump yang secara tegas menyatakan akan mencabut status istimewa yang dimiliki Hong Kong. Sejak tahun 1992, Hong Kong sebagai wilayah semiotonom memang diperlakukan secara berbeda oleh AS terutama dalam bidang-bidang yang menyangkut pertukaran finansial, imigrasi, dan perdagangan (Stevenson, 2020). Jika Trump benar menghapuskan status tersebut, maka keuntungan yang selama ini diperoleh Hong Kong, seperti pemberlakuan tarif dagang rendah atau nol dan perjalanan bebas visa akan otomatis hilang. Lebih lanjut, investasi antarkedua negara pun dapat menjadi lebih sulit mengingat bentuk pengawasan ekstra yang selama ini dilancarkan oleh AS terhadap perusahaan-perusahaan asal Tiongkok — padahal, berdasarkan data Biro Sensus Amerika, Hong Kong menjadi sumber surplus perdagangan terbesar AS pada tahun lalu yang mencapai angka 26,1 triliun Dolar AS (Lawder, 2020). Secara tidak langsung, hal ini akan memengaruhi pula sentimen dari pelaku bisnis dan investor dari negara lain. Maka takberlebihan kiranya bila Jimmy Lai, seorang aktivis pro-demokrasi di Hong Kong, berpendapat bahwa pengimplementasian UU Keamanan tersebut dapat membunuh Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia (Tan, 2020).
Referensi
BBC. 2020. China Umumkan Rancangan Undang-undang Keamanan Baru yang ‘Bisa jadi Akhir Hong Kong’. Available at: https://www.nytimes.com/2020/05/28/business/hong-kong-special-status-explained.html
Lawder, D. 2020. Explainer: How Ending Hong Kong’s ‘Special Status’ Could Affect U.S. Companies. Available at: https://www.reuters.com/article/us-usa-china-hongkong-trade-explainer/explainer-how-ending-hong-kongs-special-status-could-affect-us-companies-idUSKBN22Y22Z
Stevenson, A. 2020. Will the U.S. Soon Treat Hong Kong Like China? Much Is at Stake. New York Times. Available at: https://www.nytimes.com/2020/05/28/business/hong-kong-special-status-explained.html
Tan, H. 2020. The U.S. Should Not Revoke Hong Kong’s Special Status, Says Pro-Democracy Mogul Jimmy Lai. CNBC. Available at: https://www.cnbc.com/2020/06/04/the-us-should-not-revoke-hong-kongs-special-status-jimmy-lai.html