Masa Depan Afghanistan: Saat Mata Dunia Tertuju ke Ukraina

Gracia Ayni Warella

Langit berawan, asap bertebaran, dan peluru berterbangan sambil diiringi suara tangis krisis kemanusiaan. Afghanistan kembali menjadi atensi komunitas internasional selepas penarikan pasukan Amerika Serikat beserta sekutu. Beroperasi hampir 20 tahun, kehadiran militer Barat berkontribusi signifikan terhadap eksistensi pemerintahan republik demokratis sejak pertama kali didirikan pada 1980. Dengan berkuasanya Taliban, implikasi signifikan terlihat dalam krisis sosial-politik, dimana hak wanita terlimitasi, tindak teroris marak terjadi, dan tensi terus memanas antara kelompok agama maupun etnis.

Sesaat setelah Biden menghentikan operasi militer di Afghanistan, berbagai kekuatan besar dunia bergegas merespon situasi melalui upaya diplomatik untuk menekan Taliban agar tetap menegakkan hak asasi dan mematuhi regulasi sehingga stabilitas dapat tercapai. Supervisi berlangsung selama kurang lebih 7 bulan hingga kemudian lahir konflik lain di belahan bumi utara. Hal ini memicu reorientasi politik luar negeri Amerika Serikat dari merespon krisis Afghanistan beralih ke konflik Rusia-Ukraina. Upaya 20 tahun terancam sirna akibat transformasi iklim politik di kancah global. Lebih lanjut, potensi akan berkembangnya jaringan teroris dan kriminal transnasional dinilai sangat memungkinkan menimbang krisis ekonomi, sosial, maupun politik terus menghiasi eksistensi rezim Taliban. Regresi atas kebijakan progresif pun terancam berkontradiksi dengan ideologi Islam fundamentalis. Selain itu, kualitas demokrasi semakin terdegradasi seiring mekanisme kontestasi publik seperti pemilihan hilang dari sistem pemerintahan. Maka, kerjasama dari tiap aktor, khususnya komunitas internasional diperlukan demi menghindari komplikasi dan mencapai stabilitas politik, sosial, keamanan, serta ekonomi.

Terorisme menjadi salah satu dasar dimulainya The War on Terror, secara khusus invasi Amerika Serikat atas Afghanistan, dimana Taliban diduga melindungi Osama Bin Laden, dalang utama dari serangan teroris atas menara World Trade Center (WTC). Pasca 9/11, region Timur Tengah kerap dikorelasikan dengan berbagai kelompok teroris, seperti Al-Qaeda dan ISIS. Terlepas dari makin melemahnya supremasi tiap kelompok, potensi kebangkitan ditaksir cukup signifikan, terlebih penarikan pasukan Amerika Serikat dianggap sebagai momentum tepat menimbang krisis sosial, politik, dan ekonomi melanda hampir seluruh populasi. Tentunya reorientasi politik luar negeri Barat turut berkontribusi signifikan dalam dampak destruktif rezim Taliban, secara spesifik ekonomi. Dengan Amerika Serikat yang terdistraksi di Ukraina dan tak memberi izin bagi pemerintahan Emirat Islam untuk mengakses aset finansial dari rezim sebelumnya (Franck, 2021), ekonomi akan semakin terpuruk hingga berpotensi melahirkan berbagai bentuk komplikasi.

Pasca akuisisi pemerintahan oleh Taliban, berbagai negara secara signifikan memotong dana bantuan kemanusiaan. Kebijakan dari tiap aktor beresolusi negatif bagi ekonomi, dimana selama 20 tahun sekitar 80% anggaran berasal dari dukungan finansial eksternal (Nagesh, 2021). Tak dapat dipungkiri, asistensi luar negeri krusial dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Afghanistan (Fayez, 2021), terlebih dengan Amerika Serikat yang menolak akses Taliban terhadap aset finansial sebesar $9,4 triliun. Tak sebatas menahan triliunan dollar, negara Barat telah menangguhkan berbagai proyek infrastruktur melalui USAID, World Bank, IMF dan Asian Development Bank, selagi krisis humaniter semakin memburuk.

Instabilitas situasi ekonomi Afghanistan dinilai dapat memotivasi pertumbuhan subur jaringan teror dan kriminal transnasional. Kesengsaraan akibat terpuruknya situasi ekonomi negara akan beresolusi pada persepsi negatif terhadap pemerintah dan penurunan level akseptasi publik (Sajid, 2021). Hal ini berpotensi menyebabkan individu semakin mudah teradikalisasi dan termotivasi untuk bergabung dalam organisasi teror. Krisis turut meningkatkan probabilitas perekrutan aktor teroris di level masyarakat akibat kegagalan berbagai institusi dalam merespon aspirasi dan mengatasi kontroversi (Omelicheva & Webb, 2020). Apabila tak ada atensi khusus dari komunitas internasional terhadap problematika humaniter tersebut, Afghanistan diprediksi akan kembali menjadi ladang subur terorisme.

Tak hanya mengkonstruksi sistem ekonomi, Amerika Serikat turut membawa nilai demokrasi dan hak asasi ke dalam dinamika sosial-politik Afghanistan. Berbagai regulasi liberal progresif di bidang pendidikan dan gender diimplementasikan terlepas dari eksistensi norma sosial bertendensi patriarkis serta diskriminatif. Pasca penarikan pasukan dari Afghanistan, Taliban telah dengan masif memproduksi sejumlah peraturan yang berorientasi pada pengekangan hak asasi perempuan, pembatasan kebebasan berekspresi bahkan pengawasan ketat atas akses terhadap pendidikan dan kesehatan (Human Rights Watch, 2022). Dinamika sosial, secara khusus proteksi kelompok marjinal terancam oleh rezim Taliban, dimana perjuangan 20 tahun demi menyebarkan ideologi demokrasi liberal seakan sirna selepas Amerika Serikat mengatur kembali kebijakan luar negerinya.

Esensi demokrasi sedang mengalami regresi signifikan, tak hanya dalam aspek sosial, kehidupan politik pun ikut terdampak. Mekanisme pemerintahan demokratis seperti pemilihan eksekutif dan legislatif dihilangkan oleh rezim Taliban. Hal ini terealisasi melalui pembubaran dua institusi pemilihan, yakni Komisi Pemilihan Independen (IEC) dan Komisi Pengaduan Pemilihan Independen (Agence France-Presse, 2021). Tanpa adanya kontestasi publik, sistem checks and balances tak dapat terjadi hingga beresolusi pada malfungsi demokrasi (Powell, 2000). Eksekutif berpotensi memiliki supremasi tak terbatas atas seluruh regulasi beserta implementasinya. Dalam kasus Afghanistan, pemimpin Taliban berorientasi otoriter dan bertendensi represif terhadap hak asasi serta kebebasan berekspresi yang merupakan aspek eminen dari demokrasi itu sendiri. Dengan eksistensi nilai liberal terancam, dunia Barat sudah sepatutnya berdiskusi menemukan solusi atas krisis yang terjadi melalui kooperasi dan kolaborasi dari tiap aktor.

Reorientasi politik luar negeri Amerika Serikat selepas invasi Rusia atas Ukraina beresolusi pada variasi komplikasi di level internasional. Seakan terlupakan, kondisi Afghanistan semakin terpuruk seiring dunia terdistraksi dengan perang lain di belahan bumi utara. Tak hanya negara, media internasional pun tak lagi meliput krisis seiring atensi geopolitik yang tereskalasi pada konflik Rusia-Ukraina (Shams & Hakimi, 2022). Restriksi akses media oleh Taliban, dimana jurnalis nasional dan lokal dilimitasi aktivitas peliputannya (Human Rights Watch, 2021), turut mendasari transisi prioritas media Barat, bahkan komunitas internasional. Terlepas dari krisis ekonomi, pelanggaran hak asasi, serta kekerasan yang kerap terjadi, media internasional seakan hening dan tak menaruh interes signifikan terhadap situasi humaniter darurat Afghanistan. Begitupun penindasan terhadap hak perempuan, sebagai salah satu nilai demokrasi, kesetaraan gender pun tak lagi menjadi prioritas dunia Barat (Jehangir, 2020). Tak adanya perang bukanlah perdamaian, dimana walaupun jurnalis tak mempromosikan konflik, namun dengan tidak konsisten meliput krisis, media internasional tak memprioritaskan perdamaian.

Selagi perang berkecamuk di belahan bumi utara antara Rusia dan Ukraina, rakyat Afghanistan semakin tertindas dengan berbagai regulasi represif oleh rezim Taliban. Akademisi memprediksi krisis ekonomi akan beresolusi pada kembalinya Afghanistan sebagai ladang subur bagi jaringan teroris dan kriminal transnasional. Didasari pada ideologi Islam fundamentalis, nilai demokrasi seperti kesetaraan, keadilan, dan kepastian hukum terancam eksistensinya. Selain itu, mekanisme kontestasi publik melalui pemilihan umum sebagai aspek krusial demokrasi pun hilang seiring sistem pemerintahan mengalami reformasi hingga terbentuk Keamiran Islam Afghanistan. Implikasi signifikan bagi situasi Afghanistan menjadi urgensi bagi setiap aktor, termasuk negara, institusi supranasional, regional, bahkan media — terlepas distraksi oleh konfrontasi militer Rusia-Ukraina — untuk terus berkolaborasi dalam upaya stabilisasi.

Gracia Ayni Warella adalah anggota divisi Penelitian dan Pengembangan FPCI UGM. Artikel ini melambangkan opini pribadi penulis dan belum tentu mewakili opini FPCI UGM

REFERENSI

Agence France-Presse. (2021, December 25). Taliban Dissolve Afghan Election Commissions, 2 Ministries. VOA. https://www.voanews.com/a/taliban-dissolve-afghan-election-commissions-2-ministries-/6369787.html

Fayez, H. (2012). The Role of Foreign Aid in Afghanistan’s Reconstruction: A Critical Assessment. Economic and Political Weekly, 47(39), 65–70. http://www.jstor.org/stable/41720193

Franck, T. (2021, August 19). U.S. won’t let Taliban access Afghanistan’s financial assets held in America. CNBC. https://www.cnbc.com/2021/08/18/us-wont-let-taliban-access-afghanistans-financial-assets-held-in-america.html

Human Rights Watch. (2021, February 10). Afghanistan: Taliban Crackdown on Media Worsens. https://www.hrw.org/news/2021/11/22/afghanistan-taliban-crackdown-media-worsens-0

Human Rights Watch. (2022, January 18). Afghanistan: Taliban Deprive Women of Livelihoods, Identity. https://www.hrw.org/news/2022/01/18/afghanistan-taliban-deprive-women-livelihoods-identity

Jehangir, A. (2022, March 20). The media spotlight on Afghanistan is fading fast — but the agony of its people is far from over. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/mar/19/the-media-spotlight-on-afghanistan-is-fading-fast-but-the-agony-of-its-people-is-far-from-over

Nagesh, B. A. (2021, August 25). Afghanistan’s economy in crisis after Taliban take-over. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-58328246

Omelicheva, M., & Webb, C. (2020). Economic Crises and Terrorism: Analyzing Competing Economic Pressures on Terrorism in Russia. Journal of Global Security Studies, 6(3). https://doi.org/10.1093/jogss/ogaa041

Sajid, I. (2021). Poverty pushing Afghans to join terror group Daesh/ISIS-K. Anadolu Agency. https://www.aa.com.tr/en/asia-pacific/poverty-pushing-afghans-to-join-terror-group-daesh-isis-k/2449002

Powell, G. B. (2000). Elections as Instruments of Democracy: Majoritarian and Proportional Visions. Yale University Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt32bwg8

Shams, S., & Hakimi, A. (2022). Ukraine: Why the West cannot afford to ignore Afghanistan. DW.COM. https://www.dw.com/en/ukraine-war-why-the-west-cannot-afford-to-ignore-afghanistan/a-61121939

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet