Legislasi “Jihad Romeo” Uttar Pradesh: Fundamentalisme Hindu sebagai Pedoman Kekerabatan dan Kekerasan
Oleh: Allysa Ramadhani
Minggu (29/11), Kepolisian Uttar Pradesh menuding seorang pria Muslim mengancam seorang gadis Hindu untuk pindah agama, dan tuduhan ini kemudian tercatat sebagai kasus perpindahan agama secara paksa pertama setelah Undang-Undang Larangan Konversi Agama yang disahkan lima hari sebelumnya (Singh, 2020). Aturan ini berlaku seiring dengan peningkatan kekerasan berbasis “jihad cinta,” merujuk pada usaha pria Muslim untuk mendorong perempuan non-Muslim agar berpindah agama serta mengubah citra India sebagai negara mayoritas Hindu. Setelah pemerintah Uttar Pradesh mengesahkan aturan yang memberikan hukuman penjara hingga sepuluh tahun bagi pelaku jihad cinta, beberapa negara bagian yang dipimpin partai Hindu bersayap kanan — sekaligus partai dominan — BJP tengah mempertimbangkan aturan serupa.
Kemunculan undang-undang yang meregulasi gelombang perpindahan agama didasari oleh kekhawatiran Shree Mohan Bhagwat selaku ketua kelompok nasionalis Hindu, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). Kemenangan BJP pada Pemilihan Umum 2014 memberikannya posisi tawar yang lebih tinggi untuk memobilisasi pemilih pada pemilihan umum selanjutnya serta merumuskan kebijakan berbasis Hindutva — menghendaki India sebagai negara Hindu. Mengingat afiliasi RSS dengan BJP, Bhagwat menunjukkan keprihatinan pada kasus konversi paksa sekaligus mendukung pembangunan komunitas Hindu yang kuat melalui pelarangan konversi melalui hukum (The New Indian Express, 2014), membangkitkan fundamentalisme Hindu pada struktur masyarakat India dalam tiga moda, yaitu hukum diskriminatif, kekerasan komunal dan ideologi, dan kontrol atas kehidupan perempuan.
Pertama, Undang-Undang Larangan Konversi Agama membentuk citra masyarakat Muslim India sebagai komunitas yang jahat dan tidak dapat dipercaya. Sesuai rancangan yang diajukan Komisi Hukum Negara Bagian Uttar Pradesh tahun lalu, penduduk yang hendak pindah agama perlu memberi pemberitahuan dua bulan sebelumnya pada pejabat pemerintah dan keluarga mereka jika tak ingin menerima hukuman penjara — antara satu sampai dengan lima tahun — dan pembatalan permohonan konversi (The Leaflet, 2019). Meskipun Undang-Undang Larangan Konversi Agama dapat mencegah penipuan berbasis jihad cinta dengan meletakkan beban pembuktian atas ketulusan niat pindah agama, undang-undang serupa tak-memberikan parameter spesifik untuk mengukur adanya pemaksaan dan penipuan dalam niat pemohon. Justru, upaya memarginalisasi masyarakat Muslim di Uttar Pradesh akan terjustifikasi dengan undang-undang ini, khususnya dengan kebangkitan jihad cinta dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, penting untuk diketahui bahwa leksikon “jihad cinta” mulanya merupakan instrumen politik RSS untuk meradikalisasi dan memecah masyarakat hingga memunculkan ekstremisme kekerasan terhadap masyarakat non-Hindu. RSS menggunakan jaringannya dengan kelompok teroris dan negara Islam serta memanfaatkan media sosial untuk mengembangkan jihad cinta. Setelah menyebarkan desas-desus bahwa seorang pria Muslim menguntit perempuan dan memperoleh hukuman gantung — dibuktikan dengan video hukuman gantung palsu yang sebenarnya merupakan video lama hukuman yang dilakukan oleh anggota Taliban — di Desa Kawal, RSS memicu ketegangan komunal melalui perusakan, penjarahan, dan protes dengan masyarakat Muslim sebagai pelakunya (Mahaprashasta, 2020). Di saat yang bersamaan, komunitas Hindu semakin paranoid dengan kegagalan pemimpin Uttar Pradesh untuk mencegah konflik yang semakin meluas. Akhirnya, Ketua Menteri Uttar Pradesh, Yogi Adityanath, akan menyusun undang-undang yang melarang jihad cinta dan menghukum mati pelakunya (Tiwari, 2020). Oleh sebab itu, “jihad cinta” merupakan konsep artifisial yang diciptakan untuk kepentingan politik tertentu — memecah belah masyarakat dan menciptakan gangguan.
Meskipun polarisasi komunal Uttar Pradesh menjadi semakin berbahaya, BJP menilai bahwa tindakan RSS menguntungkan mereka secara politik — khususnya dengan penyebaran Hindutva. Memopulerkan ide bahwa India semestinya memberikan pengakuan khusus bagi komunitas Hindu dan menjamin hak-hak mereka secara hukum, BJP mengeksploitasi situasi di Desa Kawal untuk mengonsolidasikan legitimasinya. Melalui Undang-Undang Larangan Konversi Agama, pemerintahan Modi selangkah lebih dekat dalam pengabaian hak-hak masyarakat Muslim dalam kekerabatan sosial. Sebelum undang-undang antikonversi, India mengeluarkan peraturan yang melarang praktik perceraian instan di kalangan Muslim “Talak Tiga” serta mengkriminalisasi pelakunya (BBC News, 2019). Dalam jangka panjang, kedua instrumen legal ini mereduksi komunitas Muslim sebagai warga kelas kedua yang berniat untuk mentransformasi India menjadi negara Muslim — bukan negara Hindu yang dikristalkan pada Hindutva, bukan negara sekuler yang dicantumkan dalam konstitusi.
Padahal, di luar konflik Hindu-Muslim yang semakin kronis hingga kini, BJP tampak mengabaikan kekerasan berbasis gender yang umum. Walaupun India dapat menyebutkan secara eksplisit bahwa tujuan Undang-Undang Larangan Konversi Agama adalah melindungi perempuan Hindu, negara tidak seharusnya terlibat dalam urusan privat — khususnya perkawinan. Peraturan ini diperlukan untuk meminimalisasi ancaman jihad cinta serta mengkriminalisasi pelakunya, tetapi India sendiri belum memiliki peraturan untuk melindungi perempuan dalam pernikahan yang tidak melibatkan paksaan. Selain itu, sesuai dengan penjelasan di paragraf ketiga, pemberitahuan pada pejabat pemerintah dan keluarga pemohon konversi — terutama dalam kasus pernikahan antaragama — justru memunculkan celah bagi penolakan keputusan seorang perempuan untuk menikah (Tiwari, 2020), mengimplikasikan bahwa kebebasan perempuan untuk secara sukarela menikah dan/atau pindah ke agama lain masih belum terjamin.
Dengan demikian, Undang-Undang Larangan Konversi Agama seakan mengekspos dualisme pemerintah India sebagai malaikat pelindung dan malaikat maut bagi konstituennya. Sesuai dengan pendapat aktivis hak John Dayal (dalam Adil, 2020), “Jihad cinta adalah kata misoginis mengerikan yang menjelekkan minoritas, memolarisasi orang, dan memperkuat pegangan patriarki atas identitas, seksualitas, dan hak pilihan perempuan.” Memiliki kerentanan untuk disalahgunakan sebagai alat pelecehan, aturan ini mengindikasikan bahwa pemerintah India — yang didorong oleh fundamentalisme Hindu — belum memberikan akses merata terhadap keadilan, mengingat fokusnya untuk mewujudkan supremasi Hindu alih-alih menjamin kesetaraan hak konstituen, khususnya komunitas Muslim dan perempuan.
Referensi
Adil, A. (2020, November 27). India: New law to control interfaith marriages trigger fears. Anadolu Agency. https://www.aa.com.tr/en/asia-pacific/india-new-law-to-control-interfaith-marriages-trigger-fears/2057561
BBC News. (2019, Juli 30). Triple talaq: India criminalises Muslim “instant divorce.” https://www.bbc.com/news/world-asia-india-49160818
Mahaprashasta, A. A. (2020, November 20). The History of “Love Jihad”: How Sangh Parivar Spread a Dangerous. The Wire. https://thewire.in/communalism/love-jihad-anti-muslim-history-sangh-parivar
Singh, K. (2020, November 30). Uttar Pradesh files first case within hours of getting anti-conversion law. The Times of India. https://timesofindia.indiatimes.com/city/bareilly/uttar-pradesh-files-first-case-within-hours-of-getting-anti-conversion-law/articleshow/79472696.cms
The Leaflet. (2019, November 22). UP State Law Commission submits draft anti-conversion bill to the CM. https://www.theleaflet.in/up-state-law-commission-submits-draft-anti-conversion-bill-to-the-cm/
The New Indian Express. (2014, Desember). RSS Chief Mohan Bhagwat Pitches For Anti-conversion Law. https://www.newindianexpress.com/nation/2014/dec/20/RSS-Chief-Mohan-Bhagwat-Pitches-For-Anti-conversion-Law-696498.html
Tiwari, P. (2020, November 30). What is behind India’s ‘love jihad’ legislation? Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/opinions/2020/11/30/what-is-behind-indias-love-jihad-legislation/