Lambatnya Penanganan atau Dependensi Industri Kelapa Sawit: Konsistensi Indonesia terhadap Ratifikasi AATHP Pasca-Karhutla 2019

oleh: Arrizal Anugerah Jaknanihan & Gerry Sheva Indianto

Pada 16 September 2014, Indonesia meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Tindakan yang diambil oleh Indonesia tersebut menandakan lengkapnya kesepuluh anggota ASEAN dalam meratifikasi instrumen hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam penanganan dan pencegahan terjadinya kabut asap. Bencana kabut asap haze pollution’ sendiri bukanlah hal yang baru di ASEAN. Sebelum AATHP diperkenalkan pada 2002, negara-negara di kawasan Asia Tenggara pernah mengalami bencana kabut asap hebat pada kurun 1997–1998. Bencana kabut asap tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan skala besar yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan 1997 pada beberapa titik yang terpusat di Sumatera dan Kalimantan. Dampak dari kebakaran hutan akhirnya turut dirasakan oleh beberapa negara tetangga, terutama Singapura, Malaysia, Brunei, dan juga Thailand. Dampak yang bersifat transnasional dari bencana lingkungan tersebut akhirnya mendorong ASEAN untuk membentuk Regional Haze Action Plan pada 1998 yang berakhir pada terwujudkannya AATHP pada 2002.

Walaupun Indonesia menjadi negara terakhir yang meratifikasi AATHP, langkah Indonesia tetap mendapat apresiasi dari negara ASEAN lain. Akan tetapi, tindak lanjut Indonesia setelah meratifikasi AATHP dinilai masih jauh dari efektif dalam mencegah dan menangani bencana kabut asap. Tidak lama setelah Indonesia meratifikasi AATHP, Indonesia sekali lagi mengalami kebakaran hutan pada September 2015. Kebakaran hutan tersebut dinilai menjadi kebakaran terburuk sejak tahun 1997, menghasilkan emisi sebanyak 8.9 ton karbon dioksida — setara dengan total emisi seluruh negara anggota Uni Eropa per harinya pada periode yang sama (Tempo, 2016). Kebakaran yang terjadi di lahan seluas dua juta hektar — atau 32 kali luas wilayah DKI Jakarta — tersebut menimbulkan kritikan keras dari berbagai kalangan, termasuk dari negara-negara ASEAN yang paling terdampak, seperti Malaysia dan Singapura, lebih lagi dari masyarakat Indonesia sendiri.

Tindakan yang lambat dan komitmen yang kurang dari Indonesia juga menjadi kritikan keras dari komunitas internasional. Serupa dengan kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997, ketergantungan terhadap industri kelapa sawit dinilai menjadi salah satu sebab utama yang membuat Indonesia tidak mengambil langkah yang efektif dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan bencana kabut asap. Meskipun terjadinya el nino dilansir menjadi faktor utama dari bencana kebakaran hutan yang terjadi, beberapa laporan dan lokasi titik kebakaran hutan di lahan konsesi kelapa sawit memberikan indikasi bahwa ekspansi lahan kelapa sawit masih menjadi faktor utama yang membuat ratifikasi AATHP dinilai hanya sebagai gimik semata Indonesia dalam politik regional ASEAN (Heillman, 2016, p. 109).

Bagi Indonesia, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang paling menguntungkan. Pada tahun 2018 saja, akumulasi dari total ekspor dari industri kelapa sawit Indonesia mencapai nilai 17.89 miliar dolar AS. Mengingat permintaan pasar dunia untuk minyak kelapa sawit terus meningkat, maka peluang industri kelapa sawit Indonesia untuk terus berkembang merupakan suatu hal yang sangat prospektif (Septiari, 2019). Meningkatnya permintaan untuk minyak kelapa sawit menjadi akar masalah dari kabut asap Indonesia. Hal ini disebabkan karena pembukaan lahan untuk industri kelapa sawit yang dilakukan dengan metode slash and burn. Metode ini dinilai sebagai metode yang paling ekonomis. Meskipun demikian, slash and burn hanya bisa dikatakan murah secara materi karena dampak lingkungan yang diberikan dengan mudah mengimbangi — bahkan melebihi — keuntungan materi dari praktik slash and burn. Hal yang berujung pada ‘lingkaran setan; bencana kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan massal ketika pemilihan umum telah berlangsung — 2015 dan 2019 tepat setelah Joko Widodo terpilih menjadi presiden (Septiari, 2019).

Status Indonesia sebagai negara yang paling terakhir meratifikasi AATHP — dua belas tahun sejak perjanjian tersebut pertama kali dicanangkan dan jeda empat tahun semenjak ratifikasi terakhir oleh Filipina pada tahun 2010 — juga dinilai cukup ironis. Pasalnya, Indonesia yang merupakan kontributor utama dari masalah bencana kabut asap di ASEAN, tetapi justru menjadi negara yang paling belakang untuk meratifikasinya. Berbanding terbalik dengan Malaysia yang merupakan negara pertama yang meratifikasi AATHP, meskipun sama-sama memiliki industri kelapa sawit yang signifikan. Ironi tersebut turut diperparah ketika sekali lagi ketika Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan besar pada tahun September 2019. Kebakaran hutan tersebut membakar 800.000 hektare lahan. Dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan, polemik mengenai industri kelapa sawit seharusnya tidak lagi berkutat pada kepentingan politik dan persaingan ekonomi lagi.

ASEAN, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Bangkok, sangat lekat dengan prinsip ASEAN Way. ASEAN Way adalah instrumen diplomatik yang mengedepankan dan menjunjung tinggi kedaulatan setiap negara anggota, prinsip noninteferensi dan nonkonfrontasional, serta konsultasi dan konsensus. Dengan adanya prinsip ini, negara anggota tidak bisa dipaksa untuk bertindak sesuai keinginan kolektif negara anggota lainnya. ASEAN Way dianut untuk mencegah potensi konflik strategis antarnegara anggota, tetapi menghambat penanganan masalah regional yang bersifat nonstrategis (Nurhidayah et. al, 2015, p. 184).

ASEAN Way yang mengedepankan kedaulatan negara menjadi halangan dalam menangani masalah kabut asap karena mengurangi kepatuhan terhadap mekanisme yang sudah ditawarkan dalam AATHP. ASEAN Way mengharuskan ASEAN untuk menghormati keputusan Indonesia. Selain itu, prinsip konsensus juga membatasi usaha regional untuk menyelesaikan masalah ini. Setiap keputusan yang diambil harus mendapatkan persetujuan dari setiap negara. Mengingat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap industri yang memerlukan pembukaan lahan dalam skala besar, besar kemungkinan segala bentuk intervensi atas nama penanganan bencana kabut asap yang menyangkut industri kelapa sawit Indonesia akan mengalami penolakan (Heilmann, 2016, p. 110). Walaupun ASEAN Way menjadi hambatan terhadap penanganan kabut asap, prinsip ini berhasil menjaga stabilitas regional ASEAN secara kolektif — membuat kompromi terhadap prinsip tersebut kemungkinan tidak akan ditinggalkan dalam waktu dekat.

Hingga saat ini, kelapa sawit masih menjadi komoditas ekspor utama dari Indonesia. Indonesia dalam jangka pendek dinilai belum dapat melepaskan ketergantungannya terhadap industri kelapa sawit. Akan tetapi, Indonesia dapat melakukan langkah lain dalam upaya meminimalisasi dampak lingkungan yang diakibatkan olehnya, terlebih dalam bencana asap yang secara langsung berdampak pada negara-negara tetangga. Lebih lagi, mengingat isu krisis lingkungan yang makin perlu untuk mendapatkan tempat dalam kebijakan luar negeri Indonesia — tidak serta-merta perdebatan antara ekonomi dan kedaulatan negara. Terutama, setelah terjadinya serangkaian bencana lingkungan pada tahun 2019, mulai dari kebakaran hutan dan lahan yang juga terjadi di Brasil dan Amerika Serikat hingga dinobatkannya 2019 sebagai tahun rata-rata terpanas kedua sepanjang sejarah.

Referensi

Heilmann, Daniel. ‘After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution and Its Effectiveness As a Regional Environmental Governance Tool.’ Journal of Current Southeast Asian Affairs [online], 34(3),p. 95–121.

Tempo. ‘Riset: Ada 100.300 Kematian Akibat Kebakaran Hutan 2015.’ Tempo [online]. 20 September 2016. https://nasional.tempo.co/read/805612/riset-ada-100-300-kematian-akibat-kebakaran-hutan-2015 (accessed: 3 January 2020)

Septiari, Dian. ‘Smog raises questions about Indonesia’s commitment to transboundary haze treaty.’ The Jakarta Post [online]. 19 September 2019. https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/19/smog-raises-questions-about-indonesias-commitment-to-transboundary-haze-treaty.html (accessed 3 January 2020)

Nurhidayah, Laely. et. al. ‘The Influence of International Law upon ASEAN Approaches in Addressing Transboundary Haze Pollution in Southeast Asia.’ Contemporary Southeast Asia, 37(2), p. 183–210

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet