Kuasa Cakram Reformisme Barat di Roda Imperialisme Global: Analisis Komparatif Perbedaan Strategi Pergerakan Sayap Kiri di Filipina dan Perancis
Penulis: Tim Research and Development FPCI Chapter UGM (2024)
Latar Belakang
Perilaku politik secara global telah lama terbagi menjadi dua semantik, yakni politik “kanan” dengan karakteristik wacana yang mengecam mereka yang memiliki kehidupan yang baik tanpa kerja keras, seperti politisi dengan pendapatan tinggi serta pengangguran jangka panjang, dan politik “kiri” yang mengecam pihak-pihak berotoritas politik yang dianggap memperburuk ketidakadilan dan kesenjangan, seperti pemerintah dan lembaga supranasional (IMF, ECB, UE) (Salmela & von, 2018). Dapat dikatakan, partai politik sayap kiri cenderung kurang probisnis dan mengutamakan kesejahteraan kelas sosial bawah dibandingkan partai sayap kanan (Dunlap et al., dalam Neumayer, 2004). Namun, ideologi dari kaum sayap kiri (komunis) dan sayap kanan (fasis) memiliki kesamaan yang mencolok dalam gaya, organisasi, dan praktik politik masing-masing. Salah satunya adalah sama-sama bereksperimen dalam politik elektoral dengan berpartisipasi dalam pemilu dan mendirikan partai pemilu yang sah. Namun, momok fasisme yang semakin meningkat memunculkan krisis politik sehingga melahirkan koalisi politik dan ideologi kelompok sayap kiri di banyak negara yang bertujuan memerangi gelombang fasisme (Reuss, 1975).
Bersamaan dengan kekecewaan terhadap pemerintahan Persatuan Nasional yang dipimpin oleh Doumergue dan Flandin di Perancis, Parti Communiste Français (PCF) mendorong kaum komunis perancis, sosialis, dan kelompok politik berhaluan kiri lainnya membentuk komite de Vigilance des Intellectuals anti-fasis dan melahirkan Front Populer Perancis pada 1935 (Sharp, 2024). Ketidakpuasan atas deflasi, pengangguran, dan meningkatnya biaya hidup mendorong ribuan orang untuk kemudian mendukung program reformis Front Populer ini (Sharp, 2024). Saat ini, gerakan ini kembali hadir dengan lahirnya aliansi Nouveau Front Populaire (NFP) (Jacobin, 2024). Di sisi lain, Communist Party of the Philippines (CPP) lahir di Filipina pada 26 desember 1968 sebagai sebuah upaya revolusi pembebasan rakyat Filipina dari penindasan dan eksploitasi asing dan feodal, serta membuka gerbang menuju transformasi sosialis (Glanz, 2001). Pada awal tahun 1980an, CPP mengklaim memiliki ribuan pasukan angkatan bersenjata, yakni New People’s Army (NPA), ribuan kader politik, serta satu juta pendukung yang tersebar di wilayah pedesaan dan kota (de Jong, 2011).
Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menekankan identifikasi sosialis pada negaranya, tetapi NFP dan CPP memiliki strategi aksi yang berbeda satu sama lain. NFP menyadari bahwa inti jalan menuju sosialisme adalah reformis (Ross, 1977). Berbagai kondisi di Perancis menjadikannya perlu membentuk aliansi sosial dan politik dari kekuatan progresif berdasarkan katalog usulan perubahan yang dapat disetujui semua pihak yang dapat diraih ketika front popular berkuasa (Ross, 1977). Hingga akhirnya, saat ini NFP menyatukan partai-partai sayap kiri terkemuka di perancis, seperti Parti Socialiste, Les Écologistes, dll. untuk mengalahkan Rassemblement National pimpinan Marine Le Pen dalam pemilu mendatang dan mengumumkan program reformasi demokrasi dan sosial (Stetler, 2024). Sementara itu, CPP-NPA di Filipina mengadopsi perang gerilya dan menekankan peran kaum tani sebagai kekuatan utama revolusioner (ACLED, 2023). Hingga saat ini, CPP-NPA telah terlibat konflik dengan pemerintah Filipina selama lebih dari 50 tahun mengingat semua upaya negosiasi perdamaian oleh pemerintahan sebelumnya yang gagal sehingga operasi yang terus berlanjut menjadi ancaman perdamaian dan keamanan di Filipina (Vasquez, 2021).
Pada dasarnya, terdapat perbedaan signifikan dari pendekatan strategi aksi dari NFP dan CPP. NFP dengan pendekatan reformasi, dapat diartikan sebagai perubahan aktivitas dan ketidakpuasan politik, sosial, ekonomi, dan hukum, dengan tujuan untuk menumbuhkan kehidupan masyarakat dan negara yang lebih baik kedepannya (Prasojo dalam Fertasari et al., 2022). Dalam hal ini, partai politik sentris dijadikan alternatif untuk merancang program pemulihan dan restrukturisasi yang luas dengan mengajukan program baru dan menantang ideologi rezim yang berkuasa (Jaeh, 2017). Sementara itu, CPP sebagai produk masyarakat Filipina yang saat itu tengah mengalami krisis berkepanjangan membentuk gerakan revolusioner untuk menyelesaikannya (de Jong, 2011). Dalam hal ini, CPP menghidupkan teori dan praktik perjuangan bersenjata (Glanz, 2001). Mereka berkeinginan merubah dan mengganti status quo secara cepat dengan melawan kelompok politik yang berseberangan melalui kekerasan atau radikal (HM et al., 2024). Pasalnya, kerangka aksi gerakan revolusioner bersifat interpretatif dan berorientasi pada tindakan, kerangka kerja voluntaristik, dan menghasilkan identitas kolektif, yakni demokrasi nasional (Andreosso & Royall, 2012).
Secara umum, revolusi nasional adalah perubahan yang masif dalam suatu masyarakat untuk mengganti sistem yang ada, baik sistem politik, ekonomi, dan kebudayaan, dengan sistem yang berbeda (Alawiyah, 2022). Namun, perbedaan yang ada pada pemilihan pendekatan strategi aksi dari masing-masing kelompok berhaluan sayap kiri, baik reformis dari NFP di Perancis dan revolusioner dari CPP-NPA di Filipina terlepas dari persamaan tujuan untuk mengganti sistem politik di negaranya menuju sosialis memunculkan pertanyaan atas pemicu hal tersebut. Dengan demikian, kajian ini berfokus untuk melihat bagaimana kondisi ekonomi dan politik di Perancis dan Filipina dapat berpengaruh pada strategi aksi yang berbeda pada NFP yang cenderung reformis dan bertahap serta CPP yang radikal dan revolusioner. Selain itu, kajian ini juga akan melihat evaluasi perbedaan efektivitas dari masing-masing strategi yang diterapkan, yakni reformasi dan revolusioner dalam mencapai tujuan sosialis.
Kehadiran Kelompok Sayap Kiri akibat Kondisi Politik dan Ekonomi di Perancis dan Filipina: Apa yang Berbeda?
Bersamaan dengan transformasi menuju politik sayap kiri, berbagai negara melakukan usaha-usahanya untuk menancapkan kekuatan sosialis pada sistem pemerintahannya. Usaha tersebut juga dilakukan di negara-negara dengan kondisi politik dan ekonomi yang berbeda, termasuk antara negara dunia pertama, seperti Perancis, dan negara dunia ketiga, seperti Filipina. Untuk itu, bagian ini akan memaparkan perbedaan kondisi politik dan ekonomi yang mengakibatkan usaha transformasi menuju politik sayap kiri dengan tujuan menciptakan sistem yang berkeadilan.
Dengan adanya usaha pengentasan ketidakadilan serta bentuk kekecewaan atas Pemerintahan Doumergue dan Flandin di Perancis pada periode 1900 an, suatu kelompok masyarakat melakukan resistensi terhadap pemerintahan yang berkuasa dengan membentuk sebuah French Left pada 1934 untuk melakukan usaha perubahan secara reformis. Hal ini mengartikan bahwa French Left mengusahakan untuk membentuk rezim yang dapat melawan status quo politik sayap kanan yang eksploitatif. French Left ini pula terdiri atas berbagai partai-partai yang bersumber dari masyarakat pekerja, termasuk French Communist Party (PCF), Socialist French Section of the Workers’ International (SFIO), hingga Radical-Socialist Party. Pada 1936, kemenangan Popular Front dari French Left ini pula menjadikan Léon Blum sebagai Perdana Menteri Perancis pertama yang beraliran sosialis dan menandai pemerintahan sayap kiri pertama di Perancis dan menjadi starting point bagi kelompok sayap kiri di Perancis. Lalu, apa yang menyebabkan transformasi menuju pemerintahan sosialis di Perancis?
Di bidang ekonomi, usaha Perancis untuk melakukan eksploitasi dan menyimpan keuntungan sebanyak-banyaknya — yang selaras dengan arah politik sayap kanan — malah berakibat pada krisis ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada usaha kebijakan moneter Perancis yang restriktif, dimana pada tahun 1920 an, Perancis melakukan usaha akumulasi dan penyimpanan emas guna mempertahankan standar nilai emas di tingkat internasional. Hal ini dibuktikan dengan pangsa cadangan emas Perancis yang melonjak dari 7% pada tahun 1926 menjadi 27% pada tahun 1932 (Irwin, 2010). Dengan kebijakannya yang terus bertahan di tengah ekonomi yang semakin memburuk, Great Depression yang terjadi pada awal 1930 pun tidak tertangani dengan baik. Walaupun dampak dari Great Depression tidak seburuk negara lain, pertumbuhan ekonomi yang jatuh hingga 0.63% pada 1930 an memperparah kondisi sosial masyarakat, khususnya bagi kelas pekerja (Beaudry & Portier, 2002). Lebih lanjut, transformasi secara reformis pun tidak hanya dilakukan dalam sistem pemerintahan, tetapi juga dari sisi masyarakat. Pada 1930 an, masyarakat yang menginginkan perubahan secara menyeluruh mengakibatkan dua juta pekerja melakukan pemogokan kerja di Perancis (Price, 2014). Terpilihnya Léon Blum sebagai Perdana Menteri Perancis pertama yang menancapkan eksistensi sayap kiri di tubuh pemerintahan Perancis menjadi titik awal usaha penguatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sewarna dengan koalisi kiri Abad Dua Puluh, koalisi baru bertajuk NFP yang dibentuk tidak lebih dari setahun sebelum pemilihan parlemen Perancis 2024 dibentuk sebagai bentuk resiliensi partai sayap kanan Rassemblement Nationale (NP) yang dipimpin oleh Le Pen (Edwards, 2024). Dari segi ekonomi, hal ini lantaran program-program yang dijanjikan oleh NP dinilai lebih condong ke kelas pemilik modal besar daripada kelas pekerja. Prioritas konstituen politik ini dapat dilihat dari janji yang dijual oleh NP selama musim pemilu Perancis. Sebagai contoh, kampanye yang ingin mewujudkan “perdagangan adil” kerap digaungkan tanpa kejelasan lebih lanjut sebagai upaya menarik dukungan politik dari kalangan pebisnis yang sebelumnya khawatir akan posisi nasionalis NP yang menolak perdagangan bebas (Jacobin, 2024). Tentu saja, kondisi ekonomi-politik Perancis yang menyebabkan koalisi sayap kiri tahun 1934 dan 2024 tidak bisa dibandingkan secara paralel atas dasar adanya kekuasaan politik sayap kanan atau tidak. Namun, satu hal yang jelas: 1934 dan 2024 merupakan tahun di mana partai-partai sayap kiri bersatu untuk menyuarakan apa yang dipercayai sebagai suara dan kehendak kelas pekerja Perancis melalui cara reformis.
Kemudian, bagaimana dengan Filipina? Dengan pendekatannya yang revolusioner — dimana terdapat usaha untuk menggulingkan dan mengganti sistem pemerintahan — , kelompok sayap kiri di Filipina yang dipimpin oleh Jose Maria Sison membentuk sebuah partai komunis bernama Communist Party of the Philippines (CPP) pada 26 Desember 1968. Gerakan CPP pun juga diikuti dengan pembentukan sebuah gerakan komunis dengan arah militer, yakni pembentukan New People’s Army (NPA) pada 29 Maret 1969. Bertepatan dengan ulang tahun Mao Zedong ke-75, pembentukan CPP bukan tanpa sebab. CPP percaya bahwa Filipina menganut sistem semi-feudal yang melanggengkan struktur kapitalisme monopoli neo-kolonial (Buenaventura, 2023). Selain itu, kemunculan partai sayap kiri tersebut merupakan hasil dari protes terhadap pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos yang tidak hanya memperburuk kondisi ekonomi, tetapi juga melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok elit yang setia padanya dan menyingkirkan masyarakat sipil. Walaupun ketika dilihat dalam GDP riil pada awal kepemimpinannya mengalami kenaikan, pengeluaran pada awal kepemimpinan Marcos pada 1965–1969 mengalami defisit hingga 70% lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan saat itu pun sangat bergantung tinggi pada pinjaman luar negeri — yang banyak ekonomis mengatakan bahwa kebijakan tersebutlah yang menyebabkan permasalahan ekonomi Filipina pada 1980 an (Magno, 1998). Untuk menyukseskan pemilihan umum pada 1969, ia pun memulai proyek pembangunan yang menyebabkan krisis ekonomi bagi kalangan bawah. Lebih lanjut, ia pun melanggengkan kekuasaannya dengan menarik para elitis, termasuk pemegang industri dan pengusaha, ke dalam sistem pemerintahan, seperti penunjukkan Roberto Salas Benedicto, pemilik Philippine Exchange Company dan Philippines Daily Express, sebagai kepala dari Bank Nasional Filipina ataupun Rodolfo Cuenca, seorang pebisnis pemilik perusahaan konstruksi terbesar di Filipina, sebagai kepala dari Construction and Development Corporation of the Philippines.
Kondisi sosial dan ekonomi yang memburuk memuncak dan menghasilkan sebuah gelombang demonstrasi yang didominasi kelompok CPP pada 1970. Peristiwa ini dikenal dengan demonstrasi first quarter storm. Dengan mayoritas demonstran merupakan pelajar, buruh, dan masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah, usaha untuk menggulingkan Pemerintahan Ferdinand Marcos dan mengganti sistem perpolitikan Filipina dimulai. Hal tersebut ditandai dengan demonstrasi pada 26 Januari 1970 yang mengangkat isu-isu sosial yang terjadi di masa tersebut, termasuk otoritarianisme, kecurangan dalam pemilu, hingga korupsi yang dilakukan oleh Pemerintahan Ferdinand Marcos.
Walaupun sempat ditekan pada abad ke-20, gerakan CPP dan NPA bangkit kembali pada 2022 dengan mengumumkan rencana revolusioner guna membentuk sistem demokrasi yang baru. Hal ini menguat karena pindahnya kekuasaan dari Presiden Duterte — yang terus mengusahakan dialog perdamaian — ke Presiden Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos, Jr. yang menantang kekuatan komunis yang telah ada sejak zaman ayahnya. Marcos Jr. pun menunjukkan ketidaktertarikan untuk mengadakan pertemuan damai dengan CPP dan NPA. Berbagai irisan antara NPA dan tentara nasional Filipina pun terus terjadi, khususnya yang dominan terjadi di bagian utara Pulau Mindanao (Buenaventura, 2023). Salah satu kejadian irisan terbesar yang terjadi adalah ketika dua pemimpin CPP dan NPA, Benito Tiamzon dan Wilma Tiamzon, terbunuh akibat ledakan antara pasukan militer negara dan tentara NPA. Berbagai rentetan kasus kekerasan pun terus terjadi yang melibatkan kelompok negara dan kelompok rakyat. Prospek mengenai perdamaian antara keduanya pun masih sangat abu-abu mengingat memburuknya hubungan pemerintah dan kelompok komunis hingga berbagai peristiwa kekerasan yang masih terus terjadi.
Marak dan Menyebarluasnya Modal Imperial
Persamaan pergerakan politik sayap kiri di Filipina dan Perancis jika ditinjau dari segi tujuan dan kondisi politik-ekonomi yang menjadi katalis menyisakan sebuah gap terkait penyebab perbedaan strategi yang digunakan aktor di dalam dua negara tersebut untuk mencapai moda ekonomi yang dikuasai oleh kelas pekerja. Kekecewaan atas kuasa kelas borjuis bukan merupakan hal yang unik pada salah satu negara. Maka, untuk menjawab hal ini, konteks historis di skala global harus pula bisa ditelaah. Hal ini dapat dimulai dari kesadaran akan perbedaan kondisi Filipina dan Perancis sebagai dua negara yang memiliki peran beda dalam roda ekonomi kapitalis global. Perancis, layaknya negara Eropa Barat lain, merupakan negara bekas penjajah. Dan, walaupun tidak dijajah Perancis, Filipina merupakan negara bekas jajahan Eropa.
Dinamika jajah–terjajah inilah salah satu di antara banyak penyebab utama adanya gerakan kekerasan populer di Filipina alih-alih di Perancis. Salah dua teori yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah Teori Imperialisme oleh Vladimir Lenin dan Teori Materialisme-Historis sebagaimana ditulis berdasarkan observasi dan praktik revolusi Mao Zedong. Vladimir Lenin dalam bukunya Imperialism: Highest Stage of Capitalism (1917) berpendapat bahwa dalam moda produksi kapitalisme, sebuah negara yang telah mencapai tingkat industrialisasi yang tinggi akibat kemajuan ekonomi yang berorientasi laba akan mengekspansi modalnya ke negara di negara di mana harga bahan dasar produksi masih rendah dan modal masih langka, sehingga untung dari modal secara konsekuen juga rendah. Ekspansi ini sendiri merupakan kesinambungan dari cara kerja moda produksi kapitalisme sendiri, di mana surplus modal yang dihasilkan dari proses produksi kapitalisme lazimnya digunakan tidak untuk menyejahterakan kondisi semi-kelaparan masyarakat pekerja. Karena, tanpa kondisi tersebut, pekerja tidak akan memiliki sebuah keharusan untuk bekerja demi upah yang akan digunakan untuk bertahan hidup. Maka, surplus modal ini digunakan oleh para pemilik modal untuk mengekspansi modal ke negara dengan kriteria yang telah disebutkan di atas. Dengan cara ini lah kapitalisme secara historis dapat berkembang.
Menurut konteks teoritis tersebut, Perancis merupakan negara yang dapat didefinisikan sebagai negara yang telah terindustrialisasi atau tergolong sebagai maju. Perancis berkontribusi pada gelombang revolusi industri beberapa dekade setelah Inggris sukses transisi moda produksi kekaisarannya menjadi ekonomi industrial (Editors of Encyclopaedia Britannica, 2024b). Sementara itu, Filipina merupakan negara yang menjadi target imperialisme negara barat. Pada awalnya imperialisme ini berasal dari hadirnya kekuatan kolonial Eropa yang menemukan dan menguasai tanah Filipina — walaupun negara Eropa tersebut bukanlah Perancis sendiri. Tentu saja, tingkat kemajuan ekonomi sebuah negara bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menentukan lahirnya imperialisme. Lenin (1917) menjelaskan bahwa lahirnya financial capitalism atas konsekuensi dari terhubungnya bank dan industrial capitalism dan kolonialisme sebagai fenomena yang turut berkontribusi pada reproduksi imperialisme. Kedua faktor lain ini, terutama faktor yang kedua, sangat penting dalam memahami kondisi Filipina sebagai negara yang menjadi bukti bisu kolonialisme sehingga pula digenggam oleh rezim imperialisme hingga saat ini. Kolonialisme dalam konteks analisis moda produksi juga pada akhirnya dapat membantu khalayak dalam memahami pilihan strategi aksi rute menuju negara sosialis yang penuh kekerasan — jika dibandingkan Perancis.
Kembali merujuk kepada Lenin (1917), kapitalisme dalam tingkat akhir dalam sebuah batas negara seperti yang telah ditulis di atas, imperialisme dalam bentuk kolonialisme merupakan jawaban atas problema surplus kapital dan kondisi semi-kelaparan kapitalisme nasional. Lenin — dalam bab enam buku rilisan 1917-nya — mengobservasi bahwa ekspansi kolonialisme negara-negara Eropa Barat mulai kisaran pada tahun 1870-an. Hal ini bukan tanpa alasan, tentu saja. Ia berargumen bahwa matangnya kapitalisme pada negara-negara kolonialis ini ditandai pula dengan monopoli akan modal di wilayah-wilayah tersebut pula. Hal ini memiliki arti bahwa tahap kapitalisme bersyarat pasar bebas di mana borjuis-borjuis kecil bersaing dalam moda laissez-faire sudah berakhir dengan ditandainya ketimpangan atas modal yang dimiliki oleh borjuis kecil yang telah ‘naik status’ sebagai borjuis dan borjuis-borjuis kecil lainnya yang susah berkompetisi dengan kuasa kapital besar. Melalui kuasa atas kapital dan surplus kapital, negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat — yang mengalami industrialisasi sangat cepat jika dibandingkan dengan Perancis dan Inggris Raya — mulai berlayar ke penjuru dunia untuk menjajah negara-negara atau wilayah yang memiliki prasyarat seperti yang telah ditulis.
Tentu saja, kolonialisme sebagai fenomena global bukanlah sejatinya konsekuensi dari kapitalisme. Lenin sendiri menyadari hal ini. Namun, praktik kapitalisme tahap akhirlah yang membentuk ulang tujuan daripada kolonialisme ala zaman pra-industrialisasi. Namun, hal yang perlu diketahui adalah bahwa praktik kolonialisme tidak lain dari sejajar dengan imperialisme. Syarat dan akibat negara untuk melakukan imperialis hanya disokong oleh adanya wilayah-wilayah jajahan nun jauh dari sentra moda produksi. Dengan adanya kontrol atas sistem politik dan pemerintahan di wilayah jajahan, negara-negara penjajah imperialis dilancarkan hajat ekstraksi tenaga kerja dan alat produksinya . Dan, kembali lagi ke ekspansi kolonialis yang sudah dijabarkan Lenin, kita dapat menarik benang merah bahwa kapitalisme akhir memanglah juru gembala kolonialisme di kala imperialisme. Saat 1876, Perancis hanya memiliki wilayah 900.000 km² dengan populasi 6 juta. Pada 1914, luas daerah jajahan Perancis bertambah 10 kali lipat, begitu pula dengan penduduknya yang bertambah 9 kali lipat (Lenin, 1917). Hal ini mengilustrasikan bergunanya praktik kolonialisme untuk imperialisme.
Hal inilah yang terjadi pada Filipina. Layaknya negara jajahan lain, Filipina sebagai negara jajahan Eropa dihantam dengan nasib yang sama. Salah satu komoditas yang dilucuti dari Filipina oleh kuasa imperial adalah komoditas dalam bentuk tenaga kerja, terutama untuk proyek pelebaran wilayah kekuasaan Amerika Serikat di Pasifik. Untuk memenuhi tenaga kerja di koloni Amerika lain seperti di Hawaii, pekerja dari Filipina diekspor untuk bekerja berdasarkan kontrak-kontrak tertentu. Ekspor pekerja ini disokong dengan dinamika kuasa antara pekerja, yang sebagian besar bekerja sebagai buruh perkebunan, komisaris pekerja Honolulu untuk Filipina, dan pemerintah Amerika Serikat yang menciptakan kondisi kerja yang menguntungkan kepentingan pemerintah AS. Hal ini lantaran komisaris pekerja yang kurang berpihak kepada pekerja-pekerja Filipina. Status dan kontribusi Filipina pada zaman kolonialisme memperkuat perannya sebagai eksportir tenaga kerja hingga saat ini. Bahkan, tenaga kerja Filipina diekspor ke wilayah atau negara luar AS yang memiliki pangkalan militer AS (Moore, 2019).
Kondisi kolonialisme dan imperialisme yang dialami Filipina inilah akibat dari adanya gerakan revolusioner bersenjata. Fenomena gerakan sosial berbasis kekerasan yang dianut oleh NPA dan CPP ini dapat dijelaskan jika kita mengetahui kondisi sosio-ekonomi yang melatarbelakangi adanya ketidakpuasan tersebut. Seiring dengan itu, kita dapat pula membandingkan kondisi sosio-ekonomi Filipina sebagai negara yang terjajah dan Perancis sebagai negara imperialis. Maka, analisis komparatif atas imperialisme yang kontemporer — tapi tidak mengkhianati basis kerangka pikir Lenin — harus dilaksanakan. Karya Presiden pertama Ghana, Kwame Nkrumah, merupakan salah satu investigasi kondisi ekonomi sosial dunia pasca-penjajahan.
Mahkota itu Tak Kunjung Tumbang: Neo-kolonialisme Imbas Imperialisme
Berkembang dari mazhab Marxisme-Leninisme, Kwame Nkrumah dalam bukunya Neocolonialism: The Highest Stage of Imperialism berkutat pada pengembangan moda analisis imperialisme Lenin sebagaimana mestinya: dengan mengkontekstualisasikan dasar-dasar pemikiran Lenin pada 1917 dengan situasi dunia pasca-penjajahan. Investigasi Nkrumah akan dinamika jajah-terjajah pada tengah abad 20 ini berangkat dari kekhawatiran atas intervensi negara-negara barat ke politik domestik dan regional negara yang berkembang, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Jika dalam buku Lenin (1917), ia membahas tentang ekspor modal untuk menguntungkan kapitalisme industrial, Nkrumah menambahkan bahwa dalam kerangka dunia pasca-kemerdekaan negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, bangsa Eropa dan Amerika Utara telah beradaptasi dengan norma yang tidak mengamini penjajahan yang gamblang. Maka, solusi dari perubahan paradigma global ini adalah dengan menggunakan taktik lembaga ekonomi internasional (international economic agencies) guna akumulasi kapital. Lembaga-lembaga ini terdiri dari lembaga bantuan ekonomi, konsorsium keuangan internasional, dan lain-lain. Nkrumah berargumen bahwa lembaga-lembaga yang memanfaatkan tingkat keterbelakangan pembangunan negara bekas jajahan — yang sendiri diakibatkan oleh ekspor modal guna imperialisme — untuk memberi insentif ekonomi dengan syarat atau konsekuensi yang eksploitatif.
Ambil contoh lembaga bantuan finansial, misalnya. Nkrumah mendefinisikan fenomena tersebut sebagai kesempatan di mana negara-negara barat dapat menyalurkan investasi modal swasta dan bantuan dana pinjam untuk kebutuhan alutsista. Contoh lain yang prevalen pula adalah ketergantungan finansial negara bekas jajahan ke negara barat melalui kuasa atas bank di Afrika. Di sinilah kita dapat mulai menebak asal muasal perbedaan strategi gerakan sosial Perancis yang tidak sekelam barisan bersenjata revolusioner di Filipina.
Perancis, sebagai negara yang dulu memiliki jajahan di tanah Afrika Barat, menggunakan infrastruktur finansial dan pembangunan negara Afrika merdeka yang masih muda usianya. Salah satu kejadiannya berada di tahun 1963, di mana bank nasional Perancis Société Générale mengakuisisi kepemilikan atas bank Afrika Banques Commerciale Africain yang berada di beberapa negara Afrika. Hal ini berarti pemerintah Perancis punya kuasa untuk mendikte gerak politik dan ekonomi negara-negara Afrika yang bersangkutan tersebut (Nkrumah, 1965).
Fenomena ini juga bukan suatu hal yang unik pada abad kedua puluh. Saat ini, kita sedang menyaksikan negara-negara Afrika Barat meluapkan amarahnya pada mata uang CFA Franc yang digunakan. Di Senegal dan Benin, masyarakat memprotes mata uang tersebut sampai membakar uang kertas CFA Franc. Alasan daripada protes ini adalah kesadaran rakyat Afrika akan suatu relasi kuasa yang masih membekas dengan Perancis, bahkan ketika Benua Afrika seharusnya sudah bebas dari penjajahan Perancis (Africanews, 2017a; Africanews, 2017b). CFA Franc merupakan mata uang yang digunakan empat belas negara Afrika yang dikategorikan dalam Zona CFA Franc. Mata uang ini berlaku pada tahun 1945, namun pemberlakuan dari mata uang tersebut dinilai memaksa dan hanya melestarikan dinamika jajah-terjajah tersebut. Sebagai contoh, negara Zona CFA Franc harus mendepositkan cadangan uang dalam mata uang asingnya ke pemerintah Perancis. Lalu, sepeser dari uang tersebut akan disalurkan ke negara-negara tersebut oleh Perancis dengan kedok dana bantuan. Selain itu, negara Zona CFA Franc sempat mengalami stagnasi karena nilai tukar uang yang ditinggikan secara sengaja oleh Perancis. Dan, Perancis akhirnya ‘menyelamatkan’ Afrika dengan mengeluarkan kebijakan devaluasi bagi CFA Franc. Di sini jelas, Perancis berperan sebagai manipulator ekonomi Zona CFA Franc; ia mengambil kebebasan ekonomi dan kekayaan bekas jajahannya sehingga ia dapat kelak memberinya sepeser dari apa yang telah ia curi kepada para korban.
Kuasa Perancis atas Afrika tidak berhenti di situ saja. Guinea, salah satu negara yang dulu hendak merdeka dan ingin menciptakan mata uangnya sendiri, kena getah intervensi politik dari Perancis agar ia dapat menetapkan hegemoni CFA Franc (Sylla, et al., 2021). Alasan dari pemaksaan mata uang ini pada awalnya adalah agar Perancis bisa bersaing dengan kekuatan imperialis lain dalam dominasi atas suatu wilayah, terutama dengan Amerika Serikat. Persaingan antar-imperialis ini bermula ketika Perancis harus menerima rencana pembangunan ulang Eropa Barat atau Marshall Plan yang diprakarsai Amerika Serikat. Bagi Perancis, Marshall Plan berarti genggaman imperialis kapital Amerika Serikat sudah memasuki Eropa Barat. Maka, untuk bersaing layaknya negara imperialis sejati, Perancis merencanakan sistem mata uang CFA Franc yang sangat dependen dengan Perancis (Zhang & Poulin, 2023), dengan taktik manipulasi finansial dan intervensi politik yang sudah dijelaskan di atas.
Telah ada kesimpulan bahwa kontrol atas CFA Franc ini merupakan alasan dari ketimpangan perkembangan ekonomi Zona CFA Franc dan Perancis. Melalui kontrol atas nilai tukar mata uang CFA Franc, Perancis dapat secara langsung mengontrol tingkat inflasi negaranya. Hal ini di luar imperialisme dari sisi kapitalisme industrial, di mana Perancis sebagai monopoli atas Zona CFA Franc mempunyai wewenang untuk mengekspor barang ke daerah tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari harga selayaknya (Zhang & Poulin, 2023).
Secara tidak langsung, kondisi neo-kolonialisme seperti yang dijabarkan oleh Nkrumah beserta bukti nyata kasus Perancis–Afrika menjadi potongan teka-teki terakhir dalam menjawab pertanyaan utama terkait perbedaan strategi gerakan sosial kiri di Perancis dan Filipina. Atau, lebih tepatnya lagi, perbedaan strategi gerakan sosial kiri di negara neo-kolonialis–imperialis (selanjutnya menggunakan kata singkat ‘nekolim’) dan negara korban nekolim. Hal ini tidak lain dan bukan karena dalam perancangan tatanan dunia pasca-kolonial, penjajahan dalam bentuk lama hanya berubah menjadi bentuk baru, sehingga masyarakat di negara dunia ketiga lebih rentan dipengaruhi nekolim sebagai tahap tertentu moda produksi kapitalisme. Bukti yang sama nyatanya dapat kita telaah di Filipina, sarang NPA dan CPP.
Sebelumnya, kita telah mengetahui beberapa krisis ekonomi nasional yang menjadi bara daripada bangkitnya NPA dan CPP. Kita juga telah mengetahui letak Filipina di roda imperialisme industrial global. Maka, hal terakhir yang perlu kita telusuri adalah Filipina sebagai negara yang bersangkutan dengan neo-kolonialisme finansial.
Sejak kemerdekaannya pada tahun 1946 dari Amerika Serikat, Filipina telah dianggap oleh pemerintahan Amerika Serikat sebagai model panutan dekolonialisme. Artinya, Washington pada saat itu tidak ingin mengontrol politik domestik Filipina yang baru saja merdeka. Namun, sebagai kekuatan imperialis, ia tentu saja juga tidak ingin kehilangan kekayaan modal yang telah diraih selama masa penjajahan negara Asia Tenggara tersebut. Maka, strategi penggelontoran dana bantuan perkembangan serta pengawasan atas implementasinya di ekonomi Filipina menjadi momentum eureka Amerika Serikat (Merrill, 1993). Untuk itu, Amerika Serikat menggiatkan bantuan luar negeri, khususnya di bidang ekonomi dan militer, untuk memastikan kekuasaannya di Filipina. Misalnya, sebuah perjanjian bernama Bell Trade Act menjadi kesepakatan antara kedua negara di bidang ekonomi. Perjanjian tersebut mencakup penentuan periode perdagangan bebas, menciptakan tarif tertentu bagi barang-barang impor dari Amerika Serikat, menetapkan nilai Peso terhadap Dolar Amerika Serikat sebesar 2:1, hingga perlakuan setara dari Filipina terhadap investor Amerika Serikat (Cuademo, 1952). Di bidang militer pula, Perjanjian Military Bases Agreement (MBA) menciptakan kesempatan bagi Amerika Serikat untuk menguasai Filipina. Hal ini dikarenakan perjanjian tersebut memberikan hak bagi Amerika Serikat untuk membuat 16 pangkalan militer tetap, 7 pangkalan militer opsional, kedaulatan penuh bagi penggunaan pangkalan tersebut, serta masa penetapannya yang mencapai 99 tahun (Ma, 2001). Untuk membuat Filipina menerima perjanjian-perjanjian di atas dan menguatkan posisi Amerika Serikat atas Filipina, Amerika Serikat menebus janji berupa bantuan ekonomi sebesar $620 juta dengan rincian: $400 juta sebagai kompensasi kepada pihak swasta atas kerusakan yang diterima selama perang dunia kedua, $120 juta sebagai biaya pemulihan properti dan layanan publik, dan $100 juta sebagai transfer kelebihan properti AS.
Presiden Pertama Filipina, Manuel Roxas, yang menang pada pemilu pertama pada 1946 pun menunjukkan dukungan besar kepada Amerika Serikat dengan sokongan salah satu Jenderal Amerika Serikat, Douglas MacArthur. Pelanggengan kekuasaan oleh Amerika Serikat hingga kelompok-kelompok elit Filipina di masa kolonial, yakni para pemilik tanah, menyebabkan kebijakan-kebijakan di awal kemerdekaan Filipina sangat tersentral pada arah politik dan ekonomi Amerika Serikat. Presiden Filipina pasca Roxas, Elpidio Rivera Quirino, pun berusaha untuk membendung kepentingan politik dan ekonomi Amerika Serikat (Merrill, 1993). Walaupun terdapat banyak resistensi dari masyarakat hingga pemerintahan Quirino, ketergantungan Filipina terhadap bantuan luar negeri Amerika Serikat tidak dapat terhindarkan. Hal ini ditunjukkan dari pelanggengan kekuasaan oleh kelompok-kelompok elit — yang juga disokong oleh Amerika Serikat — dari masa penjajahan untuk menguasai tanah dan sumber daya negara. Akhirnya, sumber daya yang seharusnya digunakan untuk menguatkan kelompok masyarakat malah dipakai untuk memenuhi kepentingan kelompok-kelompok berkuasa.
Masa dekolonisasi yang seharusnya memberikan ruang bagi Filipina untuk berkembang secara mandiri berubah menjadi masa pemenuhan kepentingan Amerika Serikat dan kelompok elit Filipina serta kontrol berkelanjutan oleh Amerika Serikat. Ketergantungan atas bantuan luar negeri Amerika Serikat memberikan dampak besar yang berujung pada malapetaka bagi Filipina. Hal ini ditunjukkan pada beberapa hal:
Pertama, pelanggengan dependensi ekonomi terhadap Amerika Serikat. Pada masa kolonial, komersialisasi terhadap ekspor produk Filipina, seperti gula, tembakau, dan kelapa, menyebabkan kontrol terhadap komoditas-komoditas tersebut oleh kelompok-kelompok bisnis tertentu. Salah satu tujuan dekolonisasi yang diusung oleh Quirino untuk meruntuhkan kekuasaan kelompok tersebut tidak berhasil karena sokongan Amerika Serikat yang terus memberikan legitimasi dalam pekerjaan kelompok pemilik tanah. Lewat Perjanjian Bell Trade Act, pebisnis asal Amerika Serikat yang bekerja sama dengan kelompok pemilik tanah bersama menentukan arah perekonomian untuk terus melakukan eksploitasi terhadap kegiatan perekonomian komoditas tersebut. Lebih lanjut, pelanggengan terhadap kelompok elit Filipina terus berjalan untuk memenuhi kepentingan kedua pihak. Selain itu, perjanjian tersebut juga mengizinkan impor yang mudah — tanpa tarif — agar Filipina terus menjalankan kegiatan ekonomi tersebut. Produk-produk lokal pun tidak terolah dengan baik akibat masifnya produk yang masuk dari luar. Akhirnya, kemandirian ekonomi yang diusahakan oleh Quirino tidak dapat tercapai;
Kedua, kontrol Amerika Serikat terhadap kedaulatan dan militer Filipina memperpanjang penguatan pengaruh kolonial Amerika Serikat. Sejak masa kolonial, Filipina telah bergantung pada militer Amerika Serikat untuk menjaga keamanan negara. Perjanjian Military Bases Agreement pun memberikan konsolidasi terhadap kontrol kedaulatan negara Filipina untuk Amerika Serikat. Amerika Serikat yang memiliki kepentingan besar pada wilayah Filipina, khususnya karena wilayah ini merupakan pertemuan kepentingan strategis antara Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Jepang, mengakibatkan Amerika Serikat berusaha menahan kekuasaannya di Filipina untuk menjamin pengaruhnya di Asia Pasifik, Sayangnya, hal ini berimbas pada penguasaan sumber daya keamanan Filipina yang digunakan untuk menjamin posisi Amerika Serikat di kawasan tersebut. Misalnya, Pangkalan Udara Clark, fasilitas militer Amerika Serikat terbesar di luar wilayah Amerika Serikat, menjadi pusat logistik utama untuk mendukung operasional udara, memproyeksikan kekuatan-kekuatan udara yang ada di Asia Pasifik, hingga menjadi pusat komunikasi di kawasan bersamaan dengan pangkalan lainnya di daerah Okinawa, Korea Selatan, dan Guam. Kekuatan militer yang kuat di Filipina juga menyebabkan tuntutan amandemen konstitusi Filipina untuk mengizinkan perluasan terhadap kekuasaan Amerika Serikat. Hubungan kolonial — yang seharusnya telah terhapus pasca kemerdekaan Filipina — terus berlanjut akibat penguatan pengaruh Amerika Serikat di bidang ekonomi dan militer.
Ketiga, tendensi pro-Amerika Serikat yang berkembang di masyarakat Filipina. Walaupun terdapat banyak resistensi dari masyarakat lokal terhadap penguasaan Amerika Serikat, sebagian masyarakat lainnya juga mendukung Amerika Serikat untuk terus berkuasa dan memberikan keuntungan bagi Filipina. Sentimen pro-Amerika Serikat ini merujuk dari masa kolonial, dimana kolonialisasi Amerika Serikat dipercaya memberikan keuntungan bagi Filipina, seperti pembangunan yang masif, keamanan yang terjaga, hingga ekonomi yang stabil bagi masyarakat. Hal ini juga didukung oleh sistem pendidikan yang mengikuti Amerika Serikat sehingga masyarakat sangat terpengaruh oleh westernisasi dari barat. Hal ini ditunjukkan dari hal-hal kecil, termasuk penggunaan bahasa Inggris hingga pengajaran sejarah Amerika Serikat dalam sistem pendidikan saat itu. Akhirnya, kultur dan sosial masyarakat Filipina sedikit banyak terpengaruh oleh Amerika Serikat.
Dari ketiga dasar di atas, penulis memahami bahwa kolonialisme hingga pengaruh pasca kolonial Amerika Serikat tidak pernah memberikan keuntungan bagi Filipina. Dengan adanya kekuasaan dalam periode yang lama pasca kemerdekaan Filipina, dependensi terhadap Amerika Serikat terus terolah dan menjadikan Filipina bergantung pada sumber daya Amerika Serikat. Akhirnya, kemandirian Filipina yang seharusnya terus dipupuk pasca kemerdekaan tidak dapat tercapai dan malah memberikan berbagai dampak negatif bagi negara dan masyarakat.
Petang Reformisme Utara, Ufuk Penindasan Selatan
Kebengisan imperialisme dan neo-kolonialisme yang menggerogoti negara dunia ketiga seperti Filipina menciptakan kondisi sosial di mana kelas pekerja — juga kelas tani — diberi pilihan untuk melawan dengan cara mengangkat senjata. Praktik imperialisme Perancis juga merupakan hal yang menghasilkan pada gerakan sosial yang reformis. Hal ini akibatnya sesederhana kenyataan sosial yang menghendaki eksploitasi kelas pekerja di negara dunia ketiga yang lebih parah jika dibandingkan dengan eksploitasi kelas pekerja negara imperial. Ketimpangan eksploitasi ini disinggung oleh J. Sakai dalam buku Settlers: The Mythology Of The White Proletariat (1983). Sakai menggunakan manuskrip-manuskrip dari karya Marx, Engels, dan Lenin untuk menginvestigasi ketimpangan intra-kelas ini. Ia berargumen bahwa dengan adanya imperialisme, pekerja-pekerja di negara imperialis dapat dibius kesadaran kelasnya oleh borjuis nasional di negaranya masing-masing. Fenomena ini bahkan sudah tercatat ketika Lenin masih aktif menulis. Sakai berargumen bahwa pembiusan ini terjadi karena pergerakan-pergerakan buruh di Eropa sudah ‘memenangkan’ konflik dengan borjuis nasional; beberapa dari mereka telah meraih upah yang layak sehingga dapat memanjat tangga sosial. Dalam terminologi olokan Marxian, mereka telah menjadi “aristokrat buruh.” Tentu saja, kemenangan ini hanya dapat disebut kemenangan dalam skala nasional. Sekali lagi, jika kita mengingat sabda Lenin, situasi ekonomi-politik seperti ini menghasilkan insentif bagi borjuis nasional di Eropa untuk mengekspor dan meluaskan modal ke negara-negara jajahannya. Begitu pula dengan Amerika, walaupun ia pada awalnya harus mengejar industrialisasi, ia menjadi sama ekspansionisnya seperti saudara-saudarinya di Eropa. Filipina lantas menjadi salah satu korbannya.
Walaupun Sakai menekankan argumennya terhadap kondisi penjajahan-pendudukan (settler colonialism) di Amerika Serikat, sehingga fokus utama ketimpangan antar kelas pekerjanya sebagian besar bertitik berat di skala nasional, kita dapat mengambil esensi utama dari argumen di atas tersebut untuk kasus imperialisme global. Kita dapat mulai menebak bahwa dengan adanya pembiusan ini, gerakan buruh di Perancis ketika bersatu terfokus menjadi gerakan yang reaksioner terhadap ancaman akan ‘kemenangan-kemenangannya.’ Sebagai contoh, Perancis sejatinya memiliki persentase keserikatan yang secara drastis menurun dari tahun 1980 an. Namun, gerakan resiliensi kelas pekerja Perancis tetap menjadi suara oposisi yang signifikan. Oposisi ini yang menjadi penggerak utama demonstrasi melawan keputusan pemerintah Perancis untuk mengubah umur pensiun pada tahun 2023 (Hird, 2023). Dan, walaupun serikat buruh didukung oleh pekerja-pekerja yang tidak berserikat (Hird, 2023), serikat buruh yang ada di Perancis dinilai lebih tertarik untuk memprioritaskan kepentingan serikat itu sendiri (Thompson, 1996). Bahkan, salah satu perkumpulan serikat buruh terbesar di Perancis, Konfederasi Umum Pekerja (Confédération Générale du Travail) sempat mengeluarkan serikat-serikat yang dianggap memiliki aliran radikal seperti komunisme dan anarkisme (Editors of Encyclopaedia Britannica, 2024a).
Tendensi reformis penjajah ini paling dirasakan oleh negara-negara dunia ketiga. Di Filipina, hal inilah yang menjadi salah satu alasan terbentuknya gerakan bersenjata NPA. Dalam sebuah wawancara, juru bicara NPA secara tidak malu menyatakan bahwa Filipina adalah negara semi-kolonial dan semi-feudal yang dijajah oleh negara kapitalis asing, terutama Amerika Serikat dan Jepang (Scarpello, 2011). Ketika reformisme dikepalai gerakan buruh dan kelompok kiri yang bertonggak pada elektoralisme liberal mencatat sejarah pertahanan kelas pekerja di negara imperial seperti Perancis, imperialisme dan neo-kolonialisme semakin ganas mencengkram negara jajahan seperti Filipina.
Sejauh mana tujuan sosialisme dapat tercapai di Prancis?
Saat ini, parlemen di Prancis memiliki ketidakpastian akibat adanya gelombang kemenangan partai sayap-kiri. Dengan tidak adanya salah satu partai yang memegang suara terbanyak, sebetulnya ini memperlambat proses legislatif dalam parlemen. Di satu sisi, ini menarik dan menjadi berita baik ketika gelombang sayap-kiri berupaya untuk merepresentasikan kepentingan yang lebih beragam dan memiliki spektrum yang lebih luas di parlemen Prancis (Bramlett, 2024). Di sisi lain, gelombang baru ini nampaknya mengguncang kursi parlemen dengan menghambat kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai isu dengan cepat, terutama di tengah ketidakpastian situasi politik.
Bagi The New Popular Front (NFP), jumlah kursi yang mereka dapatkan di parlemen lower house menjadi sangat penting untuk memperoleh posisi yang signifikan. Kesuksesan partai sayap-kiri dalam pemilu Prancis sebetulnya mengindikasikan hal lain. Bramlett (2024) berargumen bahwa kemenangan NFP mengindikasikan adanya polarisasi yang sangat menonjol dalam masyarakat Prancis. Maknanya, ada semacam ‘perasaan depresi’ yang dirasakan oleh masyarakat Prancis terhadap kegagalan partai sayap-kanan dalam menyelesaikan berbagai isu, seperti ketidaksetaraan, kesenjangan ekonomi, kekurangan tata kelola pemerintahan, dan lainnya. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kebangkitan NFP merupakan refleksi perlawanan terhadap kegagalan partai sayap-kanan dalam menyelesaikan isu-isu tersebut. Hal ini menjadi jawaban atas pertanyaan; sejauh mana NFP akan mencapai tujuan sosialismenya? Merujuk pada hal tersebut, awalnya NFP dimaksudkan untuk melawan dominasi sayap-kanan yang cenderung berpihak pada pemilik modal. Namun, NFP justru dianggap turut melanggengkan sistem kapitalistik dengan memasuki parlemen Prancis melalui pemilu yang merupakan salah satu alat kapitalisme.
Dalam perkembangannya, NFP tetap berupaya untuk mencapai tujuan sosialismenya. Dengan memenangkan lebih dari 180 kursi di parlemen, NFP nampaknya mendapatkan momentum yang ditunggu-tunggu. Kebangkitan partai sayap-kiri di Prancis ini bukan terjadi begitu saja. Mereka telah menanamkan pengaruhnya dalam berbagai strategi yang cenderung melawan status quo dari pemerintah Prancis sendiri. Pertama, kebijakan-kebijakan yang diajukan NFP memanfaatkan pergeseran tren yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Prancis dan dalam skala global. Misalnya, partai ini cenderung berdiri berlawanan dengan tujuan dari pembentukan Uni Eropa dan NATO, seperti stance oposisinya terhadap okupasi Israel di Palestina (RFI, 2024). Kedua, NFP menjadikan permasalahan struktural akibat sistem kapitalistik sebagai batu loncatan untuk memperoleh momentumnya. Misalnya, NFP mengajukan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan taraf kehidupan masyarakat melalui peningkatan gaji minimum, memotong pajak, dan mendorong aksesibilitas masyarakat kelas menengah-bawah akan kebutuhan dasar.
Ketika pemerintah Prancis sudah ‘menyerah’ dengan berbagai permasalahan internal yang berkaitan dengan regulasi ekonomi akibat eksploitasi modal, NFP menggunakan momentum ini untuk mencapai tujuannya. Lefebvre (2024) menjelaskan bahwa strategi pemerintah saat ini sangatlah tidak realistis ketika berkaitan dengan isu sosio-ekonomi. Tak hanya itu, NFP mengajukan alternatif pandangan lain dalam mengambil stance yang sekiranya menguntungkan bagi kebangkitan partainya. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai orientasi politik Perancis saat ini. Nampaknya, Prancis kembali pada perdebatan klasik di antara ‘kiri dan kanan’ dimana NFP mencoba untuk mewujudkan tujuan-tujuannya; mengalahkan dominasi partai sayap-kanan di dalam parlemen.
Sebetulnya, kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh NFP bukanlah kebijakan yang eksklusif dan benar-benar baru mengingat telah banyak upaya untuk memperhatikan isu sosio-ekonomi di level domestik Prancis. Misalnya, kebangkitan gerakan kiri pada tahun 1981 yang dipimpin Francois Mitterand dan 1997 yang dimenangkan oleh ‘Plural Left’ telah menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai tujuan sosialisme (Brunet, 2024). Dengan adanya ide-ide mengenai promosi kebijakan yang lebih pro-kelas menengah, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana kebangkitan sayap-kiri akan bertahan di Prancis. Mempertimbangkan bahwa kebangkitan sayap kiri tidak bertahan begitu lama di periode-periode sebelumnya telah menimbulkan skeptisme terhadap kemampuan NFP. Khususnya, situasi politik dan ekonomi domestik yang tidak terlalu kacau masih menjadi penghambat utama bagi NFP untuk mencapai tujuannya.
Lebih lanjut, kampanye ‘leaderless’ yang dilakukan oleh NFP, khususnya fraksi France Unbowed (LFI) dan Partai Sosialis, telah membantu menunjukkan bahwa partai tersebut mampu untuk memenangkan pemilihan. Namun, banyak sekali kritik yang berdatangan akan rencana-rencana sosialis yang dipopulerkan partai tersebut. Misalnya, pemimpin European Central Bank memperingatkan bahwa rencana dan kebijakan yang diajukan oleh NFP untuk menaikkan batas minimum gaji, penghapusan pajak kategori tertentu, dan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan moneter dan fiskal akan memberikan dampak katastropis (White & Johnston, 2024).
Hal ini menunjukkan bahwa gerakan NFP sebagai kebangkitan sayap-kiri di Prancis tidak sepenuhnya mampu untuk mencapai tujuan sosialisme. Hal ini karena gerakan tersebut tetap mengikuti struktur dan sistem kapitalisme, seperti upaya memasuki parlemen dengan memenangkan pemilu. Tak hanya itu, situasi politik-domestik yang masih cenderung stabil tidak terlalu menguntungkan bagi NFP. Lebih lanjut, rencana-rencana NFP juga dipandang akan menimbulkan krisis ekonomi yang akhirnya tidak dapat mensejahterakan masyarakat kelas bawah.
Sejauh mana tujuan sosialisme dapat tercapai di Filipina?
Dengan komposisi gerakan CPP dan NPA yang lebih radikal dan militeristik, pemerintah sentral Filipina telah mencoba untuk memberantas gerakan kebangkitan sayap kiri ini dengan lebih agresif. Tak hanya itu, kebangkitan partai berhaluan kiri tersebut juga nampak ingin mengasingkan Filipina dari pengaruh Amerika Serikat (Stanford Edu, n.d). Mereka juga berniat untuk menghilangkan kesenjangan-kesenjangan yang ada dalam lapisan masyarakat Filipina. Untuk mewujudkan impian mereka tersebut dalam mencapai tujuan-tujuan sosialisme, CPP dan NPA berfokus untuk menciptakan perang yang berkepanjangan dan mobilisasi masa di area pedesaan (Stanford Edu, 2024). Hal ini dilakukan demi mendesain dan mengumpulkan dukungan yang besar melalui propaganda dan gerakan politik.
Namun, kasus CPP dan NPA merupakan gerakan politis yang menarik. Dari yang awalnya hanya merupakan gerakan komunis, gerakan ini berevolusi menjadi power politic di Filipina dengan dukungan yang semakin besar. Dalam perkembangannya, CPP menjadi gerakan sosialis yang berkelanjutan. Domingo (2013) berargumen bahwa CPP-NPA dapat mempertahankan gerakan dan popularitasnya sebagai kekuatan politik yang cukup besar akibat adanya kondisi struktural masyarakat di Filipina. Seperti yang telah dijelaskan, CPP-NPA berkeinginan untuk menggantikan tatanan ekonomi dan politik di Filipina dengan sistem sosialisme yang bertujuan untuk memprioritaskan kesejahteraan kolektif dan mengasingkan pengaruh dari sistem kapitalisme yang telah tertanam kuat. Oleh karena itu, tujuan sosialisme yang diagung-agungkan oleh CPP-NPA menjadi sangat mungkin untuk tercapai.
Saat ini, kondisi politik internal di Filipina telah mendukung semakin populernya gerakan komunisme, seperti CPP-NPA. Sadar ataupun tidak, pemerintah sentral Filipina telah membiarkan pemberontakan ini menjadi gerakan yang sangat berkelanjutan (protracted people’s war). Ocampo (dalam Domingo, 2013) berargumen bahwa kurangnya efektivitas dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan telah menyebabkan korupsi, ketidaksetaraan pembangunan, dan masalah lainnya yang berimbas pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri. Lebih lanjut, strategi yang dilakukan oleh CPP-NPA sangatlah memprioritaskan dukungan masa dari kalangan mahasiswa dan pemimpin partai sayap-kiri di Filipina (Domingo, 2013). Hal ini menyebabkan CPP-NPA terdiri atas kalangan yang sangat beragam dan menyebabkan pemikiran-pemikiran sosialisme tertanam lebih kuat sehingga gerakannya menjadi lebih berkelanjutan.
Dengan adanya berbagai strategi yang dimiliki oleh CPP-NPA dalam mempertahankan keberlanjutan gerakannya, gerakan ini berfokus pada model sosialisme yang memanfaatkan situasi yang tidak menguntungkan. CPP-NPA selalu memastikan konsolidasi masa dan formasi sehingga gerakan revolusionis dapat berfungsi dan menghubungkan organ-organ di bawah CPP-NPA (Warsaw, 2024). Mereka menekankan strategi berkelanjutan yang berupaya untuk semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Misal, pengambilalihan lahan oleh perusahaan besar yang telah merenggut hak-hak minoritas dan kelas menengah-bawah. Lebih lanjut, CPP-NPA telah mengekspansi operasinya dengan memiliki lebih banyak inisiatif militer. Hal ini didukung dengan adanya perjuangan politis dan mobilisasi masa untuk mencapai strategi-strateginya.
Namun, CPP-NPA sekarang berada dalam titik terlemah dari perjuangannya. Hal ini terjadi dengan adanya perlawanan yang lebih agresif dari Armed Forces of the Philippines (AFP) sehingga CPP-NPA mengalami penurunan kekuatan akhir-akhir ini (Domingo, 2013). Kebangkitan dan keberlanjutan yang telah diperjuangkan oleh CPP-NPA untuk mencapai objektif sosialisme mereka dalam menggulingkan pemerintah sentral CPP-NPA. Hal ini didukung dengan adanya krisis kepemimpinan di dalam tubuh partai tersebut.
Saat ini, CPP-NPA memiliki sayap bersenjata di lebih dari 80 provinsi, tetapi upayanya untuk menyebarkan sosialisme sangat terkonsentrasi di beberapa area, seperti wilayah Mindanao utara, selatan Luzon, dan beberapa kepulauan kecil (Crisis Group, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa strategi penyebarluasan aktivitas militer sangatlah terkonsentrasi pada skala yang cukup besar. Hal ini telah direspons oleh pemerintah sentral. Pada 2018 lalu, Presiden Duterte mengerahkan pasukan untuk memberantas gerakan ini, walaupun awalnya dialog perdamaian telah diupayakan. Namun, perkembangan partai bersayap-kiri tersebut telah sukses dalam memperoleh kekuatan politis yang kuat di kota-kota besar, mendorong kemenangan bagi partai tersebut.
Demikian, kedua gerakan kebangkitan partai sayap-kiri di Prancis dan Filipina merupakan situasi politis yang memiliki konteks yang berbeda. Gerakan kebangkitan di Prancis memiliki strategi yang menekankan pada pembentukan aliansi sosial dan politik dari kekuatan progresif. Namun, NFP dapat dikatakan tidak dapat sepenuhnya mencapai tujuan sosialisme. Sementara itu, CPP-NPA di Filipina lebih mengadopsi model yang tumbuh secara bottom-up sehingga sangat mengandalkan peran kaum tani dan masyarakat kelas menengah-bawah yang dirugikan akibat sistem pemerintahan yang tidak merata. Hal ini juga diperkuat dengan sistem politik dan ekonomi di Filipina yang cenderung tidak stabil sehingga memberikan insentif terhadap kebangkitan CPP-NPA dalam mencapai tujuan sosialismenya.
Kesimpulan
Strategi partai sayap kiri di Prancis dan Filipina memiliki strategi yang berbeda dengan adanya kondisi sosio-ekonomi domestik yang juga tidak sama. Di Prancis, dalam mencapai tujuan sosialismenya untuk melawan dominasi kapitalisme, NFP menggunakan pendekatan reformasi melalui politik parlementer. Sementara itu, CPP-NPA menggunakan strategi yang lebih militeristik dan revolusioner dengan menggaet kelompok-kelompok grassroot. Perbedaan ini dapat diindikasi oleh tiga faktor: penjajahan yang dilakukan Perancis dan dialami Filipina akibat imperialisme, neo-imperialisme atau dependensi finansial dan industrial Filipina terhadap negara-negara seperti Amerika Serikat dan Perancis yang meraih untung dari regulasi dan kontrol atas skema moneter dan finansial negara bekas jajahannya, serta ketimpangan kesejahteraan kelas buruh dan tani di Perancis yang lebih tinggi dan Filipina yang lebih rendah dikarenakan dua faktor sebelumnya.
Lantas, perbedaan strategi ini menimbulkan skeptisme akan reformisme NFP. Skeptisme ini terkait kemampuan pencapaian sosialisme di Perancis oleh NFP ketika mereka tidak mampu keluar dari sistem politik kapitalisme yang telah ada. Sementara itu, CCP-NFA menggunakan strategi yang lebih militeristik dan revolusioner dengan menggaet kelompok-kelompok grassroot. Disokong oleh faktor-faktor yang menciptakan kondisi sosio-ekonomi Filipina sekarang, lebih memungkinkan bagi CCP-NFA untuk mencapai tujuan sosialismenya jika dibandingkan dengan NFP.
Referensi
AfricaNews. (2017a). Fresh protests erupt against CFA Franc in West Africa. Africanews. https://www.africanews.com/2017/08/29/fresh-protests-erupt-against-cfa-franc-in-west-africa/
AfricaNews. (2017b). Widening protests against the CFA franc rage on. Africanews. https://www.africanews.com/2017/09/18/protests-against-the-cfa-rage-on//
Bramlett, V. (2024, July 8). NFP surge in France’s elections signals new era of political maneuvering. The Financial Analyst. https://thefinancialanalyst.net/2024/07/08/nfp-surge-in-frances-elections-signals-new-era-of-political-maneuvering/
Brunet, R. (2024, June 21). France’s new left-wing alliance unveils ambitious economic programme — and how they’ll pay for it. France 24. https://www.france24.com/en/france/20240621-france-s-new-left-wing-alliance-unveils-ambitious-economic-programme-%E2%80%93-and-how-they-ll-pay-for-it
Crisis Group. (2024, April 19). Calming the long war in the Philippine countryside | Crisis group. Www.crisisgroup.org. https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/philippines/338-calming-long-war-philippine-countryside
Cuaderno, M. (1952). The bell trade act and the Philippine economy. Pacific Affairs, 25(4), 323–333.
Domingo, F. (2013). The leadership crisis in the communist party of the Philippines-new people’s army | Small wars journal. Smallwarsjournal.com. https://smallwarsjournal.com/jrnl/art/the-leadership-crisis-in-the-communist-party-of-the-philippines-new-people%E2%80%99s-army
Editors of Encyclopaedia Britannica. (2024a). General Confederation of Labour | French Trade Union, History & Structure | Britannica. In Encyclopædia Britannica. https://www.britannica.com/topic/General-Confederation-of-Labour-French-labor-union
Editors of Encyclopaedia Britannica. (2024b). Industrial Revolution. In Encyclopedia Britannica. Britannica. https://www.britannica.com/event/Industrial-Revolution
Hird, A. (2023, May 11). Why French trade unions wield political clout despite low membership. RFI. https://www.rfi.fr/en/france/20230511-why-french-trade-unions-wield-political-clout-despite-low-membership
J Sakai. (1983). Settlers : the mythology of the white proletariat. Pm Press.
Lenin, V. (1917). Imperialism : The highest stage of capitalism. Resistance Books. (Original work published 1917)
Ma, L. E. A. (2001). Treaty or travesty?: Legal issues surrounding the US-Philippines military base agreement of 1947–1992. Journal of American-East Asian Relations, 10(1–2), 93–121.
Merrill, D. (1993). Shaping Third World Development: U.S. Foreign Aid and Supervision in the Philippines, 1948–1953. The Journal of American-East Asian Relations, 2(2), 137–159. https://www.jstor.org/stable/23612744
Nkrumah, K. (1965). Neo-Colonialism: The Last Stage of Imperialism. Thomas Nelson & Sons, Ltd.
Phelan, J. (2024, July 10). What is the New Popular Front, surprise winner of France’s election? RFI. https://www.rfi.fr/en/france/20240710-what-is-the-new-popular-front-surprise-winner-of-france-s-election
Scarpello, F. (2011, September 25). The New People’s Army will never lay down arms. An interview with NPA spokesman Ka Roger. Academia.edu. https://www.academia.edu/8497204/The_New_People_s_Army_will_never_lay_down_arms_An_interview_with_NPA_spokesman_Ka_Roger
Stanford Edu. (n.d.). Communist party of the Philippines–New people’s army | Mapping militant organizations. Web.stanford.edu. https://web.stanford.edu/group/mappingmilitants/cgi-bin/groups/print_view/149
Thompson, C. S. (1996). A Century of Organized Labor in France: A Union Movement for the Twenty-first Century? International Labor and Working-Class History, 50, 157–160. https://www.jstor.org/stable/27672317
Warsaw, A. (2021, April 14). CPP: Antifeudal movement key to expanding mass base of the npa — redspark. Redspark. https://www.redspark.nu/en/peoples-war/philippines/cpp-antifeudal-movement-key-to-expanding-mass-base-of-the-npa/
White, S., & Johnston, I. (2018). Financial times. @FinancialTimes. https://www.ft.com/content/cea94bca-2ae5-4279-8b67-5c7c021324af
Zhang, C., & Poulin, M. (2023, November 15). CFA Franc System in Francophone Africa: A tool of French financial imperialism | MR Online. Mronline.org. https://mronline.org/2023/11/15/cfa-franc-system-in-francophone-africa-a-tool-of-french-financial-imperialism/