Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2021: Analisis Kemunculan Indonesia
sebagai “Pemimpin Bayangan” di Asia Tenggara

Penulis: Ina Yosia Wijaya

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2021 baru selesai dilaksanakan pada 23–24 Februari 2021 di Indonesia dan berhasil mendapatkan sorotan dari media internasional. Agenda utama dalam pertemuan kepala negara di Asia Tenggara ini adalah untuk membahas upaya resolusi konflik dari kudeta oleh junta militer di Myanmar Februari lalu. Sejumlah kepala negara anggota ASEAN menghadiri acara tersebut, termasuk Jenderal Min Aung Hlaing — pemimpin kudeta militer di Myanmar. KTT merupakan pertemuan rutin setiap tahun yang dihadiri oleh kepala negara anggota ASEAN. Setkab (2021) mencatat bahwa pelaksanaan KTT tahun ini diprakarsai oleh Indonesia, berawal dari dialog antara Presiden Jokowi dengan Sultan Brunei Darussalam — selaku ketua ASEAN tahun ini — yang ingin Myanmar segera keluar dari krisis politiknya. Dari pertemuan ini dihasilkan lima poin konsensus mengenai krisis Myanmar yang secara umum meminta junta militer mengakhiri kekerasan di Myanmar, mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Myanmar, dan membebaskan tahanan militer (Puspaningrum, 2021). Satu hal yang menarik mengenai KTT ASEAN tahun ini adalah realita bahwa pemrakarsa dari pertemuan ini adalah Indonesia. Siapa Indonesia di mata ASEAN sehingga mampu memprakarsai pertemuan ini?

Bagi Emmers (2014), negara-negara yang termasuk ke dalam anggota ASEAN memandang Indonesia sebagai “pemimpin” meskipun secara resmi gelar tersebut tidak pernah ada. Beberapa alasan yang menjadi dasar pernyataan dan identifikasi Emmers (2014) ini dilihat dari kajian historis, geografis, dan juga sumbangsih Indonesia terhadap krisis yang dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara. Secara historis, Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara yang terbentuk pada tahun 1967. Tidak hanya itu, melihat dari sejarah perpolitikan Indonesia, organisasi regional ini tidak pernah luput dari prioritas kebijakan luar negeri Indonesia. Meskipun posisi Indonesia sebagai “pemimpin” sempat diragukan akibat krisis politik dan finansial yang melanda Indonesia di tahun 1997–1998, semenjak terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pada tahun 2004, perlahan-lahan gelar ini kembali ke tangan Indonesia (Emmers, 2014). Secara geografis, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya yang melimpah, wilayah yang luas, jumlah populasi yang besar, dan posisi yang strategis sehingga di mata negara Asia Tenggara, Indonesia merupakan pemimpin alami yang mempunyai kekuatan geopolitik. Kemudian, Indonesia juga berperan aktif dalam membantu negara-negara tetangganya untuk keluar dari konflik. Sebagai contoh, pada konflik Kamboja yang terjadi pada tahun 1979–1991 serta pada sengketa Laut Cina Selatan Indonesia mengupayakan proses mediasi bagi pihak yang berkonflik (Emmers, 2014).

Dalam penanganan konflik sipil Kamboja, Indonesia berperan sebagai mediator yang menghubungkan empat faksi politik yang ada di Kamboja dengan Indonesia, Vietnam, serta negara-negara lain yang turut menaruh perhatian terhadap konflik internal yang dihadapi oleh Kamboja (Alexandra, 2017). Jakarta Informal Meeting I dan II yang merupakan bagian dari dialog ini adalah sebagai upaya Indonesia untuk menyediakan barang publik, yaitu keamanan kepada masyarakat di Kamboja dan juga negara-negara tetangganya. Melihat kondisi geopolitik Indonesia yang strategis, teramat mudah bagi Indonesia untuk menyalurkan bantuan-bantuan kemanusiaan bagi Kamboja sekaligus untuk mengambil peran sebagai mediator konflik, sehingga dengan kasus ini kita dapat melihat bagaimana Indonesia mengupayakan posisinya sebagai “pemimpin bayangan” ASEAN dan juga hegemon — menurut teori stabilitas hegemoni (Alexandra, 2017).

Begitu pula dengan sengketa mengenai Laut Cina Selatan yang terjadi antara negara-negara di ASEAN dengan Tiongkok. Indonesia pada dasarnya tidak terlibat langsung dalam sengketa ini, namun Indonesia menurut Wong (2017) kemudian memberikan peranan yang signifikan dengan mengusulkan kepada negara-negara di ASEAN untuk bekerja sama dengan Tiongkok secara bilateral — mengikuti preferensi hubungan diplomatik Tiongkok. Juga dengan memberikan saran untuk negara-negara ASEAN menyelaraskan kepentingannya sehingga dalam ASEAN sendiri terdapat sebuah pemikiran yang sama mengenai sikap yang dinyatakan dalam menghadapi persengketaan ini. Code of Conduct yang dihasilkan ASEAN merupakan contoh produk nyata dimana kesepakatan dan pemikiran yang sama tersebut terjadi (Wong, 2017).

Peran aktif dari Indonesia inilah yang kemudian mendorong negara Asia Tenggara memunculkan pengakuan bahwa Indonesia merupakan “pemimpin bayangan” dari ASEAN, merujuk pada teori stabilitas hegemoni yang mempercayai bahwa partisipasi dan pengaruh yang diberikan oleh negara kuat dapat menciptakan rezim internasional (Emmers, 2014). Meminjam konsep Krasner (1982), Emmers melihat bahwa rezim internasional dapat dimaknai sebagai sebuah set dari norma, prinsip, dan aturan baik implisit maupun eksplisit, yang kemudian menuntun cara berpikir negara-negara di arena politik internasional. Teori stabilitas hegemoni kemudian diadopsi oleh pemikiran neoliberal sehingga dapat menjelaskan pembentukan dan perkembangan dari rezim internasional. Hegemon, dalam pandangan neoliberal, dengan adanya rezim internasional menawarkan barang publik internasional serta bantuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat kolektif. Dalam hal ini, peran Indonesia dalam ASEAN oleh Emmers (2014) dicatat telah berhasil menyediakan barang publik internasional — sebagai contoh, menjamin keamanan, melaksanakan proses manajemen konflik, membangun institusi seperti Bali Summit dan TAC (Treaty of Amity and Cooperation), dan melaksanakan pembangunan ekonomi — yang sejatinya menjadi esensi utama dari rekam jejak pemimpin rezim internasional.

Rattanasevee (2014), kemudian melihat bahwa ada beberapa jenis kepemimpinan dalam panggung internasional. Tulisannya kemudian menganalisis jenis kepemimpinan yang sesuai dengan berbagai prinsip dalam ASEAN dan dengan kajian historis mengenai peristiwa-peristiwa regional di masa lampau. Tujuan Rattanasevee dalam membongkar konsep kepemimpinan ASEAN yang kompleks dan multidimensional adalah untuk memberikan pemahaman lebih luas mengenai integrasi yang ada di ASEAN. Dari tulisan ini, dapat dilihat bahwa kharisma Indonesia dalam menyediakan barang publik internasional bagi ASEAN inilah yang kemudian menjadi alasan utama Indonesia mempunyai tempat sebagai “pemimpin bayangan”.

Sebagai kesimpulan, Indonesia yang memiliki posisi “pemimpin bayangan” ASEAN tentunya tidak lepas dari konteks, nilai, serta norma yang berada di dalam masyarakat ASEAN. Dalam catatan sejarah, Indonesia telah berhasil “memukau” negara-negara tetangganya dengan sikapnya yang reaktif terhadap krisis dan konflik yang sedang terjadi, meskipun Rattanasevee (2014) dan juga Emmers (2014) mengakui posisi Indonesia sebagai “pemimpin bayangan” ASEAN masih mengalami kekurangan di beberapa aspek. Misalnya, kemampuan Indonesia dalam menangani politik domestiknya yang juga tidak jarang terkena “masalah” serta krisis ekonomi yang menimpa Indonesia — sebagai contoh, krisis finansial tahun 1997–1998 dan juga krisis politik di akhir zaman pemerintahan Soeharto atau di tahun 1998. Pemaparan dari konsep-konsep inilah kemudian yang dapat menjawab bagaimana Indonesia dapat memprakarsai terlaksananya KTT ASEAN dengan agenda utama menangani krisis Myanmar.

Referensi

Alexandra, L. A. (2017). Offering support and sharing experiences: Indonesia’s approach to peacebuilding. In Rising powers and peacebuilding (pp. 39–68). Palgrave Macmillan, Cham.

BBC. (2021). Kesepakatan KTT ASEAN: Militer Myanmar diminta segera hentikan kekerasan dan memulai proses dialog — BBC News Indonesia. Retrieved 26 April 2021, from https://www.bbc.com/indonesia/majalah-56812796

Emmers, R. (2014). Indonesia’s role in ASEAN: A case of incomplete and sectorial leadership. The Pacific Review, 27(4), 543–562.

Puspaningrum, B. (2021). Media Asing Sorot Hasil KTT ASEAN untuk Konflik Myanmar di Jakarta Halaman all — Kompas.com. Retrieved 26 April 2021, from https://www.kompas.com/global/read/2021/04/25/084500670/media-asing-sorot-hasil-ktt-asean-untuk-konflik-myanmar-di-jakarta?page=all

Rattanasevee, P. (2014). Leadership in ASEAN: The role of Indonesia reconsidered. Asian Journal of Political Science, 22(2), 113–127.

Setkab. (2021). Diprakarsai Indonesia, Pemimpin ASEAN Akan Gelar Pertemuan Bahas Situasi di Myanmar. Retrieved 27 April 2021, from https://setkab.go.id/diprakarsai-indonesia-pemimpin-asean-akan-gelar-pertemuan-bahas-situasi-di-myanmar/

Wong, C. (2017). After Summit, ASEAN Remains Divided on South China Sea. Retrieved 28 April 2021, from https://thediplomat.com/2017/05/after-summit-asean-remains-divided-on-south-china-sea/

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet