Kompleksitas Permasalahan Food Waste di Inggris

Oleh: Anggita Fitri Ayu Lestari & Zhafar Akmal

Peningkatan jumlah limbah makanan atau food waste menjadi permasalahan serius yang harus ditangani oleh banyak negara di dunia karena berdampak secara signifikan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Menurut United Nations Environment Programme (n.d.), food waste dapat didefinisikan sebagai produk makanan dengan kualitas bagus yang termasuk dalam rantai pasokan makanan, tetapi tidak dapat dikonsumsi oleh manusia akibat beberapa faktor, seperti melebihi tanggal kedaluwarsa, kerusakan saat proses distribusi atau retail, terjadinya cuaca ekstrem yang mempengaruhi proses panen, dan sengaja dibuang. Kelebihan produksi dalam pasar serta kebiasaan konsumtif yang dilakukan oleh masyarakat menengah ke atas ketika membeli makanan, dapat juga berkontribusi pada terjadinya food waste. Data dari Food and Agriculture Organization (2011) menyebutkan bahwa volume makanan yang terbuang sia-sia setiap tahunnya mencapai 1.3 miliar ton atau setara dengan sepertiga dari total makanan yang diproduksi secara global.

Lebih lanjut, ketimpangan akses terhadap ketersediaan makanan di antara negara maju dan negara berkembang semakin menambah kompleksitas food waste sebagai permasalahan global. Negara maju memiliki posibilitas yang lebih besar dalam menghasilkan limbah makanan karena kecanggihan teknologi dan sistem industri yang mendukung pembuatan produk makanan dalam jumlah masif. Dengan begitu, masyarakat di negara maju cenderung mendapatkan akses yang memadai terhadap makanan berkualitas, bahkan beberapa dari mereka seringkali mengalami obesitas dan diabetes. Peristiwa tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negara berkembang, di mana banyak masyarakat menghadapi kesulitan dalam memperoleh kebutuhan primer berupa pangan karena terbatasnya kuantitas makanan yang tersedia. Implikasinya, negara berkembang harus merasakan fenomena kelaparan, padahal makanan layak konsumsi yang terbuang sia-sia di negara maju dapat dialokasikan kepada masyarakat di negara berkembang.

Tidak dapat dimungkiri bahwa Inggris sebagai salah satu negara maju pada dasarnya turut menyumbang limbah makanan dalam jumlah yang cukup besar di setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Waste and Resources Action Programme (WRAP), limbah makanan yang dihasilkan oleh Inggris pada tahun 2018 mencapai angka 9.5 juta ton, yakni 70% dari total tersebut seharusnya dapat dikonsumsi oleh manusia dan 30% sisanya merupakan bagian yang tidak bisa dimakan. Dalam hal ini, sektor rumah tangga di Inggris menempati urutan pertama sebagai penghasil limbah makanan terbanyak, yakni sebesar 6.6 juta ton, diikuti dengan sektor manufaktur sebesar 1.5 juta ton, sektor perhotelan dan penyedia layanan makanan sebesar 1.1 juta ton, serta sektor industri ritel sebesar 0.3 juta ton. Sebagian besar dari konsumen di Inggris tidak menyadari bahwa mereka telah membuang terlalu banyak makanan. WRAP memprediksi bahwa total limbah makanan di Inggris memiliki nilai lebih dari £19 miliar per tahunnya atau setara dengan 25 juta ton emisi gas rumah kaca (Dray, 2021). Ironisnya, semua limbah makanan tersebut pada akhirnya hanya menumpuk di tempat pembuangan sampah dengan kapasitas penampungan yang minim.

Apabila ditinjau dari segi ekologis, implikasi yang ditimbulkan oleh fenomena food waste memiliki pengaruh besar dalam isu perubahan iklim. Penumpukan limbah makanan yang berakhir di tempat pembuangan sampah semakin lama akan membusuk dan berpotensi menghasilkan metana. Metana merupakan salah satu gas penyumbang pemanasan global atau perubahan iklim yang lebih kuat daripada gas karbondioksida. Sebesar 1.3 miliar ton limbah makanan global yang membusuk dapat melepaskan gas metana sebesar 8–10%. Kebanyakan limbah makanan juga disebabkan oleh proses produksi dan manajemen distribusi yang buruk sehingga hal tersebut sama saja dengan membuang seluruh energi, bahan bakar, serta air yang dibutuhkan selama proses berlangsung (Brownlow, 2021). Lewis (2022) menyebutkan bahwa emisi yang berasal dari limbah makanan setidaknya setara dengan tiga kali lipat emisi yang berasal dari industri penerbangan berskala global. Selain berdampak terhadap perubahan iklim, limbah makanan yang dibuang di sungai dapat menimbulkan pencemaran air berupa menurunnya kualitas air bersih sehingga mengganggu ekosistem yang ada.

Di sisi lain, ketahanan pangan daerah Eropa terutama di Inggris memiliki kualifikasi yang tinggi untuk lolos dari standardisasi kualitas konsumsi. Masyarakat Inggris memiliki kepercayaan publik yang besar terhadap Food Standards Agency (FSA), mereka juga merasa percaya diri terhadap regulasi kualitas ketahanan pangan yang mereka miliki. Apabila makanan yang sedang diuji tidak lolos standar yang telah diterapkan, makanan tersebut akan dikirim ke peternakan untuk dikonsumsi oleh hewan ternak.. Pada periode tahun 2019/2020, Pemerintah Inggris, Wales, dan Irlandia Utara meningkatkan standar inspeksi makanan higienis dari 89% di tahun 2014/2015 menjadi 90.4% (Department for Environment Food & Rural Affairs, 2021). Fenomena tersebut mendorong semakin bertambahnya limbah makanan yang terbuang tanpa adanya pengolahan menjadi komoditas seperti kerajinan tangan atau bahan lainnya.

Tingginya jumlah limbah makanan dan banyaknya faktor penyebab pembuangan makanan di Inggris perlu menjadi urgensi yang diperhatikan oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Meskipun tingkat food waste di negara maju merupakan yang tertinggi, negara berkembang juga harus memperhatikan pengelolaan makanan mereka supaya dapat mengontrol jumlah produksi dan konsumsi yang dimilikinya. Pemerintah Inggris telah mengidentifikasi faktor penyebab pembuangan makanan dan menciptakan pencegahan terkait hal tersebut. Ditinjau dari beratnya, limbah makanan rumah tangga yang dihasilkan oleh masyarakat Inggris sejumlah 70% dari total pasca-pertanian mereka, lalu dari segi manufaktur berjumlah 16%, perhotelan dan layanan makanan berjumlah 12% dan eceran 3% (WRAP, 2021). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan peningkatan komunikasi dan kerja sama antar petani agar dapat mengurangi produksi berlebih (Stuart, 2009). Penyebab lainnya yaitu petani seringkali memanen tanaman secara prematur untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga kualitas makanan yang dipanen kurang baik. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah mengatur petani skala kecil dan meningkatkan jumlah produksi mereka melalui pengembangan pengetahuan serta pemasaran. Di sisi lain, negara maju memiliki permintaan bahan makanan dengan kualitas tinggi yang mengarah pada food waste. Bahan makanan yang tidak memenuhi kualitas akan ditolak untuk diperjualbelikan di pasar swalayan sehingga akan menjadi limbah. Solusi untuk masalah tersebut adalah dengan mengadakan survei konsumen terkait bahan makanan yang dibutuhkan serta mengurangi jalur distribusi dari penjual ke konsumen.

Selain itu, Pemerintah Inggris juga mencanangkan beberapa inisiatif, salah satunya adalah UK Food Waste Reduction Roadmap yang diluncurkan pada tahun 2018 oleh WRAP bersama Institute of Grocery Distribution (IGD). UK Food Waste Reduction Roadmap akan turut melibatkan retailers, produsen makanan, perhotelan, dan perusahaan bisnis di bidang jasa makanan untuk berkolaborasi mengurangi limbah makanan sekaligus mencapai UN Sustainable Development Goals 12.3. Pada tahun 2019, sebanyak 45 perusahaan bisnis berhasil mengurangi total limbah sebesar 17% atau setara dengan 180.000 ton. Lebih lanjut, perkembangan signifikan juga tercermin dari 261 aktor yang telah bergabung ke dalam UK Food Waste Reduction Roadmap, meliputi 16 retailers, 162 produsen makanan, 35 perhotelan dan perusahaan di bidang jasa makanan, serta 48 organisasi, di mana aktor-aktor tersebut memiliki posibilitas untuk menyumbang sebanyak 1,2 juta ton limbah makanan pertahun (WRAP Report, 2020).

Berdasarkan konstruksi argumen di atas, melimpahnya bahan makanan dan rendahnya kepedulian konsumen rupanya menyumbang food waste terbesar di negara industri seperti Inggris. Daya beli masyarakat yang tinggi membuat mereka dapat membeli makanan dengan mudah, sedangkan di negara berkembang masih banyak masyarakat yang tidak mampu membeli makanan. Ketimpangan tersebut menjadi indikasi bahwa kesadaran masyarakat di negara maju masih rendah dalam menyikapi makanan yang mereka makan sehingga edukasi secara formal maupun politik diharapkan dapat menjadi titik balik dalam mengatasi limbah makanan. Dalam hal ini, Pemerintah Inggris telah melakukan berbagai upaya dan meluncurkan inisiatif untuk meminimalisasi limbah makanan dan mengurangi dampak yang dihasilkan terhadap aspek lingkungan serta sosial, salah satunya melalui UK Food Waste Reduction Roadmap. Hal tersebut dilakukan melalui implementasi strategi Target, Measure, and Act yang mewajibkan para pelaku bisnis untuk melaporkan transparansi data terkait limbah dan surplus makanan (WRAP Report, 2020). Kerja sama dari berbagai sektor merupakan langkah penting dalam menciptakan kepedulian terhadap fenomena food waste dan mendorong inklusivitas untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing aktor yang terlibat.

Anggita Fitri Ayu Lestari dan Zhafar Akmal adalah Ketua dan Staf divisi Internal Affairs FPCI UGM. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi para penulis dan belum tentu mewakili pandangan FPCI UGM

Referensi

Brownlow, S. (2021, Juli 28). Food Waste: Digesting the Impact on Climate. Diakses 9 Juni 2022, dari https://www.newfoodmagazine.com/article/153960/food-waste-climate/

Department for Environment Food & Rural Affairs. (2021). Theme 4: Food Security at Household Level. In UK Food Security Report 2021 (pp. 207–242). Defra. Diakses 10 Juni 2022, https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1077015/United_Kingdom_Food_Security_Report_2021_19may2022.pdf

Dray. S. (2021). Food Waste in The UK. UK Parliament. Diakses 6 Juni 2022, dari https://lordslibrary.parliament.uk/food-waste-in-the-uk/

FareShare. (n.d.). Food Waste and Hunger in the UK. Diakses 5 Juni 2022, dari https://fareshare.org.uk/what-we-do/hunger-food-waste/#:~:text=3.6%20million%20tonnes%20of%20food,every%20year%20in%20the%20UK

Food and Agriculture Organization. (2011). Global Food Losses and Food Waste: Extent, Causes, and Prevention. Rome

Lewis, J. (2022, Februari 7). 5 Areas Climate Change from Food Waste Affects Us. Diakses 10 Juni 2022, https://earth.org/climate-change-food-waste/

Stuart, T. (2009). Waste: Uncovering the Global Food Scandal. Penguin Adult.

United Nations Environment Programme. (n.d.). Definition of Food Loss and Waste. Diakses 5 Juni 2022, dari https://www.unep.org/thinkeatsave/about/definition-food-loss-and-waste

WRAP Report. (2020). The Food Waste Reduction Roadmap: Progress Report 2020. Diakses 9 Juni 2022, dari https://wrap.org.uk/sites/default/files/2020-10/Food-Waste-Reduction-Roadmap-Progress-Report-2020.pdf

WRAP Report. (2021). Food Surplus and waste in The UK-Key Facts. Diakses 11 Juni 2022, dari https://wrap.org.uk/resources/report/food-surplus-and-waste-uk-key-facts#download-file

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet