Justifikasi Sisi Gelap Dibalik Gemerlapnya Industri Fast Fashion
Oleh : Arta Aditya dan Elisabeth Vania Suryadewi
Sandang, pangan, papan merupakan kebutuhan pokok yang mendasari kehidupan setiap individu. Sandang atau pakaian menjadi yang terpenting karena melekat pada diri dan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Berangkat dari upaya pemenuhan kebutuhan tersebut, bukan hanya menjadi barang pakai, pakaian juga menjadi komoditas yang menggerakan perekonomian nasional bahkan global. Tingginya permintaan dan cepatnya pergantian model berpakaian membuat industri fashion semakin berkembang pesat. Hal ini memunculkan istilah fast fashion atau fenomena ekonomi dimana setiap orang dimungkinkan untuk berpakaian sesuai tren terkini yang memengaruhi konsumen untuk bertindakan see now–buy now setiap kali melihat koleksi fesyen baru (Gazzola et al., 2020). Singkatnya, fast fashion merupakan industri pakaian yang diproduksi secara singkat, masal, berkualitas rendah, dan dijual dengan harga murah. Konsep cepat pada fast fashion mengacu pada jangka waktu yang diperlukan untuk melintasi rantai pasokan global, mulai dari merancang, memproduksi, hingga mendistribusikan pakaian. Merek pakaian ternama seperti Zara membutuhkan waktu dua minggu, Forever 21 enam minggu, dan H&M delapan minggu (Cline dalam Linden, 2016).
Terlepas dari banyaknya keuntungan yang diperoleh dari produksi, distribusi, dan konsumsi pakaian secara cepat dan masal, industri fast fashion membawa dampak yang buruk setidaknya terhadap aspek sosial-ekonomi serta lingkungan alam. Apabila ditinjau dari aspek sosial-ekonomi, industri fast fashion acap kali menjadi mimpi buruk bagi para buruh alih-alih menguntungkan. Menurut Utami (2020), industri fast fashion merekrut pekerja perempuan berpendidikan rendah dan imigran, memberikan durasi kerja yang panjang tanpa adanya istirahat, tidak memberikan asuransi yang menjamin kesehatan maupun keselamatan kerja, serta tidak memadainya fasilitas dan infrastruktur tempat bekerja. Industri fast fashion juga membuat ketimpangan dan ketergantungan negara berkembang dengan negara maju semakin meningkat melalui proses produksi yang dilakukan. Industri fast fashion ini biasanya dimiliki oleh negara-negara maju yang cenderung ingin meminimalkan biaya produksi, sedangkan pabrik-pabriknya biasanya ditempatkan di negara-negara berkembang sehingga memicu ketergantungan para tenaga kerja untuk memperoleh pendapatan.
Menilik dampak buruk yang dihasilkan industri fast fashion terhadap lingkungan alam, dimana pakaian yang diproduksi berasal dari serat buatan, termasuk plastik dan selulosa. Serat plastik seperti nilon dan poliester dibuat dari minyak bumi dan melepaskan emisi karbon sebesar 10% yang dapat merusak lingkungan (Linden, 2016). Serat plastik ini akan melepaskan mikrofiber saat dicuci. Mikrofiber ini mencemari lingkungan dan tidak dapat diuraikan (Leman et al., 2020). Dalam proses produksinya, industri fast fashion juga menggunakan sumber daya yang cenderung lebih banyak. Misalnya, dalam memproduksi sepasang kaos dan celana jeans, industri fast fashion menggunakan lebih dari 5.000 galon air. Tidak hanya itu, industri fast fashion menyumbang lebih dari 92 juta ton limbah per tahunnya di seluruh dunia (ecofriendlyhabits.com, n.d). Di Indonesia sendiri, 2,3 juta ton limbah tekstil dihasilkan pada tahun 2019 (LCDI, 2021). Meskipun industri fast fashion menghasilkan dampak buruk, tetapi industri ini masih tetap berjalan dan malah semakin berkembang. Tulisan ini akan memaparkan alasan yang menjustifikasi perkembangan industri fast fashion berdasarkan sudut pandang produsen dan konsumen.
Banyaknya dampak buruk yang diperoleh dari kehadiran fast fashion tidak memberhentikan kegiatan tersebut begitu saja. Justru Fast fashion tetap berjalan bahkan semakin berkembang secara pesat. Alasan yang menjadi latar belakang tren ini masih berjalan dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang dari pelaku bisnis fast fashion atau produsen dan pengguna atau konsumen. Sebagian besar pelaku bisnis paham akan dampak buruk yang ditimbulkan dari tren fast fashion, tetapi menurut Bhardwaj dan Fairhurst (2009) produsen (pelaku bisnis) berpandangan bahwa fast fashion merupakan model bisnis yang efektif diterapkan untuk memperoleh profit tinggi. Dikatakan efektif karena banyak permintaan dari pembeli akan kebutuhan pakaian dan timbulnya rasa bosan sehingga model bisnis fast fashion dapat memikat para pembeli dengan mudah. Modal yang dikeluarkan secara minimal dengan daya pikat pembeli yang besar maka dengan mudah mencapai profit yang tinggi. Maka dari itu, fast fashion semakin marak berkembang terutama pada negara maju.
Perkembangan fast fashion di negara maju tentu juga membawa pengaruh terhadap negara berkembang. Mulanya, tren ini merambah ke negara berkembang difaktori dengan didirikannya banyak pabrik industri pakaian pada negara berkembang. Pemilihan lokasi pembangunan pabrik di negara berkembang dapat dijelaskan dengan menggunakan teori lokasi. Menurut Lutfi Muta’ali, dosen PW UGM, berdasarkan teori lokasi, penentuan lokasi dari suatu kegiatan produksi sangat penting karena memiliki hubungan antara jarak dan biaya transportasi yang dibutuhkan. Semakin jauh jarak dari pusat maka akan semakin tinggi harga jualnya. Di samping itu, pelaku bisnis ingin memaksimalkan keuntungan di antara para kompetitor lain sehingga variable cost seperti suplai energi, biaya transportasi, dan upah pekerja menjadi bahan pertimbangan untuk memaksimalkan profit bisnis (Fouberg, et al., 2011). Di negara berkembang, ketersedian energi untuk kegiatan produksi melimpah, sedangkan upah buruh masih sangat kecil. Oleh karena itu, negara berkembang menjadi daya pikat para produsen untuk mendirikan pabrik dengan meminimalkan variable cost sehingga dapat memaksimalkan profit.
Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pembangunan nasional sehingga diperlukan penanaman modal asing (Winata, 2018). Berbagai upaya dilakukan untuk menarik investor asing untuk menanamkan modal. Salah satunya adalah pendirian pabrik industri fast fashion di negara berkembang yang mendapat izin dengan mudah. Dengan begitu, maka terjadi simbiosis mutualisme di antara keduanya. Tidak hanya itu, pendirian pabrik ini dapat menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat mengatasi permasalahan mengenai pengangguran yang banyak ditemukan pada negara berkembang.
Tidak hanya melihat dari sudut pandang produsen, tetapi juga meninjau dari perspektif konsumen atau pengguna fast fashion yang menjadi alasan mengapa fast fashion masih berjalan. Perubahan lifestyle karena pengaruh sosial-budaya membuat masyarakat selaku konsumen dari fast fashion menjadi lebih konsumtif. Mereka berkeinginan untuk mempunyai daya tarik tersendiri dalam berpakaian di lingkungannya. Hal itu membuat kebutuhan akan pakaian menjadi meningkat sehingga menuntut para produsen untuk terus mengeluarkan produk terbaru agar mampu bersaing dengan kompetitor lain.
Persepsi akan fashion yang berkembang luas di masyarakat berpengaruh terhadap perkembangan fast fashion. Konsumen dari generasi Y dan Z lebih menyukai berbelanja pakaian murah dalam jumlah banyak karena beranggapan dapat tampil dengan fashionable dalam sehari-hari, sedangkan generasi sebelumnya yang memilih membeli pakaian dalam jumlah sedikit, tetapi memiliki kualitas tinggi (Crewe dan Davenport dalam Bhardwaj dan Fairhurst, 2009). Di samping itu, kesadaran akan dampak buruk yang ditimbulkan dari fast fashion masih kurang dipahami oleh konsumen selaku pemakai fast fashion.
Apabila ditarik benang merahnya, walaupun industri fast fashion menimbulkan dampak buruk, masih banyak alasan yang menjustifikasi eksistensi industri fast fashion, baik dari sudut pandang produsen maupun konsumen. Namun, langgengnya keberadaan industri fast fashion memunculkan aksi dan kampanye untuk setidaknya mengurangi dampak buruk dari industri fast fashion. Misalnya, aksi unjuk rasa dan mogok kerja para buruh yang bekerja di pabrik fast fashion untuk menuntut upah yang seharusnya diterima, kampanye untuk beralih ke mode slow fashion yang menggunakan bahan tekstil berkualitas dan ramah lingkungan serta berkelanjutan. Berbeda dengan fast fashion yang memprioritaskan kuantitas, slow fashion cenderung mengutamakan kualitasnya. Tidak hanya itu, penerapan konsep ekonomi sirkular juga dapat membantu mengurangi limbah fashion yang ada. Dalam industri fashion, ekonomi sirkular meliputi cara-cara pengelolaan limbah, seperti reduce, reuse, recycle, refurbish, dan renew.
Arta Aditya dan Elizabeth Vania Suryadewi adalah anggota divisi Keuangan FPCI UGM. Artikel ini melambangkan opini pribadi penulis dan belum tentu mewakili opini FPCI UGM
Referensi
Bhardwaj, V., Fairhurst, A. (2010). Fast Fashion: Response to Changes in The Fashion Industry. The International Review of Retail, Distribution, and Consumer Research, 20(1), 165–173.
Fouberg, E. H., Murphy, A. B., de Blij, H. J. (2011). Human Geography: People, Place, and Culture (9th Ed.). Wiley Custom Learning Solutions.
Gazzola, P., Pavione, E., Pezzetti, R., & Grechi, D. (2020). Trends in the fashion industry. the perception of sustainability and Circular Economy: A Gender/generation quantitative approach. Sustainability, 12(7), 2809. https://doi.org/10.3390/su12072809.
Leman, F. M., Soelityowati, & Purnomo, J. (2020). DAMPAK FAST FASHION TERHADAP LINGKUNGAN. SEMINAR NASIONAL ENVISI 2020 : INDUSTRI KREATIF.
Linden, A. R.,(2016). An Analysis of the Fast Fashion Industry. Senior Projects Fall 2016. 30. https://digitalcommons.bard.edu/senproj_f2016/30
Textile & Fashion Waste Statistics: Facts about clothing in landfills. Eco Friendly Habits. (2021, July 21). Retrieved October 14, 2021, from https://www.ecofriendlyhabits.com/textile-and-fashion-waste-statistics/.
Utami, S. F. (2020, January 8). Mengenal Fast fashion Dan Dampak Yang ditimbulkan. Zerowaste.id. Retrieved October 14, 2021, from https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/mengenal-fast-fashion-dan-dampak-yang-ditimbulkan/.
Winata, A. S. (2018). Perlindungan Investor Asing dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing dan Implikasinya Terhadap Negara. ADJUDIKASI: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2), 127–136.