Janji Politik yang Teringkari di Tanduk Afrika

Penulis: Wan Mohammad Alvaro Anza

Calon pemimpin politik biasanya akan membagi aspirasi, janji, dan harapan mereka ketika hendak maju sebagai pemimpin politik. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran pada rakyat apa yang dapat ia lakukan sebagai pemimpin nantinya. Inilah yang terjadi pada Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed. Seorang politisi muda yang digadang-gadang sebagai pembawa perubahan untuk Ethiopia, dan dia adalah penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang berhasil menghentikan perang antara Ethiopia dan Eritrea. Dalam pidatonya, Ahmed sebagai mantan anggota militer Ethiopia menyampaikan kepercayaan dia bahwa perang adalah lambang dari seluruh kekacauan yang dapat terjadi (nobelprize.org, 2019). Meskipun perang dengan Eritrea berhasil diatasi, konflik dalam negeri timbul; inilah kompleksitas masalahnya, dan apabila kita hendak mengerti konflik ini secara menyeluruh kita harus menelusuri sejarah dan demografis di Tanduk Afrika.

Ethiopia adalah negara yang terbagi menjadi sepuluh bagian dengan berbagai macam etnis. Stereotip terhadap Ethiopia adalah negara yang politiknya sangat kompleks, di mana setiap negara bagian memiliki kebanggaan terhadap daerah mereka sendiri. Sejarah pemerintahan Ethiopia yang diwarnai oleh diktator dan otokrasi menambah pandangan yang lebih banyak kepada masalah yang sedang terjadi di dalam negeri. Konflik yang kurang mendapat perhatian ini disebabkan oleh kerahasiaan operasi dari pemerintah Ethiopia yang menutup dan membatasi jurnalis untuk meliput kejadian di daerah Tigray (Behind The News, 2021). Terlebih lagi, isu di Tigray tidak hanya melibatkan Ethiopia tetapi juga Eritrea yang menganggap daerah Tigray sebagai ancaman sekuritas bagi negara mereka dan sebagai musuh yang menjajah Eritrea dulu.

Penduduk Tigray yang dulu menduduki sebagian besar parlemen dan petinggi negara sempat mendeklarasikan perang dengan Tigray. Hal inilah yang menjadi dasar Eritrea untuk menjajah Tigray kembali. Meskipun terdengar sebagai bentuk “balas dendam”, posisi Tigray — yang diapit oleh dua negara yang melihatnya sebagai sebuah ancaman bagi kedua negara — tidaklah menyenangkan. Semenjak perang yang dimulai November lalu, telah tercatat puluhan ribu rakyat yang menjadi korban jiwa dan korban perang. Kondisi ini juga diikuti dengan pengungsi yang mulai memasuki negara tetangga untuk menghindari konflik yang kian semakin parah.

Lalu, apa yang membuat sebuah peraih Penghargaan Nobel beralih dari prinsip yang ia miliki hanya dalam waktu kurang dari satu tahun? Saat menduduki kursi perdana menteri, Ahmed memperkenalkan kebijakan yang dianggap membuat pemilihan semakin sulit dan inklusif, di mana semakin banyak penuntutan penandatanganan agar ia dapat maju di pemilihan yang akan dilaksanakan pada tahun 2021. Oposisi dari Ahmed menganggap ini sebagai kebijakan yang sangat merugikan dan hanya menguntungkan bagi penguasa saat ini (AfricaNews, 2019). Terlebih lagi, TPLF atau Front Pembebasan Rakyat Tigray tidak memilih melebur diri ke dalam Partai Kemakmuran milik Abiy Ahmed. Setelah itu, mereka melaksanakan pemilihan sendiri yang dianggap tidak valid oleh pemerintah pusat. Akhirnya, seluruh menjadi semakin kacau saat TPLF memilih untuk menyerang markas militer yang ada di daerah Tigray, dan di sinilah Perang Saudara Ethiopia terjadi.

Konflik yang kompleks ini bila diobservasi dapat mengarah kepada kesalahan Abiy Ahmed yang gagal membuat Ethiopia menjadi negara yang lebih demokrasi. partai yang sudah ada hanya melakukan “rebranding” namun tetap mempertahankan kekuatan di satu titik. Ahmed sebagai pemimpin negara gagal mempersatukan rakyatnya yang beragam dan terbagi secara etnis. Puluhan ribu rakyat Ethiopia asal Tigray yang seharusnya memiliki hak yang setara malah terabaikan akibat masalah perbedaan. Pakar dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memfokuskan riset dalam isu hak asasi manusia mengatakan bahwa kemungkinan Ethiopia untuk mengalami pelanggaran-pelanggaran sangatlah besar, mulai dari pembantaian etnis hingga meningkatnya pengungsi ke negara tetangga

Perang yang sudah satu tahun berlangsung ini berdampak sangat buruk, tidak hanya terhadap Ethiopia dan Eritrea namun juga terhadap daerah yang ada di Tanduk Afrika. Beberapa laporan mengatakan bahwa tetangga-tetangga Ethiopia telah terkena dampaknya dan bahkan beberapa terlibat dalam konflik ini seperti Sudan dan Somalia. Militan Tigray telah berhasil mengambil alih daerah diluar Tigray, yang dianggap sebagai pergerakan menuju Addis Ababa..

Respon dari aktor internasional sangat beragam namun dengan tujuan yang sama, yakni mencoba untuk menghentikan konflik antara Ethiopia dan Tigray. Uni Eropa berperan sangat besar, yakni mendesak Abiy Ahmed untuk melakukan penyelesaian masalah secara damai; namun, Ahmed menolak dan memilih untuk melibatkan Uni Afrika untuk dapat menengahi isu (Blanchard, 2020). Kebijakan Uni Eropa untuk menunda bantuan finansial sebesar 88 juta Euro terhadap Ethiopia juga patut dijadikan sebagai realisasi dan itikad baik aktor internasional untuk keamanan di daerah Afrika. Namun, Ethiopia tetap gigih bahwa isu di Tigray hanyalah kesalahpahaman aktor-aktor internasional yang disampaikan oleh Duta Besar Ethiopia untuk Uni Eropa (Deleersnyder, 2021).

Pertanyaan terbesar yang hingga kini tidak bisa kita jawab adalah, apakah langkah yang ditempuh oleh Ahmed Abiy dapat diterima? Apakah semuanya dapat diterima dengan alasan kepentingan politik dan negara? Jika kita analisis lebih dalam, keuntungan yang didapat semenjak perang saudara ini dimulai tidak ada. Ahmed tidak mendapatkan apa yang dia inginkan dan hanya merusak kestabilan dan ekonomi negaranya. Apabila perang ini terus terjadi tidak hanya kasus hak asasi manusia yang dipertanyakan tetapi juga akuntabilitas Ahmed sebagai seorang perdana menteri.

Reference list

AfricaNews (2019). Ethiopian opposition parties reject electoral reforms. [online] Africanews. Available at: https://www.africanews.com/2019/09/04/ethiopian-opposition-parties-reject-electoral-reforms// [Accessed 8 Nov. 2021].

Behind The News, P. of (2021). https://www.youtube.com/watch?v=z0cYHw-joZI.

Blanchard, L.P. (2020). The Unfolding Conflict in Ethiopia. Congressional Research Service.

Deleersnyder, A.E. (2021). Ethiopia’s Tigray conflict: Exposing the Limits of EU and AU Early Warning Mechanisms. Konrad Adenauer Stiftung.

nobelprize.org, A. of (2019). The Nobel Peace Prize 2019. [online] The Nobel Prize. Available at: https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2019/abiy/109716-lecture-english/ [Accessed 8 Nov. 2021].

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet