International Law against the Internet: Menelisik Kesiapan Hukum Internasional dalam Menghadapi Permasalahan di Media Sosial
Oleh: Aridiva Firdharizki
Seiring berkembangnya zaman, penggunaan internet di kalangan masyarakat kian meningkat setiap tahunnya. Adanya pandemi Covid-19 yang merebak pada tahun 2020 juga seolah ‘memaksa’ masyarakat untuk terhubung melalui internet. Per Januari 2021, pengguna internet global mengalami peningkatan sebanyak 7.3% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (We Are Social, 2021). Media sosial sebagai bagian dari internet juga semakin sering digunakan oleh masyarakat. Serupa dengan internet, jumlah pengguna aktif media sosial juga mengalami peningkatan sebesar 13.2% pada Januari 2021 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Apabila diejawantahkan dalam bentuk jumlah, terdapat peningkatan sebanyak 490 juta pengguna yang aktif di media sosial (We Are Social, 2021).
Meski media sosial telah banyak membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial memiliki sisi negatif yang tak terhindarkan. Besarnya jumlah konten yang dihasilkan oleh media sosial kemudian menghasilkan tantangan tersendiri dalam pengaturannya. Kini, banyak negara tengah berlomba-lomba melahirkan regulasi yang secara spesifik mengatur tentang moderasi konten di media sosial. Misalnya, Indonesia dengan UU ITE dan peraturan turunannya dan Jerman dengan Germany’s Network Enforcement Act (NetzDG) (Audrine et al., 2021). Negara lain seperti Inggris pun tengah gencar merumuskan Online Safety Bill yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari konten negatif di media sosial (Martin, 2021). Walaupun sudah banyak ditemukan beberapa regulasi domestik, menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang peran hukum internasional sebagai bentuk regulasi yang dapat menjadi ‘payung’ lebih besar bagi regulasi lain.
Dalam rezim hukum internasional, diskusi mengenai konten di media sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum hak asasi manusia internasional. Hingga saat ini, belum ada satu pun instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang mengatur secara spesifik terkait konten di media sosial. Berdasarkan instrumen yang tersedia, hukum hak asasi manusia internasional hanya mengatur secara umum tentang kebebasan berekspresi. Misalnya, Pasal 19 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memberikan jaminan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, yang meliputi hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta gagasan dalam bentuk apapun. Selain memberikan jaminan hak, ICCPR juga mengandung pembatasan terhadap hak tersebut. Pasal 19 ayat (3) ICCPR menjelaskan bahwa pembatasan terhadap hak berekspresi hanya akan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk menghormati hak atau reputasi orang lain serta untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum (ordre public), kesehatan, atau moral masyarakat. Lebih lanjut, Pasal 20 ICCPR mengadakan pembatasan bahwa propaganda perang serta advokasi kebencian terhadap kewarganegaraan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan wajib dilarang oleh hukum. Selain ICCPR, contoh instrumen lain yang mengatur tentang kebebasan berekspresi ialah International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Walaupun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum menghasilkan instrumen hukum mengikat yang secara khusus membahas tentang konten di media sosial, perhatian terkait pentingnya pengaturan kebebasan ekspresi di ranah internet telah tercermin oleh adanya Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression. Report of the Special Rapporteur merupakan laporan dari orang yang secara khusus telah dipilih berdasarkan keahliannya oleh Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam PBB dan diberikan mandat spesifik untuk mempersiapkan laporan secara tematik atau mengenai situasi HAM di suatu negara (ELSAM, 2014). Laporan tersebut menyatakan bahwa kerangka hukum hak asasi manusia internasional — khususnya ketentuan yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berekspresi — tetap relevan dan dapat diterapkan di internet (Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression, 2011). Lebih lanjut, laporan tersebut juga menjelaskan secara lebih spesifik tentang konten negatif di media sosial.
Berdasarkan instrumen yang tersedia saat ini, rasanya hukum internasional belum dapat mengakomodasi perkembangan yang terjadi di internet, khususnya dalam media sosial. Terlebih, penanganan konten di media sosial menjadi semakin runyam apabila mengingat bahwa adanya keterlibatan sektor privat di dalamnya (misalnya platform media sosial). Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat kelemahan-kelemahan yang dimiliki hukum hak asasi manusia internasional dalam menangani konten di media sosial. Kelemahan tersebut di antaranya: (1) masih rentannya instrumen hukum hak asasi manusia internasional terhadap perbedaan interpretasi; (2) terciptanya ruang bagi sektor privat untuk mengkooptasi hukum hak asasi manusia internasional; (3) adanya ketidakjelasan pembagian peran mengenai siapa pihak yang berwenang untuk menindaklanjuti konten yang dipermasalahkan; dan (4) kurang sesuainya paradigma hukum hak asasi manusia internasional apabila diaplikasikan dalam konteks internet yang lebih kompleks (Douek, 2021).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hukum internasional belum siap dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi di internet, setidaknya mengenai konten negatif di media sosial. Ketidaksiapan tersebut sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dimengerti. Akan sangat mustahil apabila hukum diekspektasikan untuk dapat mendahului perkembangan dalam masyarakat ketika hukum sendiri lahir dari adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri. Meski demikian, hukum tetap harus dapat mengikuti perkembangan yang ada. Untuk mengantisipasi semakin beragamnya kasus di ranah internet, konsensus internasional yang komprehensif patut untuk segera dirancang. Tidak hanya antar negara, alangkah lebih baik apabila regulasi tersebut juga menyinggung tentang peran sektor privat di dalamnya. Dengan demikian, kepastian hukum bagi pengguna internet dapat terkonstruksi menjadi lebih sempurna.
Referensi
Audrine, P. and Setiawan, I. (2021, July). Policy Paper №38: Impact of Indonesia’s Content Moderation Regulation on Freedom of Expression. https://repository.cips-indonesia.org/media/347642-impact-of-indonesias-content-moderation-88ec21cc.pdf
Douek, Evelyn. (2021, May 27). The Limits of International Law in Content Moderation. UC Irvine J. Int’l Transnat’l & Comp. L. 6 (2021), 37–76. https://scholarship.law.uci.edu/ucijil/vol6/iss1/4
ELSAM. (2014, September 29). Special Rapporteur. https://referensi.elsam.or.id/2014/09/special-rapporteur/
International Covenant on Civil and Political Rights 1976.
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1969.
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1976.
La Rue, Frank William. (2011, August 10). Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression A/66/290. https://www.ohchr.org/documents/issues/opinion/a.66.290.pdf
Martin, Alexander. (2021, October 19). What is the Online Safety Bill and why are some people worried about it?. https://news.sky.com/story/what-is-the-online-safety-bill-and-why-are-some-people-worried-about-it-12437427
We Are Social. (2021, January). The Digital 2021 Global Overview Report. https://wearesocial.com/uk/blog/2021/01/digital-2021-the-latest-insights-into-the-state-of-digital/