Indonesian Foreign Policy Under President Jokowi’s 2nd Term: New Priorities, New Expectations, New Initiatives?
oleh: Rafi Aquary
Bertempat di Main Hall, sesi ini merupakan salah satu sesi paling utama dan sangat erat kaitannya dengan FPCI itu sendiri. Menghadirkan lima pembicara yang mempunyai latar belakang yang cukup variatif mulai dari pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, Prof. Hikmahanto Juwana dari sudut pandang hukum internasional, Prof. Aleksius Jemadu dari sisi perpolitikan internasional, Dr. Dinna Wisnu yang membahas seputar ekonomi politik hingga Kornelius Purba dari kalangan jurnalis. Sesi ini menekankan pada bagaimana adanya shifting diplomacy yang terjadi seharusnya membuat Indonesia di posisi yang menguntungkan, meskipun semakin kompleksnya tantangan-tantangan kedepannya.
Di periode kedua ini dengan adanya tambahan fokus dalam diplomasi ekonomi dalam politik luar negeri Indonesia mempertegas keinginan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengakselerasi perekonomian Indonesia. Meskipun demikian, diplomasi ekonomi tidak sesimpel itu dan harus menghasilkan hal yang inovatif karena jika hanya memfokuskan pada diplomasi ekonomi, maka Indonesia tidak akan berbeda dengan negara lainnya terutama di tengah ketidakpastian dunia internasional pada saat ini serta sengitnya persaingan antarnegara. Juga harus ada penekanan terhadap value yang dihasilkan, tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi saja. Potensi akibat Perang Dagang yang ditimbulkan tidak serta merta membuat Indonesia berbenah diri dengan cepat dalam menangkap kesempatan yang ada.
Penataan kelembagaan menjadi salah satu yang paling vital, perampingan menjadi suatu keharusan. Harus adanya penataan kelembagaan yang menyesuaikan dengan visi diplomasi ekonomi di periode kedua ini. Koordinasi antarinstansi menjadi sangat penting karena Indonesia sendiri masih bergulat dengan permasalahan seputar birokrasi. Banyaknya lembaga yang terlibat, terutama jika berurusan dengan ekonomi membuat tidak optimalnya hasil yang ditargetkan. Jika pasar tidak menerima, maka yang lain tidak akan mengikutinya pula. Oleh karenanya, dibutuhkannya governance yang baik dalam kebijakan luar negeri.
Sempat terjadi perdebatan kecil antara Prof. Hikmahanto dengan Dr. Dinna mengenai bagaimana seharusnya Indonesia memfokuskan dalam menyelesaikan masalah di tingkat akar rumput. Akan tetapi, keduanya setuju bahwa Indonesia harus memfokuskan juga dalam aspek keberlanjutan. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun,permasalahan domestik tidak dapat ditinggalkan begitu saja dan pemberantasan isu-isu transnasional bersama-sama.
Sentralitas ASEAN dalam politik luar negeri Indonesia juga menjadi concern utama. Meskipun ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) sudah disepakati, belum begitu jelas menuju ke arah mana. Indonesia sebagai leader dari ASEAN harus terus mendorong hal tersebut ke negara-negara di kawasan. Apalagi Indonesia sudah memiliki visi Poros Maritim Dunia yang dapat semakin memperkuat AOIP itu sendiri. Outlook itu sendiri sebenarnya sudah
memperlihatkan komitmen kuat ASEAN dalam menjaga kawasannya yang menjadi permasalahan ialah bagaimana implementasi hal tersebut di lapangan.
Selama lima tahun ke belakang adanya kecenderungan kebijakan yang inward looking. Padahal kebijakan-kebijakan yang cenderung inward looking sudah seharusnya diseimbangkan dengan kebijakan outward looking juga. Ketidakhadiran di Sidang Umum PBB menjadi sorotan karena bagaimana mau dihormati jika tidak pernah datang ke acara tahunan terbesar PBB tersebut. Dengan menjadi aktif juga dapat menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam menciptakan tatanan global yang damai dan tentunya sesuai dengan amanat UUD. Serta Indonesia dapat meng-exercise posisinya sebagai middle power yang memiliki kontribusi besar dalam dunia internasional dengan dapat menunjukkan pandangan Indonesia dalam suatu isu.
Tantangan kedepannya akan semakin rumit jika Indonesia tidak dengan cepat beradaptasi terhadap dinamika-dinamika dunia internasional. Bukan tidak mungkin Indonesia justru menjadi tertinggal dibandingkan negara lainnya. Persoalan domestik tidak dapat dinafikan begitu saja, tetapi tetap harus adanya keseimbangan dalam politik luar negeri terutama dalam usaha untuk
menempatkan Indonesia sebagai kekuatan yang signifikan dalam percaturan dunia internasional.