Indonesia dalam Sidang Umum PBB ke-75: Ironi, Simbolisme, dan Urgensi
Oleh: Rafi Aquary
Di sidang yang seharusnya menjadi sesuatu yang spesial dengan perayaan tiga per empat abad Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memaksa Sidang Umum pada tahun ini dilakukan secara daring. Dalam sesi puncaknya, Presiden Joko Widodo untuk pertama kalinya hadir dalam Sidang Umum PBB secara virtual. Setelah dalam periode pertamanya ia sepenuhnya absen dalam agenda tahunan PBB yang berlangsung di paruh terakhir bulan September — kehadirannya secara konsisten digantikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla — pada kehadirannya kali ini, Jokowi menekankan isu pentingnya multilateralisme global dalam menangani secara bersama-sama pandemi COVID-19 (“Pidato Presiden RI pada UNGA ke-75,” 2020). Ia juga kembali menegaskan komitmen Indonesia atas kemerdekaan Palestina yang belum juga kunjung terwujud sampai saat ini.
Jokowi dalam kehadiran perdananya juga langsung menancap gas dengan mengkritik kinerja organisasi yang menjadi tempat ia menyampaikan pidato tersebut. Ia mendesak agar dilakukannya reformasi, revitalisasi, dan efisiensi dalam tubuh PBB (“Pidato Presiden RI pada UNGA ke-75,” 2020). Walaupun di satu sisi tidak dapat dipungkiri PBB mempunyai segudang masalah yang harus dibenahi, takterkecuali pada penanganan pandemi kali ini, di sisi lainnya hal tersebut tentunya menjadi sesuatu yang cukup ironis. Indonesia dalam berbagai kesempatan di masa awal pandemi COVID-19 terkesan menampik keberadaan virus tersebut dan menutup kemungkinan akannya virus tersebut masuk ke Indonesia (Massola, 2020). Padahal di waktu yang sama, WHO — sebagai salah satu badan dalam PBB — berulang kali menyatakan bahwa virus ini merupakan ancaman serius bagi semua negara di dunia, yang tidak mengenal batas-batas negara. Presiden juga menyoroti tidak responsifnya penanganan pandemi ini oleh PBB. Kembali menjadi ironi, apa yang disampaikan Presiden dalam pidato anyarnya berbanding cukup kontras dengan penanganan yang dilakukan pemerintah Indonesia sendiri dalam setidaknya kurun waktu enam bulan terakhir ini. Dengan Indonesia yang sampai saat ini belum juga akan menandakan adanya penurunan jumlah kasus harian penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2 ini, penanganan pemerintah sendiri merupakan suatu hal kritis. Di saat negara lain sudah mulai berhadapan dengan gelombang kedua, Indonesia belum juga memenangkan pergulatannya di gelombang pertamanya.
Indonesia sebenarnya tahun ini juga menjadi ketua sekaligus tuan rumah Foreign Policy and Global Health (FPGH) Forum yang awalnya direncanakan memfokuskan mengenai pentingnya keadilan dalam mengakses kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat (Sinaga, 2019). Selain dari mengalihkannya menjadi secara daring pada Mei lalu (Rokom, 2020), tampaknya langkah-langkah lanjutan yang dilakukan minim mempunyai arti penting dalam penanganan COVID-19. Walaupun sebenarnya forum ini kurang mempunyai signifikansi dalam perpolitikan internasional, inisiasi bersama enam negara lainnya yang terbentuk sejak empat belas tahun lalu terasa sia-sia di saat krisis kesehatan. Padahal, seperti apa yang Presiden katakan — multilateralisme adalah satu-satunya jalan yang dapat memberikan kesetaraan. Presiden Jokowi sayangnya dalam pidatonya tidak sekalipun menyinggung mengenai FPGH Forum.
Istilah yang Clifford Geertz perkenalkan dalam bukunya (Geertz, 1980, p. 13), yakni theatre state juga tampaknya cocok dalam melihat fenomena ini. Theatre state merupakan diksi yang ditelurkan Geertz setelah menganalisis kondisi sosial-politik di Bali pada abad ke-19 yang menyukai segala sesuatu yang berbau seremonial yang mempunyai unsur simbolisme yang kental. Di tengah kekecewaan masyarakat atas penanganan COVID-19 di Indonesia (Sumantri, 2020), tampil di hadapan Sidang Umum PBB tampaknya menjadi semacam penawar atas hal tersebut. Pengalihan sesaat dari apa yang dihadapkan pada saat ini dianggap menjadi salah satu solusi yang dapat ditempuh bagi pemerintah. Simbolisme yang muncul dalam kehadiran pertamanya memberikan semacam angin segar dalam komitmen Indonesia ke depannya untuk terus menunjukkan kapabilitasnya dalam ruang internasional.
Indonesia sebagai kekuatan menengah tidaklah seharusnya menggagap remeh pentingnya pertemuan tahunan PBB ini. Permasalahan global yang menjadi semakin kompleks dikarenakan pandemi COVID-19 menjadikan urgensi dalam bertindak secara konkret di forum internasional menjadi sangat esensial. Hal ini juga tidak terlepas dari fakta bahwa kehadiran seorang kepala negara/pemerintahan mempunyai daya tawar yang lebih tinggi yang jauh berbeda sekalipun digantikan oleh seorang wakilnya. Jangan sampai Indonesia dilihat sebagai aktor yang oportunis yang hanya hadir ketika ia butuh, sedangkan tidak menunjukkan secara jelas batang hidungnya ketika negara lain membutuhkannya. Begitu juga hubungannya dengan ketidakhadirannya selama ini, dengan berbagai kritik yang sebelumnya menghunjamnya dengan lima keabsenan berturut-turut tersebut, terutama dalam berbagai kesempatan yang berbeda Presiden hadir di pertemuan-pertemuan internasional lain, seperti G20 dan APEC.
Terlepas dari itu semua, hal ini merupakan peletakan batu pertama yang baik dalam kehadirannya dalam Sidang Umum PBB ini. Mungkin juga pandemi COVID-19 menjadi tamparan bagi pemerintah dalam benar-benar bahu membahu dengan negara lain tidak hanya untuk urusan ekonomi saja. Berbagai hal tersebut tentunya membuka berbagai pertanyaan lanjutan. Empat tahun tersisa menjadi penentuan apakah kehadirannya akan kembali digantikan RI 2 ataukah Presiden tetap dengan konsisten hadir dalam acara puncak tahunan PBB ini? Apakah Indonesia akan kembali menjadi outward looking setelah dalam lima tahun belakangan dinilai mempunyai tendensi yang kuat untuk mementingkan kepentingan domestiknya sendiri? Mari berharap yang terbaik sembari menunggu waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Referensi
Geertz, C., 1980. Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali. Princeton University Press, Princeton, N.J.
Massola, J., 2020. Coronavirus spread: WHO concerned Indonesia appears to be coronavirus free [WWW Document]. Syd. Morning Her. URL https://www.smh.com.au/world/asia/who-concerned-indonesia-appears-to-be-coronavirus-free-20200205-p53xzj.html (accessed 9.27.20).
Pidato Presiden Republik Indonesia Y.M. Joko Widodo Pada Sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum Ke-75 Perserikatan Bangsa Bangsa New York, 22 September 2020 [WWW Document], 2020. . Kementeri. Luar Negeri Repub. Indones. URL https://kemlu.go.id/portal/id/read/1715/berita/pidato-presiden-republik-indonesia-ym-joko-widodo-pada-sesi-debat-umum-sidang-majelis-umum-ke-75-perserikatan-bangsa-bangsa-new-york-22-september-2020 (accessed 9.27.20).
Rokom, 2020. Indonesia Pimpin Foreign Policy and Global Health Dukung Upaya Global Akhiri Pandemi COVID-19 [WWW Document]. Sehat Negeriku Kementeri. Kesehat. Repub. Indones. URL http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20200518/3033922/indonesia-pimpin-foreign-policy-and-global-health-dukung-upaya-global-akhiri-pandemi-covid-19/ (accessed 9.26.20).
Sinaga, Y.A., 2019. Indonesia hosts Foreign Policy and Global Health Forum [WWW Document]. Antara News. URL https://en.antaranews.com/news/133014/indonesia-hosts-foreign-policy-and-global-health-forum (accessed 2.29.20).
Sumantri, A., 2020. Riset UGM: Warganet Kecewa dengan Cara Pemerintah Tangani Covid-19 [WWW Document]. medcom.id. URL https://www.medcom.id/pendidikan/riset-penelitian/PNgW1zPN-riset-ugm-warganet-kecewa-dengan-cara-pemerintah-tangani-covid-19 (accessed 9.27.20).