Imperatif Internet Indonesia terhadap Keamanan Siber ASEAN
Oleh Andja Karunia
Artikel ini adalah bagian dari Foreign Policy in Review 2018, rilis tahunan yang dibuat oleh FPCI chapter UGM yang berisi tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa penting politik luar negeri Indonesia sepanjang satu tahun.
Unduh versi lengkap pdf “Foreign Policy in Review 2018" di http://ugm.id/FPIR2018
Dengan semakin mendekatnya bonus demografi Indonesia, beberapa aspek keamanan semakin perlu digarisbawahi oleh para pakar dan aktor pemerintah (Rohmah, 2014). Dimensi vertikal yang saya ambil mencakup pembahasan mengenai keaktifan Indonesian di level internasional, regional dan nasional. Level internasional akan membahas pandangan indonesia dibandingkan dengan pandangan komunitas internasional mengenai cyberwarfare. Level selanjutnya, yaitu level regional akan membahas bahaya-bahaya yang akan muncul dari adanya pasar ASEAN yang lebih terhubung antara satu negara anggota dengan negara anggota lainnya terutama Indonesia. Level nasional akan mendiskusikan institusi domestik Indonesia yang bertugas untuk menangani masalah keamanan siber dan relasinya terhadap ASEAN.
Dengan meningkatnya interkonektivitas antarbangsa dan antarmanusia berkat internet, kerusakan di satu sektor dalam suatu masyarakat tidak akan semudah itu untuk diisolir seperti di masa lalu. Dalam kasus ini, Indonesia akan digunakan sebagai objek analisa dikarenakan ukuran daerahnya dan juga jumlah populasinya yang akan mendapatkan masa bonus demografinya. Faktor-faktor tersebut menurut saya adalah penyebab mengapa Indonesia memilki peran yang penting dalam membentuk dan mempertahankan keamanan siber di ASEAN dan mungkin malah di kancah masyarakat internasional. Posisi Indonesia di komunitas internasional yang lebih luas dapat memberi dampak terhadap sikap ASEAN dikarenakan jumlah pengguna internet dapat mendiktasi arah keamanan sibernya. Diskusi kemudian akan dibawa ke pembahasan mengenai countervalue targeting strategies seperti dalam kasus doktrin senjata nuklir. Saya juga akan membahas kesiapan institusional Indonesia terhadap masalah ini. Pertanyaan untuk tiap level yang saya coba jawab adalah “Apa yang perlu Indonesia perhatikan dalam memajukan keamanan siber ASEAN dalam kasus ini?”
Yang pertama, dalam skala global, pastinya kita perlu kembali mengulas kejadian di Estonia saat operasi siber Rusia terhadap negara tersebut memantik diskusi internasional sehingga menstimulasi terbentuknya Group of Governmental Experts yang sudah bertemu lima kali sampai saat ini (“New UN GGE and open-ended group on cybernorms”, 2018). Dari empat belas poin yang menjadi titik perdebatan di GGE, ada tiga hal yang ingin saya tekankan sebagai pembahasan, yang pertama adalah cukup tidaknya menggunakan norma hukum internasional yang sudah ada atau diperlukannya adopsi norma-norma baru, kedua adalah mengenai bagaimana cara mengaplikasikan tanggungjawab negara dalam isu-isu digital, dan yang ketiga adalah bagaimana cara menghadapi sifat dwi-fungsi teknologi siber (“UN GGE”, 2018). Dalam aspek pertama, saya percaya bahwa mencoba mencari inspirasi dari negara-negara yang memiliki pandangan mirip dengan Indonesia, seperti Rusia.[1] Dalam aspek kedua, saya percaya bahwa opinio juris, yaitu membentuk opini negara terhadap isu ini, dapat membantu mengerucutkan diskusi ini dalam aspek legal. Terutama karena meningkatnya jumlah pengguna internet Indonesia dan juga karena setengah populasi indonesia tersambung di Internet (KOMINFO, 2018; Bohang, 2018). Poin ketiga dapat dibahas saat Indonesia sudah memiliki opinio juris dan kemudian membantu membentuk state practice terhadap hal tersebut. Dengan melakukan hal-hal tersebut, mengimpor budaya dan praktek Indonesia sebagai contoh kepada negara-negara ASEAN dalam hal keamanan siber menjadi lebih mudah dan dapat membantu hegemoni Indonesia.
Melanjutkan diskusi ke ranah ASEAN, organisasi internasional ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai aspek. Hal yang paling sering dibahas dapat dibilang adalah seputar masalah sistem konsensus dan prinsip non-intervensinya. Meskipun beberapa pakar percaya bahwa Singapura akan menjadi pemimpin ASEAN dalam hal keamanan siber, saya hendak berargumen bahwa mereka memiliki keahlian namun tidak memiliki objek praktek untuk mengaplikasikannya (Elina Noor, 2019). Jumlah populasi Indonesia, dan interkonektivitas pasar membuat Indonesia mendapat potensi besar dalam bersinggungan keras dengan ekonomi ASEAN di masa depan (Hollander, 2017). Saya akan membawa argumen Imperatif Indonesia saya lebih jauh dengan memberi pandangan bahwa Singapura dan Indonesia perlu mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam hal ini, terutama karena ASEAN berencana memiliki integrasi ekonomi lebih di masa depan (Domingo, 2017). Sekuritisasi adalah sesuatu yang terjadi dengan perencanaan dan koordinasi yang spesifik. Pola pikir berbasis keamanan seperti inilah yang saya percaya dapat membantu Indonesia menjadi pilar penting dalam keamanan rakyatnya dan dalam keamanan warga ASEAN.
Dalam skala domestik, walaupun mungkin Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara maju dalam hal inovasi maupun perkembangan teknologi, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memiliki kemahiran dalam beradaptasi dan menyusul kemajuan-kemajuan teknologi. Dengan adanya BSSN yang bertugas untuk mengkoordinasi badan-badan kritis mengenai infrastruktur IT, selain itu seorang pakar dari BSSN sempat menyebutkan bahwa perdebatan internasional juga merupakan sesuatu yang belum berhasil mencapai konsensus, terutama mengenai pasal 51 piagam PBB mengenai self-defense (Muhammad & Stefanie, 2018). Tentu ini dapat membuktikan bagaimana pencarian kesepakatan mengenai keamanan siber internasional juga merupakan tujuan domestik Indonesia. Saya kira perekrutan pakar-pakar secara domestik maupun non-domestik dapat membantu kita dalam mencapai tujuan tersebut. Selain BSSN, Indonesia juga memiliki badan siber dalam Polri. Capaian badan siber ini termasuk pembentukan kerjasama dengan kepolisian Ukraina, formasi direktorat siber, dan penyelesaian sebanyak 1.368 kasus pada tahun 2017 (Batubara, 2018; Santoso, 2017; Nadila, 2017). Saya setuju dengan pendapat presiden Jokowi bahwa aspek antisipasi merupakan bagian penting dari tugas Polri dalam menjaga keamanan siber, terlebih lagi dalam konteks memperdalam pengetahuan menganai skenario-skenario yang mungkin terjadi di ranah siber (“Polri Harus Antisipasi Kejahatan Siber”, 2017). Dengan cara demikian, Indonesia dapat membantu membentuk kebiasaan-kebiasaan dalam menyiapkan keamanan sibernya yang kemudian memungkinkan kemajuan keamanan siber ASEAN.
Menurut saya, semacam Two-Level Game adalah suatu solusi untuk mempersiapkan keamanan siber ASEAN. Two-Level Game disini memiliki sebuah modifikasi, dalam artian tujuan internasional dan nasional dibentuk secara selaras dan akan menaruh tujuan regional dalam posisi ‘sandwich’ antara tujuan nasional dan internasional. Hal tersebut akan membuat tujuan regional yang terbentuk oleh tekanan nasional dan internasional. Secara internasional, dari keanggotaan GGE, dan mungkin keanggotaan non-permanen Indonesia di Dewan Keamanan PBB, dan secara nasional, melalui contohnya BSSN dan direktorat siber Polri. Semua itu dapat menjadi instrumen Indonesia dalam memajukan keamanan siber ASEAN.
[1] Penulis mengambil inspirasi dari apa yang diutarakan oleh Agung Nugraha pada tanggal 7 Desember 2018 di Convention on Cyber Security 2018 yang diselenggarakan CfDS UGM.
References
Batubara, P. (2019). Polri Kerjasama dengan Kepolisian Ukraina Perkuat Keamanan Siber : Okezone News. Retrieved from https://news.okezone.com/read/2018/11/21/337/1980471/polri-kerjasama-dengan-kepolisian-ukraina-perkuat-keamanan-siber
Domingo, R. (2019). Asean moves closer to common market. Retrieved from https://business.inquirer.net/238755/asean-moves-closer-common-market
Elina Noor, T. (2019). ASEAN Takes a Bold Cybersecurity Step. Retrieved from https://thediplomat.com/2018/10/asean-takes-a-bold-cybersecurity-step/
Hollander, R. (2019). Southeast Asia could be a leader in mobile internet usage next year. Retrieved from https://www.businessinsider.com/southeast-asia-could-be-a-leader-in-mobile-internet-usage-next-year-2017-12/?IR=T
KOMINFO, P. (2018). Siaran Pers №53/HM/KOMINFO/02/2018 tentang Jumlah Pengguna Internet 2017 Meningkat, Kominfo Terus Lakukan Percepatan Pembangunan Broadband. Retrieved from https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/12640/siaran-pers-no-53hmkominfo022018-tentang-jumlah-pengguna-internet-2017-meningkat-kominfo-terus-lakukan-percepatan-pembangunan-broadband/0/siaran_pers
Fatimah, K. (2018). Berapa Jumlah Pengguna Internet Indonesia? — Kompas.com. Retrieved from https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-pengguna-internet-indonesia
Muhammad, D., & Stefanie, C. (2018). Membongkar Tugas Utama Badan Siber dan Sandi Negara. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180104075244-20-266603/membongkar-tugas-utama-badan-siber-dan-sandi-negara
Nadila, A. (2017). Ini Hasil Kerja Polri Perangi Kejahatan Siber Sepanjang 2017 — Kompas.com. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2017/12/29/17233911/ini-hasil-kerja-polri-perangi-kejahatan-siber-sepanjang-2017
New UN GGE and open-ended group on cybernorms. (2018). Retrieved from https://dig.watch/updates/un-general-assembly-decides-continue-gge-and-establish-open-ended-group
Polri Harus Antisipasi Kejahatan Siber. (2017). Retrieved from http://www.presidenri.go.id/berita-aktual/polri-harus-antisipasi-kejahatan-siber.html
Rohmah, A. (2014). RI must prepare for demographic bonus. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2014/04/12/ri-must-prepare-demographic-bonus.html
Santoso, A. (2017). Polri Bentuk Direktorat Siber karena Kejahatan Dunia Maya Meningkat. Retrieved from https://news.detik.com/berita/d-3415350/polri-bentuk-direktorat-siber-karena-kejahatan-dunia-maya-meningkat
UN GGE. (2018). Retrieved from https://dig.watch/processes/ungge