Ikonoklasme dalam Pergerakan Black Lives Matter: Simbol Perubahan dan Kesempatan untuk Mencatat Ulang Sejarah
Oleh: Christophorus Ariobumi Praditya, Jasmine Noor Andretha Putri, Kinaryossy Diva Ametishya
Christopher Columbus, Winston Churchill, dan Edward Colston mungkin merupakan nama-nama yang tak-lagi asing terdengar di telinga — terutama atas jasa mereka dalam memahat sejarah dunia barat. Namun, ada benang merah di antara ketiga tokoh tersebut yang memantik para pengunjuk rasa untuk menjatuhkan dan menghancurkan patung mereka pada protes Black Lives Matter (BLM) Juni silam. Mereka dinilai sebagai beberapa tokoh di antara sejumlah aktor lainnya yang menjadi ujung tombak praktik rasisme struktural, segregasi, serta perbudakan ras kulit nonputih dalam membangun sejarah dunia yang pengaruhnya masih kental hingga hari ini. Patung kerap dianggap sebagai perwujudan yang abadi akan sebuah ide di masa lampau dan membuatnya hadir di tengah masyarakat modern (Bromwich, 2020). Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan bukanlah patung tokoh sejarah semata-mata, melainkan ide dan pandangan yang direpresentasikan oleh patung tersebut.
Penurunan patung tokoh-tokoh ini menjadi praktik yang disebut ikonoklasme, sebuah kepercayaan sosial akan pentingnya penghancuran sebuah ikon, gambar atau monumen lainnya, yang didasarkan karena alasan agama atau politik. Praktik ini bukanlah sesuatu yang baru, bahkan dapat dianggap populer sebagai simbol revolusi, dekolonisasi serta pergantian era. Gerakan ikonoklasme saat protes BLM seketika menjadi fenomena global, di mana para pengunjuk rasa menghancurkan, mencoret-coret, ataupun menenggelamkan patung tokoh sejarah yang dianggap membuka jalan rasisme struktural di berbagai belahan dunia. Mulai dari patung Robert Miligan di Inggris, Raja Leopold II di Belgia, hingga vandalisme Troppenmuseum di Belanda menjadi sebuah pesan bahwa supremasi kulit putih mengakar dalam tatanan global, baik terlihat maupun tidak (Oliver, 2020). Gerakan ikonoklasme menuai banyak kontroversi dari masyarakat luas, terutama karena tindakan ini hanya didasarkan oleh amarah dan amuk massa yang bersifat merusak daripada membangun. Namun, jika ditilik lebih dalam, ikonoklasme dapat membuka mata akan kondisi sejarah yang kerap kali tidak menimbang perspektif dari ras yang suaranya dibungkam oleh kemenangan ras kulit putih. Lantas, benarkah gerakan ikonoklasme ini berkontribusi untuk menciptakan tatanan global baru yang bebas dari praktik rasisme?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa bila mengibaratkan tatanan global yang tidak terlepas dari praktik rasisme sebagai gunung es, gerakan ikonoklasme hanyalah puncak dari gunung es tersebut. Namun terlepas dari itu, gerakan ikonoklasme adalah awal yang positif untuk meruntuhkan rasisme sistematis dalam tatanan global yang kita miliki saat ini. Lebih dari sekedar melakukan vandalisme terhadap patung-patung figur historis, gerakan ikonoklasme mengekspos sejarah yang sebenarnya dibalik patung-patung kolonial (Jannesari, 2020). Jika buku-buku sejarah menceritakan kehebatan para figur historis, seperti Miligan dan Churchill mengenai kontribusi mereka terhadap sejarah kehebatan bangsa Inggris di era imperialisme, ikonoklasme menuliskan sejarah baru dengan cara mengekspos praktik rasisme yang dilakukan oleh para figur historis yang jarang dicatat dalam buku sejarah. Dua contoh dari praktik rasisme yang dimaksud adalah Miligan yang melakukan praktik perbudakan terhadap ras kulit hitam dan Churchill yang menentang bangsa Afrika, Australia, Karibia, Amerika, dan India untuk memiliki pemerintahan sendiri, sebab ia mempercayai bahwa imperialisme di koloni-koloni Inggris adalah untuk kebaikan “ras primitif” dan sebagai sebuah “subyek” (Hari, 2010).
Di atas itu, dalam konteks ketidaksetaraan rasial seputar pendidikan, kesehatan, dan penahanan, patung-patung yang memuliakan kehidupan para pemilik budak, seperti Edward Colston di Bristol, Inggris, membuat banyak orang merasa tidak aman, tidak penting, dan tidak disukai (Jannesari, 2020). Maka, meruntuhkan patung-patung ini dapat diartikan sebagai sebuah simbol terbukanya pintu untuk ruang dekolonisasi dan membuatnya lebih mudah diakses oleh orang-orang di luar ras kulit putih, seperti orang-orang pribumi kulit berwarna (BIPOC).
Hal yang juga perlu diingat ialah penurunan dari patung-patung tokoh rasis bukan merupakan akhir dari gerakan ini, melainkan penurunan simbolis ini seperti yang sudah disebutkan, merupakan puncak dari gunung es besar terhadap diskriminasi dan rasisme secara sistemis di berbagai belahan dunia. Patung-patung ini merupakan simbol dari sistem besar dan kompleks yang telah ditegakkan untuk ratusan tahun terhadap supremasi kulit putih (Budds, 2020). Untuk melihat penurunan patung-patung ini sebagai kesuksesan merupakan pandangan yang pendek. Meskipun gerakan dan penghancuran patung bisa menjadi sebuah langkah pertama yang baik, rasisme sendiri tidak akan hilang tanpa adanya perubahan aturan pemerintah yang transformatif. Realitas kelam dari diskriminasi rasial tidak hanya terdapat pada simbol-simbol yang konkret, tetapi juga banyak penurunan rasisme yang tidak secara kasat mata terlihat mempunyai dampak yang besar. Salah satu tujuan dari gerakan ini juga mendorong adanya perubahan secara sistematis di negara melalui kebijakan-kebijakan yang menampung aspirasi BIPOC, yang selama ini kerap dirugikan dalam sistem pemerintahan (Black Lives Matter, n.d.). Dengan mendorong partisipasi aktif dalam proses politik, kebijakan yang akan digunakan untuk mengurangi ketimpangan rasial, seperti kesenjangan ekonomi dan kesempatan untuk bekerja dapat ditetapkan. Untuk saat ini, tanpa dilanjutkan dengan perubahan sistematis, “kesuksesan” dari gerakan ini dengan dirobohkannya patung-patung tersebut belum bisa dirasakan secara sepenuhnya dikarenakan sistem yang telah menegakkan kesenjangan sosial berbasis ras masih terus berjalan di Amerika Serikat (AS).
Salah satu contoh yang paling tampak dari diskriminasi sistemis di AS adalah disparitas rasial dalam COVID-19. Di tengah pandemi COVID-19 yang telah berdampak besar dalam semua aspek kehidupan masyarakat, telah banyak kajian yang menemukan bahwa masyarakat kulit hitam di AS lebih rentan terhadap efek samping dari pandemi ini. Penemuan tersebut menyebutkan bahwa orang kulit hitam di Amerika lebih rentan terhadap virus dan membuat tingkat kematian mereka lebih tinggi dibandingkan ras lain (Ray, 2020). Hal ini salah satunya dikaitkan dengan kesenjangan di dalam sistem kesehatan AS yang tidak setara untuk semua warganya (Taylor, 2019). Selain itu, juga bisa dikaitkan dengan ketidaksetaraan di bidang ekonomi untuk orang kulit hitam di mana kesenjangan upah dan tingkat pengangguran masih sangat tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih. Dampak dari kesenjangan ini sangat terasa di tengah pandemi di mana pekerja kulit hitam lebih banyak bekerja sebagai “essential workers” yang membuat mereka juga rentan terhadap penyakit dan mempunyai tingkat kematian yang tidak proporsional. Dampak ekonomi yang dirasakan orang kulit hitam di saat COVID-19 juga terlihat dari tingginya pengingkatan angka pengangguran dan tingkat kebangkrutan untuk black-owned business (Gould & Wilson, 2020). Semua ini terjadi di tengah gencarnya gerakan BLM dan menunjukkan bahwa kesuksesan dari gerakan ini akan baru dapat ditentukan jika orang kulit hitam mendapatkan keadilan tidak hanya secara simbolis, tetapi juga secara sistematis melalui perubahan sistem politik yang selama ini merugikannya.
Ikonoklasme sejatinya bukan menjadi sebuah gerakan yang mengubah tatanan dunia dan menghilangkan rasisme. Namun, ini bisa membuka mata orang dari seantero bumi untuk lebih peduli akan sejarah yang diciptakan secara parsial. Sebagaimana Soekarno berpesan bahwa merdeka tidaklah cukup, tetapi dekolonisasi pikiran yang harus menjadi prioritas utama. Ikonoklasme pun bukan menjadi agenda utama, melainkan sebagai gerbang pembaharuan akan masyarakat global yang lebih inklusif dan mendengar raungan mereka yang terpinggirkan.
Referensi
Bromwich, J. E., 2020. What Does It Mean to Tear Down a Statue? The New York Times, [online] Available at: <https://www.nytimes.com/2020/06/11/style/confederate-statue-columbus-analysis.html> [Accessed 5 July 2020]
Hari, J., 2010. Not His Finest Hour: The Dark Side Of Winston Churchill. [online] The Independent. Available at: <https://www.independent.co.uk/news/uk/politics/not-his-finest-hour-the-dark-side-of-winston-churchill-2118317.html> [Accessed 6 July 2020].
Jannesari, S., 2020. What Pulling Down Statues Of Slave Owners Tells Us About Fighting Systemic Racism. [online] Global Justice Now. Available at: <https://www.globaljustice.org.uk/blog/2020/jun/11/what-pulling-down-statues-slave-owners-tells-us-about-fighting-systemic-racism> [Accessed 6 July 2020].
Oliver, H., 2020. All over the world, statues of racist historical figures are being toppled. Timeout, [online] Available at: <https://www.timeout.com/news/all-over-the-world-statues-of-racist-historical-figures-are-being-toppled-061020> [Accessed 5 July 2020]
Budds, D., 2020. Racist Statues Are Falling. What Comes Next?. [online] Curbed. Available at: <https://www.curbed.com/2020/6/11/21287126/confederate-statue-racist-monument-removal> [Accessed 6 July 2020].
Black Lives Matter. n.d. BLM’s #Whatmatters2020 Goals And Focus. [online] Available at: <https://blacklivesmatter.com/blms-whatmatters2020-goals-and-focus/> [Accessed 6 July 2020].
Ray, R., 2020. Why Are Blacks Dying At Higher Rates From COVID-19?. [online] Brookings. Available at: <https://www.brookings.edu/blog/fixgov/2020/04/09/why-are-blacks-dying-at-higher-rates-from-covid-19/> [Accessed 6 July 2020].
Taylor, J., 2020. Racism, Inequality, And Health Care For African Americans. [online] The Century Foundation. Available at: <https://tcf.org/content/report/racism-inequality-health-care-african-americans/> [Accessed 6 July 2020].
Gould, E. and Wilson, V., 2020. Black Workers Face Two Of The Most Lethal Preexisting Conditions For Coronavirus — Racism And Economic Inequality. [online] Economic Policy Institute. Available at: <https://www.epi.org/publication/black-workers-covid/> [Accessed 6 July 2020].