Grand Ethiopian Renaissance Dam: Perjalanan Panjang Ethiopia Melawan Hydro-Hegemony Mesir di Sungai Nil

Oleh: Wiweko Rahadian Abyapta

Sungai Nil sebagai sungai terpanjang di dunia dengan panjang mencapai 6.671 kilometer, sudah sejak lama menjadi sumber tensi politik dan konflik berintensitas rendah atau low-intensity conflict (LIC) antara dua negara riparian utama, yaitu Mesir dan Ethiopia. Melalui perjanjian historis di tahun 1929, Britania Raya (penjajah Mesir saat itu) telah memberikan hak absolut atas status quo Mesir untuk mengeksploitasi Lembah Sungai Nil secara eksklusif selama ribuan tahun. Selain itu, perjanjian kolonial tersebut juga memberikan Mesir hak veto atas segala proyek oleh negara-negara di hulu Sungai Nil yang akan memengaruhi ketersediaan air Mesir (Mutahi, 2020). Hal ini tentu saja menyebabkan Ethiopia yang dialiri oleh 86% air di Sungai Nil dari Anak Sungai Nil Biru hanya bisa menikmati beberapa persen air sungai yang tersisa (Swain, 1997).

Sebagai negara yang terlilit kemiskinan dan masih harus berjuang untuk melawan bencana kekeringan parah, Ethiopia tentu beranggapan bahwa perjanjian tersebut sudah tidak relevan dan sangat merugikan. Oleh karenanya, pada tahun 2011, Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi, akhirnya menantang hak akses air historis melalui pembangunan bendungan kolosal bernama Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) yang akan menghasilkan energi listrik sebesar 6.000 megawatt dan kapasitas air 74 miliar meter kubik (Tawfik, 2016). Proyek yang menelan biaya 4,8 miliar Dolar AS ini dimulai pada tahun 2011 dan direncanakan rampung pada tahun 2022. Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan impian Ethiopia sebagai negara berpenghasilan menengah (middle-income country) pada tahun 2020–2023 (Ministry of Finance and Economic Development of the Federal Democratic Republic of Ethiopia, 2010).

Proyek pembangunan GERD yang menjadi sumber kebanggaan nasional Ethiopia merupakan bukti penolakan hydro-hegemony Mesir di Sungai Nil selama beratus-ratus tahun. Proyek GERD ini sepenuhnya didanai oleh Ethiopia sendiri tanpa campur tangan asing untuk menunjukkan bahwa komitmen negara tersebut sudah terbebas dari wabah kelaparan dan ketergantungan terhadap bantuan asing. Ethiopia ingin menunjukkan bahwa negara tersebut tidak akan tunduk pada tekanan eksternal manapun (terutama Mesir) dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri (Zenawi, 2011). Proyek ini juga merupakan sebuah strategi politik dari pemerintah Ethiopia, yang dapat menjadi daya tarik untuk negara kawasan agar bisa bekerja sama dalam hal energi serta membantu meningkatkan sektor perikanan dan pariwisata negara-negara kawasan (Faruki, 2016).

Proyek pembangunan GERD tersebut tentu saja menimbulkan polemik. Presiden Mesir saat itu, Mohamed Morsi, menganggap bendungan tersebut akan mengurangi ketersediaan air secara drastis di Mesir. Perlu diketahui bahwa Mesir menggantungkan 97% ketersediaan air di negaranya kepada aliran Sungai Nil (Sudan warns against escalation in Nile dam dispute, 2020). Oleh karenanya, Mesir turut mengklaim bahwa proyek tersebut dibangun tidak berdasarkan kerangka hukum resmi manapun dan menganggap bahwa proses tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Sebagai negara dengan kekuatan militer dan PDB terbesar di antara negara-negara riparian Sungai Nil lainnya, Mesir yang selalu merasa lebih superior daripada Ethiopia terus melakukan penolakan baik secara internal maupun eksternal (Ministry of Foreign Affairs of the Arab Republic of Egypt, 2014). Demi memproteksi keamanan airnya, Mesir melakukan penolakan terhadap Cooperative Framework Agreement, sebuah kerangka hukum baru yang diratifikasi oleh Ethiopia dan negara-negara riparian lainnya untuk menjamin akses yang adil dan penggunaan yang setara di seluruh wilayah Sungai Nil. Secara terang-terangan, Mesir juga mengancam Ethiopia dengan kekuatan militernya (Di Nunzio, 2013). Pemerintah Mesir turut menolak untuk melakukan diplomasi dan bersikeras menganggap bahwa perjanjian pada tahun 1929 yang melimpahkan hak absolut Mesir atas Sungai Nil harus tetap berlaku (Tawfik, 2016). Tercatat pada masa pemerintahan Presiden Morsi, Mesir dengan Ethiopia sama sekali tidak menemukan solusi dalam permasalahan tersebut.

GERD menyebabkan problematika internasional yang besar karena keengganan Ethiopia dan Mesir untuk bersikap kooperatif. Mesir yang secara tradisional memiliki posisi dominan merasa terancam dengan Ethiopia yang sedang bangkit dari keterpurukan perang saudara dan kemiskinan yang luar biasa. Instabilitas politik dan melemahnya ekonomi Mesir semenjak Musim Semi Arab tahun 2011 juga menjadi sebab keengganan Mesir untuk berkoordinasi dengan Ethiopia. Kemunduran Mesir begitu kontras dengan stabilitas politik dan kemajuan ekonomi pesat yang saat ini dialami oleh Ethiopia. Kebangkitan Ethiopia sebagai kekuatan di kawasan Tanduk Afrika (Horn of Africa) seakan-akan menampakkan kerapuhan Mesir dalam mengatasi situasi pembangunan GERD (Tawfik, 2016). Hal ini juga turut dipertegas oleh pernyataan PM Abiy Ahmed yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menghalang-halangi rencana pemerintah Ethiopia untuk mengisi reservoir GERD pada bulan Juli 2020, baik pandemi COVID-19 maupun Kairo (Zelalem, 2020).

Saat ini, Ethiopia telah bangkit untuk mengubah status quo Mesir dan menjadi kekuatan besar di Sungai Nil melalui kebijakan-kebijakannya yang mengedepankan kerja sama, kesetaraan, serta keterlibatan seluruh negara riparian Sungai Nil baik hulu maupun hilir. Hal tersebut tercermin dari upaya Ethiopia dalam memimpin koalisi hulu dalam memperjuangkan kesetaraan berdasarkan prinsip equitable use dalam meratifikasi Cooperation Framework Agreement (CFA) serta bagaimana konstruksi GERD dapat berkontribusi positif terhadap seluruh negara riparian Sungai Nil dalam memperoleh pasokan energi listrik (Manurung, 2019).

Hingga sekarang, framework hydro-policy tentu menjadi solusi utama atas permasalahan ini. (Wheeler et al., 2016). Keterbukaan Mesir dalam upaya menyelesaikan sengketa yang sudah sejak lama terjadi ini ditunjukkan melalui kedatangan Presiden Mesir, Abdel Fattah Al-Sisi, bertemu Presiden Ethiopia, Mulatu Teshome, yang didampingi oleh Perdana Menteri Hailemariam Desalegn pada 27 Maret 2015. Berbagai upaya juga harus terus-menerus dilakukan untuk mencapai kata sepakat, yang mana baru-baru ini Amerika Serikat turut berusaha memediasi atas konflik ketiga negara tersebut. Mediasi ini diusulkan oleh Presiden Al-Sisi atas persetujuan PM Ahmed untuk menghadirkan mediator pihak ketiga di mana Bank Dunia yang juga turut serta sebagai arbitrator tambahan (Zelalem, 2020).

Dapat diperkirakan bahwa hingga tahun 2022, Ethiopia akan terus melakukan upaya untuk merampungkan konstruksi GERD. Di sisi lain, Mesir akan semakin kehilangan opsi untuk menentang pembentukan agenda hidropolitik oleh Ethiopia, dan perlahan-lahan menurunkan intensitas perlawanannya terhadap Ethiopia dengan mencapai diplomasi yang dianggap dapat menguntungkan masing-masing negara. Ethiopia kemudian dapat segera melakukan pengisian reservoir bendungan sesuai dengan proposal yang diinginkan. Proses tersebut akan mendapat dukungan sepenuhnya dari negara-negara hulu yang juga akan diuntungkan dengan kehadiran GERD. Oleh karena itu, posisi Ethiopia sebagai kekuatan besar di Sungai Nil akan semakin kokoh, dan hal tersebut membuka peluang bagi Mesir untuk menjadi sekutu Ethiopia dalam menciptakan distribusi aliran Sungai Nil yang kooperatif dan adil (Manurung, 2019).

Referensi

Aljazeera.com. 2020. Sudan Warns Against Escalation in Nile Dam Dispute. [daring] Tersedia di: <https://www.aljazeera.com/news/2020/06/sudan-warns-escalation-nile-dam-dispute-200622071520002.html> [Diakses 24 Juni 2020].

Di Nunzio, J., 2013. Conflict On The Nile: The Future Of Transboundary Water Disputes Over The World’S Longest River. Independent Strategic Analysis of Australia’s Global Interests. Dalkeith: Future Directions International.

Faruki, M., 2016. Perubahan Respon Mesir Terhadap Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam Di Sungai Nil Biru Tahun 2011–2015. Sarjana. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Manurung, R., 2019. Analisis Sengketa Sungai Nil : Upaya Ethiopia dalam Melawan Dominasi Mesir di Nil. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

Ministry of Finance and Economic Development of the Federal Democratic Republic of Ethiopia, 2010. Growth and Transformation Plan 2010/11–2014/15. Addis Ababa: Penulis.

Ministry of Foreign Affairs of the Arab Republic of Egypt, 2014. Egypt’s Perspective Towards The Ethiopian Grand Renaissance Dam Project (GERDP). Kairo: Penulis.

Mutahi, B., 2020. Egypt-Ethiopia Row: The Trouble Over A Giant Nile Dam. [daring] BBC News. Tersedia di: <https://www.bbc.com/news/world-africa-50328647?prompt> [Diakses 24 Juni 2020].

Swain, A., 1997. Ethiopia, the Sudan, and Egypt: The Nile River Dispute. The Journal of Modern African Studies, 35(4), pp.675–694.

Tawfik, R., 2016. The Grand Ethiopian Renaissance Dam: a benefit-sharing project in the Eastern Nile?. Water International, 41(4), pp.574–592.

Wheeler, K., Basheer, M., Mekonnen, Z., Eltoum, S., Mersha, A., Abdo, G., Zagona, E., Hall, J. dan Dadson, S., 2016. Cooperative filling approaches for the Grand Ethiopian Renaissance Dam. Water International, 41(4), pp.611–634.

Zelalem, Z., 2020. Ethiopia And Egypt are Pushing Each Other to the Brink in a Battle for Control on the River Nile. [daring] Quartz Africa. Tersedia di: <https://qz.com/africa/1862962/ethiopia-egypt-battle-for-river-nile-grand-dam-without-trump/> [Diakses 24 Juni 2020].

Zenawi, M., 2011. Ethiopian PM Meles Zenawi Speech on Launching the GERD.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet