Dunia dan Jam Kiamatnya: Refleksi Mengenai Politik Global di Tengah Pandemi Melalui Westworld, Watchmen, dan Foundation Series
Oleh: Lazarus Andja Karunia
Pada era Perang Dingin, dengan berbagai penggambaran dan propagandanya, entah mendukung Blok Timur atau Blok Barat atau dalam posisi netral, ada satu simbol yang dapat dikembalikan relevansinya ke masa kini: Jam Kiamat, atau biasa disebut dalam Bahasa Inggris, Doomsday Clock. Jam Kiamat dibuat di awal mula Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat bukan sebagai tolok ukur kontestasi kekuatan aktor-aktor politik internasional, melainkan untuk mencerminkan perubahan dasar ‘tingkat bahaya’ terus-menerus yang mengancam umat manusia (The Southeast Missourian, 1984). Jam tersebut menunjukkan tingkat ancaman kepada umat manusia melalui jarum panjang penunjuk menitnya. Jam tersebut ditunjukkan dekat menuju tengah malam dan tengah malam dilambangkan sebagai penanda kiamat itu sendiri. Jarum menit akan mendekati dan menjauhi tengah malam sesuai dengan kondisi dunia.
Pada awal mulanya, Jam Kiamat utamanya digunakan untuk mengukur ancaman perang nuklir, tetapi dari tahun ke tahun menambahkan perhitungan terhadap beberapa faktor lain, seperti perubahan iklim dan keamanan siber. Estimasi terbaru menunjukkan umat manusia berada seratus menit menuju tengah malam (Bulletin of the Atomic Scientists, 2020), jarak paling dekat sejak penciptaannya di 1974 (ABC News, 2020). Cukup mengerikannya lagi, itu adalah perhitungan yang dikeluarkan pada awal tahun 2020, belum memperhitungkan perkembangan dari pandemi COVID-19 sampai pada tengah tahun.
Secara alamiah, COVID-19 telah menyerap banyak dari pembahasan stabilitas dunia dan keamanan umat manusia. Alih-alih menjadi eratnya kerja sama internasional, justru banyak negara di dunia yang dinilai bertindak dengan kurang memperhatikan dampak jangka panjang dan cenderung hanya memperhatikan kepentingan golongan saja (Cave & Kwai, 2020; Djalal, 2020). Untuk memahami usaha-usaha melawan pandemi berbahaya yang terjadi di dunia, artikel ini akan menggunakan budaya populer untuk membantu menjelaskan interaksi-interaksi tersebut, dengan mengambil perumpamaan-perumpamaan dari kisah-kisah fiktif, yakni Westworld karya Jonathan Nolan dan Lisa Joy, Watchmen karya Alan Moore, dan seri Foundation karya Isaac Asimov. Tentunya akan ada beberan atau spoiler, jadi waspadalah secara proporsional.
Pertama-tama, kita akan membahas suatu ‘karakter’ atau lebih tepatnya plot device di Westworld, yakni Rehoboam: sebuah mesin kecerdasan buatan mutakhir berbentuk bola yang menyerap hampir seluruh informasi di dunia guna membuat ‘strategi’ ideal sesuai kebutuhan tuannya, entah pribadi ataupun pihak kolektif tertentu. Pemilik Rehoboam bahkan memiliki instrumen yang mirip dengan Jam Kiamat yang akan memberitahu apabila ada ‘divergensi’, yakni halangan kepada strategi yang hendak dicapai. Saya berargumen bahwa dalam konteks serial Westworld, Rehoboam sebagai ‘Tuhan’ yang dikontrol — dapat dijadikan penggambaran bagaimana proses pembuatan kebijakan dapat dikontrol dan ditentukan hanya oleh kaum tertentu yang lebih sering merupakan kaum elite. Kebijakan pemerintah dapat dipandang sama seperti strategi-strategi yang dibuat Rehoboam, dan tuannya — menggambarkan kaum egois dan elitis. Hal ini saya rasa mirip dengan tindakan beberapa pemimpin dunia yang lebih memilih kepentingan golongan dan menggunakan ‘strategi’ tertentu yang mengurangi ‘divergensi’ sebisa mungkin — entah itu pembungkaman whistleblower virus COVID-19 oleh pemerintah Tiongkok (Buckley, 2020; Mahbubani, 2020; Xiong & Gan, 2020), agenda politik oleh pihak-pihak tertentu melalui astroturfing guna menolak prosedur medis melawan COVID-19 di AS (Petersman, et al., 2020), atau pemerintah Indonesia yang dianggap beberapa pihak terlalu mengedepankan prioritas ekonomi dalam kondisi melawan pandemi guna mencapai target kesehatan ekonomi yang ditentukan (Rakhmat, 2020; Lubabah, 2020). Rehoboam tentu menggambarkan mentalitas ‘imperatif eksklusif’ ini dengan cukup pas, mengenai bagaimana sebuah kaum yang merupakan bagian kecil masyarakat dapat memengaruhi tujuan banyak orang di tengah pandemi dengan berbagai alasan utilitarian dan teknokrat menggunakan kumpulan kekuatan mereka yang masif, guna memukul mundur Jam Kiamat dengan idealisme mereka.
Kedua, kita akan mengambil inspirasi dari karya Alan Moore, Watchmen, Dr. Manhattan: seorang pahlawan super hasil kecelakaan sebuah eksperimen fisika yang membuatnya menjadi makhluk yang mendekati Tuhan, lengkap dengan sifat maha kuasa — mampu membongkar tank dengan telekinesis sampai menciptakan benda dari kehampaan, dan maha hadir — dari kemampuan meramal sampai mampu ‘berada’ dalam setiap momen hidupnya sendiri dari masa kecil sampai ajal secara bersamaan. Segala sifat ‘ketuhanan’ milik Dr. Manhattan membuat ia sulit untuk dapat berempati kepada umat manusia, kecuali kepada beberapa orang terdekatnya. Kemahakuasaan dan kurangnya empati ini kurang lebih dapat menggambarkan bagaimana aktor-aktor internasional memilih untuk menyimpan kekuatannya untuk dirinya sendiri dan cenderung tidak mau mencari jalan tengah guna memukul mundur Jam Kiamat, seperti pemerintahan Trump yang membeli stok Remdesivir — salah satu obat dalam tahapan awal yang dapat melawan COVID-19 — tanpa menyisakan porsi cukup untuk negara lain (Boseley, 2020), dan bagaimana para pengungsi menjadi orang-orang paling rentan terhadap COVID-19 dikarenakan proses politik negara-negara yang cenderung tidak mau ‘banyak pikir’ tentang nasib mereka (Godin, 2020; Braam & Molnar, 2020; McHugh, 2020). Hal ini membuktikan bahwa ternyata tidak perlu cosplay untuk dapat menirukan pahlawan super.
Pengumpamaan ketiga, ilmu Psychistory dalam Foundation series: ilmu yang menggabungkan sejarah, psikologi, dan matematika untuk memprediksi dan memahami masa depan, entah untuk memprediksi kehancuran umat manusia — seperti runtuhnya pemerintahan intergalaksi, atau mengalkulasi strategi agar terjadi pengurangan terhadap kemungkinan yang buruk yang ada — contohnya memperpendek masa kelam sebuah peradaban intergalaksi menjadi lebih pendek. Ilmu ini ditemukan oleh seorang ilmuan bernama Hari Sheldon, yang memprediksi bahwa akan ada masa kelam selama 30.000 tahun di galaksi. Untuk mengurangi dampak buruknya dan memperpendek masa kelam tersebut, ia menggunakan Psychohistory untuk menciptakan strategi yang diharapkan dapat memperpendek masa tersebut menjadi seribu tahun saja. Strategi yang diformulasikan akan dilaksanakan dalam banyak generasi dan oleh berbagai cendekiawan Psychohistory, melawan berbagai titik-titik berbahaya di masa depan yang dinamakan ‘krisis Sheldon’. Tentu perencanaan masif semacam ini, yang didasarkan dalam kajian ilmiah dan intergenerasional ini dapat mengingatkan kita kepada rencana dan target internasional di dunia nyata, seperti Paris Accords, Millenium Development Goals, ASEAN Community Vision 2025, dan upaya global melawan COVID-19 untuk memukul mundur Jam Kiamat melalui kolaborasi internasional.
Dari ketiga perumpamaan tersebut, saya rasa kita akhir-akhir ini, lebih sering menemukan replika dan praktik yang lebih mengingatkan kita dengan Rehoboam atau Dr. Manhattan daripada Psychohistory. Memang sudah wajar apabila ada Rehoboam — kelompok yang dapat memengaruhi kebijakan, entah secara demokratis atau tidak dan ada Dr. Manhattan — aktor-aktor internasional yang penuh kekuatan namun sepertinya kurang berempati terhadap usaha dan kesengsaraan umat manusia. Sepertinya sedikit yang mengambil hikmah Psychohistory — pengambilan kebijakan yang berorientasi masa depan, kolaboratif, dan berbasis fakta dan ilmu, yang saya rasa sangat perlu dipraktikkan secara konsisten dewasa ini.
Apabila kita tarik kembali ke perumpamaan Jam sekali lagi, kita paham bahwa orang-orang dapat saja memiliki jam yang berbeda — analog, digital, modern, vintage, format 12 jam, atau format 24 jam, tetapi waktu yang diukur adalah sama di seluruh dunia dan sama untuk semua orang. Begitu juga tengah malam Jam Kiamat yang ancamannya menggambarkan bahaya global, berlaku untuk semua. Dengan fokus kepada makna Psychohistory alih-alih Rehoboam atau Dr. Manhattan, harapannya orientasinya akan lebih kolaboratif dan berorientasi jangka panjang, science-based dan dapat membantu menarik mundur jauh jarum Jam Kiamat, seperti yang sudah pernah umat manusia lakukan sebelumnya, berulang, ulang, ulang, ulang, ulang kali sebelumnya.
Referensi
The Southeast Missourian, 1984. The Doomsday Clock. The Southeast Missourian, 1984 Februari.
Bulletin of the Atomic Scientists, 2020. Closer than ever: It is 100 seconds to midnight. Bulletin of The Atomic Scientists, 23 Januari.
ABC News, 2020. Doomsday Clock moves closest to midnight in its 73-year history. ABC News, 24 Januari.
Cave, D. & Kwai, I., 2020. China Is Defensive. The U.S. Is Absent. Can the Rest of the World Fill the Void?. New York Times, 11 Mei.
Djalal, D. P., 2020. World desperately needs cooperation, leadership to beat COVID-19. The Jakarta Post Academia Opinion, Maret 29.
Buckley, C., 2020. Chinese Doctor, Silenced After Warning of Outbreak, Dies From Coronavirus. New York Times, 6 Februari.
Mahbubani, R., 2020. A Wuhan doctor says Chinese officials silenced her coronavirus warnings in December, costing thousands their lives. Business Insider, 13 Maret.
Xiong, Y. & Gan, N., 2020. CNN. This Chinese doctor tried to save lives, but was silenced. Now he has coronavirus, 4 Februari.
Rakhmat, M. Z., 2020. Mengapa Indonesia harus berhenti prioritaskan ekonomi saat pandemi COVID-19: belajar dari negara lain. The Conversation, 20 Mei.
Boseley, S., 2020. guna mencapai target kesehatan ekonomi nasional.. The Guardian, 30 June.
Petersman, S., Levine, K. & Rivers, B., 2020. Revealed: How the US gun lobby exploits the coronavirus pandemic to further its aims. DW.
Godin, M., 2020. Coronavirus Is Closing Borders in Europe and Beyond. What Does That Mean for Refugees?. TIME, 25 Maret.
Braam, D. & Molnar, P., 2020. Refugees at increased risk of coronavirus due to barriers to healthcare. The Conversation, 28 Mei.
McHugh, J., 2020. Migrants, refugees are the human cost of coronavirus politics, experts say. Fortune, 27 Maret.
Lubabah, R. G., 2020. MPR: Rakyat Butuh Keselamatan Jiwa dari Covid-19, RUU Omnibus Law Bukan Prioritas. Merdeka.com, 23 April.