Donald Trump dan Hipokrisi “Cancel Culture”

Dhiah Rizka Raihani

Kemudahan dalam menyampaikan opini di ranah publik melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya, berpengaruh pula pada terbentuknya suatu pola aktivisme baru di dunia maya. Dalam konteks pandemi COVID-19 saat ini, hampir setiap orang lebih banyak melakukan kegiatan di dalam rumah dan meminimalisasi kontak fisik dengan orang lain. Perubahan ini lantas mengharuskan mereka untuk melakukan lebih banyak kegiatan secara daring, khususnya melalui media sosial. Berdasarkan survei yang dilakukan The Harris Poll, sekitar 51% orang dewasa di Amerika Serikat (AS) menggunakan media sosial lebih sering sejak awal pandemi (Samet, 2020). Hal ini kemudian berpengaruh pada meningkatnya aktivisme media sosial, khususnya yang berkaitan dengan “cancel culture”.

Mengutip berbagai sumber, cancel culture dapat diartikan sebagai suatu praktik menarik dukungan untuk “menggagalkan” tokoh masyarakat, perusahaan, dan/atau pihak lain, setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan dan menyinggung. Dalam beberapa tahun terakhir ini, gagasan bahwa seseorang dapat “digagalkan” — atau dengan kata lain diblokir dari memiliki platform di ranah publik — telah menjadi topik perdebatan yang cukup populer (Romano, 2020). Kultur ini memiliki pola dan acap kali terjadi pada selebriti atau tokoh publik lain yang melakukan atau mengatakan sesuatu yang menyinggung, yang kemudian memancing reaksi publik yang cukup hostile, terlebih lagi dibantu dengan kemudahan media sosial untuk menggaungkan amarah tersebut.

Di AS, praktik ini semakin menjadi sorotan setelah dibahas dalam Konvensi Partai Republik (RNC) pada Agustus lalu. Sebelumnya, Sekretaris Pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany, sempat menyatakan bahwa Trump sangat menentang cancel culture karena dianggap bertujuan untuk menghapus sejarah (Rupar, 2020). Dalam RNC, berkaitan dengan diskursus Black Lives Matter (BLM) yang sedang marak, salah satu pembicara utama, Donald Trump Jr., menggarisbawahi dalam pidatonya bahwa dengan menggagalkan tokoh-tokoh yang dianggap mendukung perbudakan dengan menjatuhkan monumen jenderal Konfederasi atau menyerukan penghilangan wajah George Washington dan Thomas Jefferson di Taman Nasional Mount Rushmore, kelompok kiri radikal sedang mencoba untuk melupakan dan tidak menghargai jasa-jasa founding fathers AS. Tokoh Republikan lain, Kimberly Guilfoyle, menekankan bahwa maraknya cancel culture, salah satunya dengan defunding aparat kepolisian, merupakan upaya Demokrat untuk “steal your liberty, your freedom. They want to control what you see and think and believe, so they can control how you live.” (Gontcharova, 2020).

Jean Guerrero, penulis buku Hatemonger: Stephen Miller, Donald Trump, and the White Nationalist Agenda, menyatakan bahwa istilah “cancel culture” kerap dijadikan sebagai upaya menjelekkan kritik terhadap supremasi kulit putih dengan sengaja membalikkan nilai moral kritik tersebut untuk membungkamnya, serta membingkai pendukung ujaran kebencian sebagai korban diskriminasi. Ia juga menyatakan bahwa kultur ini dapat ditelusuri kembali ke masa kejayaan “political correctness”, sebuah istilah yang diadopsi untuk merendahkan oleh kelompok sayap kanan di awal tahun 90-an. Republikan menggunakan cancel culture untuk mengalihkan perhatian dari masalah nyata serta untuk memunculkan “white fear” dengan mengambinghitamkan kelompok kiri sebagai antikebebasan berpendapat sehingga menimbulkan existential threat terhadap demokrasi AS (Gontcharova, 2020).

Dalam pidatonya pada awal Juli 2020 lalu, Trump menggambarkan cancel culture sebagai suatu bentuk totalitarianisme, “One of their political weapons is ‘cancel culture’ — driving people from their jobs, shaming dissenters and demanding total submission from anyone who disagrees. This is the very definition of totalitarianism, and it is completely alien to our culture and our values, and it has absolutely no place in the United States of America.” Pernyataan ini tampaknya menjadi cukup ironis karena sepanjang karier bisnis dan politiknya, Trump telah banyak melakukan berbagai bentuk cancelling, seperti boikot, pemecatan, dan tindakan penggagalan lainnya terhadap pihak-pihak yang dinilai tidak menyenangkan dan merugikan dirinya, mulai dari politisi, akademisi, korporasi, bahkan sesama Republikan dan keluarganya sendiri.

Praktik penggagalan yang dilakukan Trump dapat ditarik kembali ke tahun 2012 ketika ia menyerukan pemecatan editor Vanity Fair, Graydon Carter, yang telah berselisih dengannya selama bertahun-tahun, dan menyatakan bahwa terbitan Carter adalah isu terburuk majalah tersebut (Borchers, 2017). Tidak hanya Vanity Fair, media cetak lain juga sempat menjadi korban penggagalan oleh Trump yang menyerukan unsubscription terhadap mereka, seperti Rolling Stone karena masalah sampul majalah yang memuat teroris Maraton Boston serta New York Magazine karena kicauan editornya yang dianggap menghina pernikahan Trump. Selain itu, media televisi dan daring, khususnya yang mendukung oposisi, juga tidak terlepas dari perhatian Trump. CNBC, CBC News, CNN, bahkan Fox News, menjadi jajaran media yang bermasalah dengan Trump karena berbagai alasan, seperti dianggap kurang kredibel, terlalu memojokkan dirinya, mengkritik kepemimpinannya, dan berbagai alasan lain (Dale, 2020).

Perusahaan-perusahaan dan merek-merek ternama, antara lain Macy’s, Apple, AT&T, Harley Davidson, Starbucks, Oreo, Nike, dan banyak lainnya, juga pernah (dan masih) menjadi target seruan boikot Trump. Macy’s memberhentikan kerja sama bisnis dengan Trump setelah ia melontarkan komentar rasis dan merendahkan terhadap orang-orang Meksiko. Sejak saat itu, perusahaan ritel pakaian ini menjadi pihak yang paling sering mendapatkan seruan boikot oleh Trump melalui banyak kicauan negatif mengenai nilai saham serta tingkat produktivitas perusahaan. Menjelang akhir tahun 2015, Trump beserta pendukung Kristen Evangelisnya menyerukan boikot terhadap Starbucks setelah perusahaan besar tersebut berencana untuk menghilangkan desain ornamen natal pada cup minumannya (Schleifer, 2015). Pada Februari 2016, Trump juga menyerukan boikot terhadap produk-produk Apple setelah perusahaan ini menolak permintaan pemerintah AS untuk mendapatkan akses ke ponsel seorang teroris California yang sudah meninggal dunia (Dale, 2020).

Tidak hanya perusahaan-perusahaan besar, tokoh-tokoh publik, dan bahkan negara, juga pernah menjadi target penggagalan oleh Trump. Dalam konteks pandemi, tokoh yang menjadi targetnya adalah Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), karena berselisih pandangan mengenai kebijakan penanganan Covid-19 di AS. Trump menyerukan tagar #FireFauci dalam kicauan-kicauannya di Twitter, dan baru-baru ini, menyertakan Fauci dalam video kampanyenya tanpa seizinnya (Forgey, 2020). Dalam konteks Perang Dagang, Trump juga menyerukan kepada masyarakat untuk memboikot produk-produk asal Cina dan mendorong mereka untuk berbelanja di Walmart, perusahaan ritel AS. Selain itu, berkaitan dengan ketegangan dengan Meksiko akibat pembangunan tembok perbatasan, produk-produk asal negara tetangga AS ini juga menjadi target Trump. Dalam pelbagai kesempatan, Trump menyerukan kepada masyarakat untuk tidak membeli produk-produk asal Meksiko (Dale, 2020).

Contoh-contoh tersebut hanya beberapa dari puluhan — atau bahkan ratusan — kasus di mana Trump melakukan praktik cancelling terhadap pihak-pihak yang tidak disenangi dan dianggap merugikannya. Hal ini kemudian menjadi ironis karena lagi-lagi, pihak yang paling vokal dalam menentang cancel culture justru memiliki pemimpin, yaitu Trump sendiri, yang paling sering mempraktikkannya sepanjang kariernya. Sejalan dengan perkembangan media sosial pula, Trump lebih banyak melakukan cancelling melalui akun Twitter-nya. Toleh karenanya, tidaklah mengherankan bahwa kemudian Mehdi Hasan, kolumnis senior The Intercept, menyematkan predikat “The King of Cancel Culture” pada presiden AS ke-45 tersebut.

Referensi

Borchers, C., ‘Trump nemesis Graydon Carter is leaving Vanity Fair. Here’s a short (fingered) history of their feud,’ The Washington Post (daring), 7 September 2017, <https://www.washingtonpost.com/news/the-fix/wp/2017/01/06/a-short-fingered-history-of-donald-trumps-feud-with-graydon-carter/>, diakses pada 14 Oktober 2020.

Dale, D., ‘A list of people and things Donald Trump tried to get canceled before he railed against ‘cancel culture’,’ CNN (daring), 7 July 2020, <https://edition.cnn.com/2020/07/07/politics/fact-check-trump-cancel-culture-boycotts-firings/index.html>, diakses pada 14 Oktober 2020.

Forgey, Q., ‘Trump attacks Fauci amid campaign ad feud,’ Politico (daring), 13 October 2020, <https://www.politico.com/news/2020/10/13/trump-anthony-fauci-campaign-ad-feud-429148>, diakses pada 15 Oktober 2020.

Gontcharova, N., ‘The Real Reason Republicans Are Talking About “Cancel Culture”,’ Refinery29 (daring), 26 Augustus 2020, <https://www.refinery29.com/en-us/2020/08/9987812/rnc-cancel-culture-kimberly-guilfoyle-donald-trump-jr>, diakses pada 14 Oktober 2020.

Romano, A., ‘Why we can’t stop fighting about cancel culture,’ Vox (daring), 25 Augustus 2020, <https://www.vox.com/culture/2019/12/30/20879720/what-is-cancel-culture-explained-history-debate>, diakses pada 14 Oktober 2020.

Samet, A., ‘How the Coronavirus Is Changing US Social Media Usage,’ E-Marketer (daring), 29 July 2020, <https://www.emarketer.com/content/how-coronavirus-changing-us-social-media-usage>, diakses pada 14 Oktober 2020.

Schleifer, T., ‘Donald Trump: ‘Maybe we should boycott Starbucks’,’ CNN (daring), 10 November 2020, <https://edition.cnn.com/2015/11/09/politics/donald-trump-starbucks-boycott-christmas/index.html>, diakses pada 14 Oktober 2020.

Rupar, A. (atrupar), ‘Kayleigh McEnany says Trump stands against “cancel culture” which she says “seeks to erase our history.” #wut.’ 30 June 2020. Tweet.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet