Dialog Strategis Indonesia, Australia, dan India: Problem Menghadapi Perubahan Geopolitik di Indo-Pasifik

Oleh Muhammad Irsyad Abrar

Artikel ini adalah bagian dari Foreign Policy in Review 2018, rilis tahunan yang dibuat oleh FPCI chapter UGM yang berisi tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa penting politik luar negeri Indonesia sepanjang satu tahun.

Unduh versi lengkap pdf “Foreign Policy in Review 2018" di http://ugm.id/FPIR2018

Pada 21 September 2018 lalu, pejabat senior dari kementerian luar negeri Indonesia, Australia, dan India menghadiri sebuah dialog strategis di Canberra. Pertemuan ini menjadi yang kedua bagi ketiga negara sejak dialog strategis yang pertama di Bogor pada 29 November 2017. Dalam Indonesia-Australia-India Senior Officials’ Strategic Dialogue, ketiga negara ini berusaha membangun pemahaman dan kerja sama dengan satu sama lain untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di kawasan Indo-Pasifik. Beberapa masalah atau isu yang menjadi perhatian antara lain adalah tatanan kawasan berbasis hukum dan peraturan, keterhubungan dan kerja sama ekonomi, terorisme dan kejahatan transnasional, kerja sama manajemen bencana, keamanan maritim, dan penguatan institusi demokrasi (DFAT Australia, 2017; DFAT Australia, 2018b).

Dari beberapa isu yang dibawakan dalam dialog strategis ini, Indonesia, Australia, dan India memperlihatkan sebuah usaha untuk merespons kenaikan Cina dalam sistem internasional. Pertama, mengenai menjaga tatanan regional berbasis hukum. Selama satu dekade terakhir Cina menegaskan klaim sepihaknya atas sebagian besar Laut Cina Selatan (LCS), di mana perairan ini merupakan global common yang dapat diakses semua negara secara bebas. Saat mahkamah internasional mengeluarkan putusan yang menolak klaimnya, negara ini mengabaikan putusan tersebut dan membangun pangkalan militer di LCS. Hal tersebut menjadi preseden bagi lawan Cina dalam sengketa ini, dan juga dalam kasus lain, untuk melakukan tindakan sepihak pula. Keputusan negara-negara yang terlibat dalam sebuah sengketa untuk bertindak secara sepihak antara satu sama lain dapat mengarah pada eskalasi konflik.

Kemudian terkait penguatan institusi demokrasi. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, Cina memiliki berbagai proyek ekonomi seperti Belt and Road Initiative yang memberikan pinjaman, investasi, dan bantuan pada berbagai negara. Berbeda dengan yang diberikan negara-negara Barat dan Jepang, Cina tidak mensyaratkan standar terkait transparansi, lingkungan, atau reformasi politik dan ekonomi tertentu yang harus dilakukan negara penerima untuk mendapatkan hutang, investasi, atau bantuan darinya (Feigenbaum, 2017: 33). Beijing maka dari itu menjadi alternatif bagi negara-negara dalam sistem internasional untuk mendapatkan bantuan ekonomi, utang, dan investasi yang mudah serta cepat. Hal ini mengarah pada konsekuensi seperti negara penerima merasa tidak memiliki kebutuhan untuk mereformasi sistem ekonomi atau birokrasi mereka yang bermasalah. Konsekuensi yang lain, dan mungkin lebih krusial, dari hal ini adalah negara-negara yang otoriter, represif, atau memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia dapat menghindari sanksi internasional dan maka dari itu tidak perlu melakukan perubahan.

Keberadaan Cina yang berusaha mengubah tatanan regional dan melemahkan institusi demokrasi menjadikan dialog strategis ini penting bagi Indonesia, Australia, dan India. Tatanan regional yang berbasis pada hukum dan peraturan internasional, khususnya terkait LCS dalam hal ini, merupakan hal yang krusial untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Klaim dan tindakan sepihak Cina serta pengabaian terhadap putusan mahkamah internasional, seperti yang dijelaskan sebelumnya, akan mengarahkan negara lain untuk melakukan hal yang sama. Lawan Cina dalam sengketa di Laut Cina Selatan seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei dapat meninggalkan diplomasi dan memilih untuk menggunakan kekuatan militer atau mengundang kekuatan ekstra regional seperti Amerika Serikat ke sisi mereka. Sengketa yang ada kemudian dapat mengalami eskalasi menjadi kontak bersenjata atau, bahkan dalam skenario terburuk, konflik bersenjata.

Situasi tersebut diperparah dengan keberadaan pengaruh ekonomi Cina yang secara tidak langsung melemahkan institusi demokrasi. Kemudahan untuk mendapatkan pinjaman, bantuan, dan investasi akan membuat berbagai negara dengan kecenderungan otoriter untuk bergantung pada Cina sebagai sumber finansial. Ketergantungan ini kemudian akan mengarah pada pengabaian terhadap berbagai tindakan Cina yang sepihak seperti di Laut Cina Selatan atau yang melanggar hukum dan peraturan internasional. Di Indo-Pasifik hal ini diperlihatkan dalam ketiadaan sikap bersama ASEAN untuk merespons klaim dan tindakan sepihak Cina di LCS meskipun sebagian negara anggotanya seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei terlibat dalam sengketa dengan negara tersebut. Ketiadaan sikap bersama ini disebabkan negara anggota seperti Kamboja menolak untuk ASEAN mengeluarkan hal tersebut terhadap tindakan Cina di perairan yang menjadi wilayah sengketa.

Meskipun terdapat urgensi bagi Indonesia, Australia, dan India, pada praktiknya terdapat kesulitan untuk mengembangkan dialog strategis ini menjadi sesuatu yang lebih riil dalam menghadapi Cina secara bersama. Hal ini disebabkan dilema yang dimiliki Indonesia dan Australia untuk berhadapan dengan negara tersebut. Pada kasus Indonesia, negara ini memiliki keinginan untuk bersama dengan negara anggota ASEAN lain menghadapi Cina di LCS, baik untuk menjaga kesatuan ASEAN[1] maupun mempertahankan Laut Natuna Utara dari klaim Cina. Meskipun begitu negara ini enggan untuk berhadapan langsung dengan Cina karena status negara tersebut sebagai salah satu partner dagang dan investor terbesarnya (Abrar dan Syauqi, 2017:25–26; Abrar dan Syauqi, 2018: 9). Hal yang sama juga dihadapi Australia, di mana selama bertahun-tahun negara ini menolak untuk terlibat dalam usaha sekutunya yaitu Amerika untuk menghadapi Cina yang merupakan partner dagang terbesarnya (DFAT Australia, 2018a). Negara ini sering kali lebih memilih untuk tindakan yang independen dari kekuatan lain, baik sekutu utamanya yaitu AS maupun kekuatan netral seperti Indonesia.[2]

[1] Hal ini terdapat kaitannya dengan usaha Indonesia untuk mencegah negara anggota ASEAN seperti Vietnam untuk mendekat ke Amerika Serikat. Sebagai salah satu perancang Zona Damai, Bebas, dan Netral ASEAN, Indonesia berusaha menghindarkan konflik antara Cina dengan sebagian negara anggota ASEAN menjadi bagian dari konflik lebih luas antara Cina dan Amerika. Mengenai hal ini lebih lanjut, lihat Muhammad Irsyad Abrar dan M. Daffa Syauqi A. (2018). “Mempertahankan Tatanan Regional di Asia Tenggara: Keterbatasan dan Opsi Indonesia.” Indonesia Foreign Policy Review 5: 4–19.

[2] Meskipun kebijakan luar negeri Australia pada umumnya berusaha menghindari sesuatu yang dapat menimbulkan respons negatif dari Cina. Dua tahun terakhir Australia terlibat dalam Quadrilateral Security Dialogue bersama dengan Amerika Serikat, Jepang, dan India. Hal ini menarik karena beberapa tahun sebelumnya Australia keluar dari “klub” ini karena Cina memberikan respons negatif terhadap keberadaan kelompok ini di kawasan.

Referensi

Abrar, M.I., dan M. Daffa Syauqi A. (2017). “Hedging sebagai Strategi Indonesia untuk Menghadapi Klaim Cina di Laut Cina Selatan.” Indonesia Foreign Policy Review 4, no. 3: 23–35.

Abrar, M.I., dan M. Daffa Syauqi A. (2018) “Mempertahankan Tatanan Regional di Asia Tenggara: Keterbatasan dan Opsi Indonesia.” Indonesia Foreign Policy Review 5: 4–19.

DFAT Australia. (2018a). “AUSTRALIA’S TOP 10 TWO-WAY TRADING PARTNERS.” https://dfat.gov.au/trade/resources/trade-at-a-glance/Pages/default.aspx.

DFAT Australia. (2018b). “Second Indonesia-Australia-India Senior Officials’ Strategic Dialogue, Canberra, Australia.” https://dfat.gov.au/news/media/Pages/second-indonesia-australia-india-senior-officials-strategic-dialogue-canberra-australia.aspx.

DFAT Australia. (2017). “The first Indonesia-Australia-India Senior Officials’ Strategic Dialogue, Bogor, Indonesia.” https://dfat.gov.au/news/media/Pages/the-first-indonesia-australia-india-senior-officials-strategic-dialogue-bogor-indonesia.aspx.

Feigenbaum, E.A. (2017). “China and the World: Dealing With a Reluctant Power.” Foreign Affairs 96, no. 1: 33–40.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet