[CFE 2022] Persuasif & Represif: Upaya Penyelesaian Konflik Separatisme di Bumi Pertiwi

Oleh: M. Arifin Ilham

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman. Keberagaman ini merupakan implementasi dari semboyan bangsa Indonesia sendiri, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Meski demikian, keberagaman yang telah ada tidak serta merta menjadi pemersatu segenap elemen masyarakat. Banyak problematika dan konflik sosial muncul akibat perbedaan yang ada. Konflik sosial kerap kali terjadi antara dua pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda. Jika konflik ini tak kunjung diselesaikan, maka akan menyebabkan permasalahan lainnya seperti separatisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Separatisme adalah suatu paham yang mengambil keuntungan dari pemecah-belahan dalam suatu golongan bangsa. Gerakan ini muncul akibat ketidakpuasan masyarakat maupun segelintir kelompok tertentu terhadap pemerintah pusat atau daerah dalam mengambil kebijakan serta memberikan keadilan dalam permasalahan kemanusiaan. Gerakan separatisme merupakan ancaman serius bangsa yang harus segera diselesaikan karena mengancam persatuan dan integritas nasional.

Salah satu gerakan separatis yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan bangsa adalah gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan ini didirikan pada tahun 1965 dengan tujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian Barat dari NKRI. Gerakan separatis ini semakin berbahaya setelah diketahui ada keterlibatan Australia dan Vanuatu dalam mendukung independensi Papua dari NKRI. Selain dapat menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan material dalam jumlah besar, campur tangan dari kedua negara tersebut juga mampu memperburuk hubungan internasional antara Indonesia dan Australia serta Vanuatu sendiri.

(Kemenlu, 2017) menyatakan bahwa Vanuatu menjadi negara yang paling vokal dan tegas menyatakan dukungannya terhadap gerakan Papua Merdeka (OPM). Vanuatu membentu ULMWP (United liberation Movement for West Papua) serta menarik dukungan dari negara-negara pasifik untuk mendukung kampanye papua merdeka dengan memanfaatkan organisasi MSG (Melanesian Spearhead Group) yang digagas atau dibentuk sendiri oleh Vanuatu. Dukungan dan upaya memerdekakan Papua oleh Vanuatu sendiri dilakukan atas persamaan etnis yang sangat erat, yaitu Melanesian Connection.

Selain melalui pembentukan organisasi-organisasi, dukungan Vanuatu terhadap Papua Merdeka juga diaktualisasikan melalui berbagai forum lembaga internasional, seperti PBB. Dalam sidang Tahunan Majelis Umum PBB ke-71 di New York, Amerika Serikat tanggal 27 September 2016, contohnya, Vanuatu menyampaikan keprihatinan atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua dan menyerukan pembebasan bagi West Papua untuk menentukan nasib sendiri (Rappler 2022). Selanjutnya, dilansir (Rahman 2022) di sidang Dewan HAM PBB di Swiss, tanggal 3 Maret 2017, Vanuatu membacakan isi pidato atas nama tujuh negara kepulauan di kawasan Pasifik yang berisi desakan kepada PBB untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia di Papua.

Melalui kasus di tanah Papua ini dapat dikatakan bahwa ketidakadilan sosial kini telah menyebabkan adanya gerakan separatisme yang merupakan salah satu masalah utama bangsa yang dapat mengancam integrasi dan persatuan. Masalah yang bermuara dari ketimpangan sosial akibat pengimplementasian dari keadilan sosial yang tidak sempurna ini menimbulkan perasaan dendam serta kecemburuan dari kelompok-kelompok yang merasa tertindas dan berefek pada hilangnya persatuan serta tekad bersama untuk bersatu sebagai sebuah bangsa, yakni bangsa Indonesia.

Ancaman terhadap integrasi bangsa seperti ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Berangkat dari Suryawasita (1998), bahwa fokus utama dari asas keadilan sosial adalah perhatian dan/atau kepedulian terhadap nasib anggota masyarakat yang terbelakang, maka terhadap anggota masyarakat yang terbelakang inilah fokus perhatian diberikan, sehingga mereka juga tetap dapat merasakan keadilan sosial sebagai bagian dari bangsa Indonesia (Suryawasita,1998). Keadilan dan persatuan di Indonesia haruslah mengacu pada sikap peduli yang seimbang, bukan hanya terfokus pada salah satu bagian atau wilayah saja. Redistribusi sumber daya kesejahteraan yang merata oleh negara sebagai agensi publik perlu diperhatikan dan diimplementasikan dengan lebih sempurna (Bagir, dkk.,2011). Belum selesai sampai disitu, pemerintah juga memberlakukan dana Otsus (Otonomi khusus) sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua. Meski demikian, penerapan Otsus ini malah membuat masalah semakin melebar disebabkan penerapan dan alokasinya yang kurang merata serta adanya dugaan penguasaan oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah pusat. Untuk itulah, pemerintah terus berusaha untuk mengoptimalkan alokasi dana Otsus melalui serangkaian regulasi yang diubah seperti perubahan terhadap UU no. 21 tahun 2001 serta melakukan evaluasi atau penilaian objektif terhadap pelaksanaan dari perubahan UU tersebut. Tindakan evaluasi itu diwujudkan dalam bentuk pendekatan-pendekatan, baik pendekatan antar pemangku kepentingan dengan menjalin koordinasi yang strategis melalui cara-cara sinergis dalam mengevaluasi segala kekurangan yang ada di berbagai sektor, yaitu sektor politik, ekonomi hingga sosial-budaya. Pendekatan itu juga dilakukan dengan penerima manfaat, yakni masyarakat Papua dengan berbagai aspirasi dan keluhannya. Sehingga diharapkan dengan adanya evaluasi melalui pendekatan-pendekatan tersebut, tidak ada lagi demonstrasi massa yang bermaksud masih adanya ketimpangan alokasi dana Otsus tersebut.

Selain melalui usaha peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta penerapan Otsus sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam membangun ekonomi Papua, pemerintah juga harus mengedepankan upaya konsiliasi dan diplomasi dengan para kaum-kaum yang tertindas dan juga kepada negara-negara yang mendukung jalannya kemerdekaan Papua Merdeka, yakni Vanuatu dan Australia sebagai wujud dari politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Selain itu, adanya konsiliasi serta diplomasi antara Vanuatu dan Australia tersebut juga merupakan sebuah aktualisasi dari penyelesaian konflik secara damai, adil dan transparan yang terus diperjuangkan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Akan tetapi, jika upaya diplomasi ini tetap tidak menemukan titik temu antara pihak-pihak identitas dengan pemerintah serta terus merongrong persatuan bangsa, maka pemerintah bisa mengambil langkah militer sebagai upaya penanganan yang terakhir.

Profil penulis

Muhammad Arifin Ilham adalah seorang siswa MAN 1 Banda Aceh yang memiliki ketertarikan yang sangat besar dalam isu politik dan hubungan antarnegara dalam kancah percaturan internasional. Ketertarikan ini membuat penulis terdorong untuk mengikuti event ini yang bertujuan untuk mengasah kemampuan penulis dalam memahami sekaligus memecahkan berbagai persoalan sosial kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Essay ini dibuat dengan menyajikan argumen pribadi penulis disertai berbagai fakta dan rujukan dari sumber-sumber lain tanpa menjiplak baik sebagian maupun keseluruhannya.

Referensi

  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1998. Hal. 210.
  2. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), 1995. “Joint Communique Concerning the Establishment of Diplomatic Relations Between the Republic of Indonesia and the Republic of Vanuatu” [online]. dalam http://treaty.kemlu.go.id/apisearch/pdf?filename=VUT-1995- 00001.pdf [diakses 1 Maret 2017]..
  3. Rappler, 2016. “Pelanggaran HAM di Papua diungkit kembali di Sidang majelis Umum PBB ke-71”, Rappler, 02 Oktober [online]. dalam https://www.rappler.com/world/147970- pelanggaran-ham-papua-sidang-umum-pbb/ [diakses 1 Maret 2017]..
  4. Rahman, Mustofa Abd, 2017. “Politisasi Isu HAM di Papua, Vanuatu didesak Fokus Masalah HAM Sendiri.” Kompas, 02 Maret [online]. dalam https://internasional.kompas.com/read/2017/03/02/21030521/politisasi.isu.ham.di.papua.vanuatu. didesak.fokus.masalah.ham.sendiri[diakses 7 September 2017]..
  5. Suryawasita, A. (1989). Asas Keadilan Sosial. Yogyakarta: Kanisius
  6. Bagir, Z. A., Dwipayana, A., Rahayu, M., Sutanto, T., & Wajidi, F. (2011). Pluralisme Kewarganegaraan. Bandung: Mizan.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM