[CFE 2022] Membedah Landasan Politik “Bebas-Aktif” Sebagai Kunci Keberhasilan Presidensi G20 Indonesia Menjembatani Penyelesaian Konflik Rusia-Ukraina

Oleh: Oktavianus Bima Saputra

Pada hakekatnya, presidensi Indonesia di forum G20 dapat menjadi katalisator bagi pemulihan ekonomi-politik dunia pasca disrupsi pandemi COVID-19. Selaras dengan tema utama bertajuk “Recover Together, Recover Stronger”, pemerintah Indonesia nampaknya hendak mengaksentuasi pentingnya aspek persatuan negara- negara sebagai kunci terbentuknya stabilitas. Dalam berbagai kesempatan pula, Presiden Joko Widodo telah menekankan bahwasanya kepemimpinan Indonesia akandilandaskan pada semangat inklusivitas yang mengadvokasikan kepentingan semuanegara, termasuk negara-negara rentan dan berkembang (Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, 2022). Meski begitu, berkaca pada perkembangan situasi hari ini, langkah Indonesia nampaknya harus terhambat dengan berkecamuknya konflik antaraRusia dan Ukraina di tanah Eropa. Sebagai pemegang kursi presidensi, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk memproyeksikan landasan politik luar negeri “bebas-aktif” nya sebagai jalan ideal untuk menciptakan perdamaian. Lantas, bagaimanakah landasan politik luar negeri ini mampu membantu Indonesia menavigasi forum yang terpecah karena agresi? Penulis melihat bahwasanya landasanyang dibawa oleh Indonesia mampu mengamplifikasi signifikansi pelaksanaan diplomasi damai berbasis inklusivitas yang dapat membawa stabilitas dalam forum perekonomian dunia. Untuk mengelaborasi pendapatnya, penulis akan terlebih dahulu menjabarkan landasan politik luar negeri “bebas-aktif” milik Indonesia, mengomparasikannya dengan langkah-langkah diplomasi damai Indonesia dalam konflik Rusia-Ukraina, dan menjabarkan peluang-peluang yang mampu dimanfaatkan oleh presidensi Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa.

Narasi “Bebas-Aktif” dan Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia

Dalam dinamika relasi negara-negara di dunia, landasan politik tentu berperan penting untuk membentuk persepsi dan pola tindakan negara. Menimbang sisi historis penuh penindasan yang dialami Indonesia, pola politik luar negeri kita cenderungdidasarkan pada upaya untuk memproyeksikan keberpihakan negara pada perdamaian dan inklusivitas. Praktis, landasan yang ada berbicara banyak tentang keinginan negara untuk merangkul semua pihak demi menciptakan perdamaian. Menilik retorika Hatta (1976), politik luar negeri Indonesia harus mampu memberikan ruang bagi negara untuk bertindak sebagai katalisator perdamaian dan stabilitas, alih-alih hanya terjebak sebagai obyek dalam pertikaian antarnegara. Pada akhirnya, landasan politik luar negeri yang ada memungkinkan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya lewat kerja sama dengan negara-negara dunia tanpa terhalang batasan keanggotaan blok atau pakta pertahanan.

Narasi “bebas-aktif” ini pun tidak dapat semerta-merta didaulat sebagai peluang Indonesia untuk bertindak netral dalam penyelesaian konflik antarnegara. Sedikit banyak, Indonesia telah berusaha untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik dan proses rekonstruksi perdamaian antarnegara. Premis ini dapat dibuktikan lewat misi diplomatik ke Moskow dan Kiev yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu silam. Dalam lawatan ini, Indonesia membawa obyektif untuk mengakhiri konflik diantara dua negara dan memperbaiki jalur perdagangan makanan yang terdisrupsi oleh konflik (Emont, 2022). Secara langsung pula, Indonesia telah menawarkan dirinya sebagai jembatan komunikasi untuk kedua belah pihak. Dapat kita lihat bahwasanya cara Indonesia untuk mencari penyelesaian konflik dilakukan lewat pelibatan kedua pihak tanpa memihak salah satu sisi. Lewat upaya ini, Indonesia pun dapat mengoptimalisasi peran mereka sebagai katalisator perdamaian.

Di sisi lain, landasan politik luar negeri ini turut dibentuk oleh status Indonesia sebagai negara berkembang yang secara perlahan memiliki peran signifikan pada percaturan politik-ekonomi dunia. Berkenaan dengan premis ini, Indonesia pun secara aktif berdiplomasi dengan kedua belah pihak bertikai agar konflik tidak memicu keruntuhan ketahanan pangan di negara-negara rentan dan berkembang. Dalam tulisannya, Glauber dan Laborde (2022) mencatat bahwasanya Rusia dan Ukraina memegang 12% perdagangan makanan di dunia, terutama komoditas gandum dan minyak. Menilik signifikansi kedua negara, tentu permasalahan pangan harus menjadi prioritas penyelesaian agar nyawa jutaan manusia tidak terancam akibat kelaparan. Dari praktek diplomasi lewat misi diplomatik, dapat kita lihat bahwasanya Indonesia, melalui narasi “bebas-aktif” nya, turut menggabungkan citra negara berkembang agar posisi presidensi dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan. Tentu, terdapat peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia agar dapat mempertahankan basis politik luar negeri ini ditengah maraknya pemihakan. Untukitu, penulis akan menjabarkan problematika ini pada bagian selanjutnya.

Peluang dan Tantangan “Bebas-Aktif” dalam Presidensi G20

Secara sederhana, G20 merupakan forum ekonomi dunia yang secara kolektif merepresentasikan 65% penduduk dunia, 79% perdagangan global, dan sekitar 85% perekonomian dunia (Sherpa G20 Indonesia, n.d). Menilik eratnya korelasi politik dan ekonomi, peran forum ini tentu memiliki andil yang cukup besar dalam dinamika relasi negara-negara di dunia. Berkaca pada isu representasi pula, forum G20 ini tersusun atas negara maju dan berkembang yang seyogianya memiliki perbedaan kepentingan. Komposisi ini menghadirkan tantangan tersendiri bagi para pemegang presidensi yang secara tak langsung ikut menentukan jalannya perekonomian dunia selama beberapa waktu kedepan. Tak cukup isu pemulihan pasca pandemi, presidensi Indonesia turut dihadapkan pada perpecahan narasi akibat invasi semena-mena Rusiake Ukraina beberapa waktu kebelakang. Lalu, bagaimana Indonesia dapat menggunakan landasan “bebas-aktif” nya guna mengembalikan stabilitas?

Secara langsung, serangan ini berimplikasi pada perpecahan forum menjadi dua kelompok besar yang masing-masing dipimpin oleh Amerika Serikat dan Rusia. Indonesia, sebagai pemegang kursi presidensi, tentu harus mencari cara agar reunifikasi dapat tercapai kembali. Urgensi pun semakin meningkat apabila kita menilik aksi walk-out Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, pada pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Bali beberapa waktu silam yang menjadi tanda putusnya kesempatan bernegosiasi. Bak gayung bersambut, ancaman yang sama juga dilontarkan oleh negara-negara Barat pada pertemuan G20 mendatang di Washington. Berkaca pada signifikansi forum pada pergerakan ekonomi dunia, instabilitas akibat polarisasi tentu bukanlah hal yang dapat ditolerir.

Mengambil narasi “bebas-aktif” dan citra negara berkembang yang dimiliki, Indonesia pun memiliki potensi untuk mengubah arah pembicaraan forumagar berfokus pada penyelesaian pertikaian. Perubahan narasi ini juga dapat menguntungkan negara rentan dan berkembang yang nasibnya termarjinalkan akibat serangan. Langkah Indonesia dapat dimulai dengan menjembatani komunikasi kedua negara berkonflik sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kepentingan selain menciptakan perdamaian. Secara bebas, Indonesia dapat bertukar pikiran dengan kedua polar dan mempertemukan keinginan mereka. Dalam forum G20 pun, Indonesia dapat memobilisasi dukungan negara-negara diluar konflik yang memiliki tujuan serupa. Alih-alih mengeksploitasi kemenangan militer dan politik, Indonesia dapat mengamplifikasi urgensi penegakan HAM dan stabilitas ekonomi sebagai tujuan berdiplomasi.

Tentu, ditengah polarisasi yang terjadi, menjadi katalisator perdamaian bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Indonesia dihadapkan pada tugas besar untuk menciptakan perdamaian ditengah rendahnya dukungan dari kedua kelompok bertikai. Namun, ketidakmampuan Indonesia untuk berdiri sebagai subyek dalam usaha penyelesaian konflik ini dapat berujung pada konflik yang berkepanjangan dan dalam prosesnya turut mengancam survivalitas negara rentan dan berkembang. Dapat kita katakan bahwasanya Indonesia harus mampu untuk mengimplementasikan tema“Recover Together, Recover Stronger” yang menekankan inklusivitas dan partisipasi aktif ke dalam forum G20, utamanya untuk merangkul kembali pihak-pihak yang memiliki perbedaan kepentingan. Berkaca pada perkataan Angelo Wijaya, dalam Llewellyn (2022), aspirasi ini memang menjadi pekerjaan rumah Indonesia untuk memperjuangkan kolektivitas G20 dan tidak membiarkan aspek inklusivitas hilang dari nilai utama forum perekonomian.

Kesimpulan

Polemik serangan Rusia terhadap Ukraina telah menimbulkan fragmentasi dan instabilitas politik-ekonomi dunia yang harus dicari penyelesaiannya oleh Indonesia sebagai pemegang presidensi G20. Dalam prosesnya, Indonesia pun turut dihadapkan pada tantangan layaknya absensi dukungan dan polarisasi yang semakin kentara seiring berkecamuknya perang di tanah Eropa. Indonesia memiliki acuan penyelesaian yang telah terangkum dalam ide “bebas-aktif” yang sejak kelahirannya mendorong Indonesia untuk berperan aktif guna menciptakan perdamaian. Ketidakberpihakan yang dimiliki oleh Indonesia dapat menjadi faktor penting yang memungkinkan Indonesia untuk mempertemukan aspirasi kedua polar. Langkah misi diplomatik yang dilakukan beberapa waktu kebelakang lewat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kiev dan Moskow telah membuktikan komitmen Indonesia untuk menegakkan prinsip politik luar negeri mereka. Terseret arus keberpihakan adalah sesuatu yang harus dihindari oleh Indonesia mengingat masifnya dampak perang terhadap kesejahteraan masyarakat di negara rentan dan berkembang. Sebagai rising power dalam percaturan politik-ekonomi dunia dan pemegang presidensi di salah satu forum paling berpengaruh di dunia, Indonesia harus mampu untuk menjaga inklusivitas peningkatan kesejahteraan hingga ke negara yang masih rentan akan instabilitas ekonomi. Keberhasilan Indonesia untuk merespons implikasi perang tentu akan berdampak baik bagi citra kepemimpinan Indonesia dan bagi proses rekonstruksi perdamaian yang baru dapat dilakukan selepas tercapainya kesepakatan antara Kiev dan Moskow.

Profil Penulis:

Oktavianus Bima Saputra adalah mahasiswa aktif ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang memiliki ketertarikan untuk mendalami dunia diplomasi Indonesia. Tahun pertamanya di salah satu institusi terbaik Indonesia telah membangkitkan ketertarikannya untuk membedah kausalitas politik-ekonomi domestik dengan kebijakan negara di dunia internasional. Ia melihat bahwasanya G20 telah memberikan Indonesia sebuah panggung untuk mengamplifikasi pengaruhnya di mata dunia. Meski begitu, sejalan dengan sikap skeptis yang harus dimiliki oleh setiap akademisi, ia memandang bahwasanya panggung ini dapat membawa petaka apabila Indonesia gagal untuk mempertahankan narasi “bebas-aktif” ditengah maraknya polarisasi aktor-aktor dunia.

Referensi

Emont, J. (2022, June 30). Indonesia’s Jokowi Visits Ukraine and Russia, Warning FoodCrisis Looms. Wall Street Journal. https://www.wsj.com/articles/indonesias-jokowi- visits-ukraine-and-russia-warning-food-crisis-looms-11656613955

Glauber, J., & Laborde, D. (2022). How will Russia’s invasion of Ukraine af ect global foodsecurity? Ifpri.org. https://www.ifpri.org/blog/how-will-russias-invasion-ukraine- affect-global-food-security

Hatta, M. (1976). Mendayung antara dua karang. Jakarta Bulan Bintang.

Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. (2022). Indonesia Promotes Spirit To Recover Together In The 2022 G20 Presidency | Portal Kementerian Luar Negeri RepublikIndonesia. Kemlu.go.id. https://kemlu.go.id/portal/en/read/3288/berita/indonesia- promotes-spirit-to-recover-together-in-the-2022-g20- presidency#:~:text=As%20such%2C%20the%20Indonesian%20G20

Llewellyn, A. (2022). “Not G19”: Why Indonesia won’t bar Russia fromthe G20. Www.aljazeera.com. https://www.aljazeera.com/news/2022/4/22/not-g19-whyindonesia-wont-bar-russia-from-the-g20

Sherpa G20 Indonesia. (n.d.). Sejarah Singkat G20. Sherpag20indonesia.ekon.go.id. https://sherpag20indonesia.ekon.go.id/sejarah-singkat-g20

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet