Building Bridges: Indonesia and The Infrastructure ‘Cold War’.

oleh: Lintang Subiyantoro

Dalam panel diskusi yang di arahkan oleh Prof. Gordon Flake yang merupakan CEO dari Perth USAsia Centre, membahas mengenai ‘perang dingin’ yang terjadi dalam pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam panel diskusi ini terdapat enam pembicara yang masing-masing merupakan seorang ahli di bidangnya masing-masing, seperti Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin yang merupakan Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur, selanjutnya juga terdapat Ny. Tang Qifang yang merupakan Associate Research Fellow, Departemen untuk Kajian Internasional dan Strategis, China Institute for International Studies. Selanjutnya merupakan Dr. Sae Chi yang merupakan Research Associate, Planning and Transport Research Centre, University of Western Australia. Dr. Tomoo Kikuchi yang merupakan Adjunct Senior Fellow, S. Rajaratnam School for International Studies (RSIS). Selanjutnya merupakan orang Indonesia yang merupakan kandidat Ph.D, di University
of New South Wales yakni Rainier Haryanto. Dan yang terakhir adalah Trissia Wijaya yang juga merupakan kandidat Ph.D di Murdoch University.

Panel diskusi yang berada di ruang Grenada ini tidaklah begitu ramai, dan mayoritas diisi oleh usia menengah ke atas. Dalam panel ini membahas tentang persaingan secara terselubung dalam rangka memenangkan proyek untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia oleh negara- negara maju, spesifiknya membahas persaingan Jepang dengan China dalam kasus pembangunan kereta cepat di Indonesia. Dua negara adidaya yang bersaing teknologi serta harga untuk menunjukkan tajinya di dunia internasional ini memang merupakan topik hangat untuk dibahas sejak pemerintah Indonesia berencana membangun jalur kereta cepat lagi di periode ke dua Presiden Joko Widodo.

Banyak yang bertanya, apakah dampak dari tergabungnya Indonesia dalam persaingan kedua negara tersebut? Apa dampak jika Indonesia memiliki banyak hutang untuk pembangunan terhadap China? Apakah dengan bekerja sama tersebut membawa dampak baik ke pemerintahan Indonesia? Atau sebaliknya hanya membawa untung bagi China dan merugikan Indonesia secara tidak di sadari.

Terlebih lagi, yang menjadi salah satu fokus permasalahan adalah persaingan ekonomi antara China dengan U.S yang sangat mengkhawatirkan karena dianggap sebagai ‘perang dingin’ jilid 2 yang terjadi di dunia internasional, akankah membawa dampak buruk bagi Indonesia jika pemerintahannya terlalu condong ke China sehingga dianggap sebagai aliansi. Karena ditakutkan jika tidak berhati-hati maka Indonesia sendiri juga akan tersandung dalam perang dagang yang sedang berlangsung.

Dalam panel diskusi ini dijelaskan oleh para ahli tersebut bahwa hutang yang dilakukan oleh Indonesia kepada China tersebut merupakan B to B, yakni dari perusahaan di China terhadap perusahaan di Indonesia. Tidak seperti yang terjadi di negara lain yang merupakan G to G, yakni Pemerintah ke pemerintah. Hal tersebut dianggap aman untuk dilakukan karena yang melakukan hutang adalah perusahaan nasional yang sahamnya sudah dibuka untuk publik, jadi tidak akan merugikan pemerintah sama sekali. Yang ada malah pemerintah Indonesia diuntungkan dengan pola bisnis seperti itu dengan catatan tetap memperhatikan kemampuan bayar, agar perusahaan nasional yang ada di Indonesia tidak collapse dalam rangka membayar hutang tersebut. Sehingga Gross Domestic Product (GDP) Indonesia tetap bisa berjalan dengan semestinya. Ketakutan akan inflasi jika Indonesia terlalu banyak hutang juga sudah tidak perlu begitu diutamakan karena pada prinsip bisnis ini sama sekali tidak akan merugikan pemerintah.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet