Belajar dari Peperangan: Konflik Taliban dan Kesempatan bagi Kestabilan Afghanistan

Penulis: Darline Lanek

Ketika berbicara mengenai kelompok Taliban, pembaca akan mengasosiasikannya dengan konsep terorisme. Popularitas Taliban kian melejit, terutama pascainsiden 11 September 2001 atau 9/11 di Amerika Serikat. Taliban diketahui memiliki hubungan spesial yang dijalin dengan Al-Qaeda. Peristiwa 9/11 mengakibatkan kurang lebih 3.000 orang tewas (Hoffman, 2002 dalam Byman, 2005). Dengan jumlah korban jiwa yang banyak, Presiden Amerika Serikat George W. Bush menyatakan perang global melawan terorisme—sekaligus menjadikan Taliban dan Al-Qaeda sebagai target—pada tanggal 18 September 2001 (The U.S. War in Afghanistan, 2021). Pernyataan perang ini tidak hanya berdampak kepada Taliban dan Al-Qaeda, tetapi hal ini turut menyeret kestabilan Afghanistan sebagai negara basis operasi kedua kelompok tersebut. Bahkan, negara-negara tetangga Afghanistan seperti Pakistan terlibat dalam konflik Taliban-AS, dan kelunturan pengaruh Taliban di Afghanistan pada tahun 2004 justru melahirkan masalah baru bagi masyarakat internasional: jaringan teroris yang lebih kecil dan tersebar untuk membuat penyebaran pengaruh ideologinya lebih mudah. Oleh sebab itu, perang global melawan terorisme yang diusulkan Bush justru memicu kekerasan yang lebih luas di dunia.

Saat ini, keyakinan AS untuk menarik seluruh pasukannya dan mengakhiri peperangan Taliban-AS akhirnya terwujud dalam pemerintahan Biden. Dengan kepercayaan dan kontinuitas AS untuk memberikan bantuan finansial dan militer kepada pemerintahan Afghanistan, AS mendukung pemberantasan aktivitas terorisme, mengukuhkan niatnya untuk menarik pasukan militernya dari Afghanistan, dan meningkatkan optimisme kepada upaya perjanjian perdamaian yang akan terjalin dengan Taliban (The U.S. War in Afghanistan, 2021). Melihat momentum ini, sudah seharusnya seluruh pihak yang terlibat untuk berupaya semaksimal mungkin agar proses perdamaian dapat terealisasikan tanpa ada pihak yang melanggar kesepakatan.

Al-Qaeda merupakan sumber daya untuk melanggengkan eksistensi Taliban—dengan Taliban yang sangat bergantung kepada bantuan finansial dan militer yang disediakan Al-Qaeda dan, sebaliknya, memberikan tempat perlindungan bagi Al-Qaeda yang sedang memupuk kekuatan untuk mencapai tujuannya berjihad untuk mengangkat nama Islam dari penindasan barat dan menaklukan rezim Islam yang korup (Byman, 2005; Ibrahimi & Akbarzadeh, 2019). Perlu diketahui bahwa awal mula kesempatan Al-Qaeda untuk menjalin hubungan dengan Taliban didasari oleh keterbukaan Afghanistan terhadap organisasi Islam yang memperjuangkan hak-hak Afghanistan pasca-invasi Uni Soviet 1979 (Byman, 2005). Pada awalnya, Al-Qaeda muncul di Afghanistan sekitar tahun 1998, dan organisasi yang didirikan oleh Abdullah Azzam beserta Osama bin Laden ini bertujuan untuk wadah perkumpulan dari pejuang Muslim yang datang ke Afghanistan (Byman, 2005). Sejak kematian Azzam yang memulai kepemimpinan Osama, Al-Qaeda justru berubah haluan menjadi organisasi yang lebih ekstrim dan idealis dalam memperjuangkan tujuannya—salah satunya pertentangan terhadap Amerika Serikat sang hegemon tunggal karena membela Israel (Anonymous, 2002 & Bergen, 2001 dalam Bymann, 2005). Menyadari keterbatasan Taliban dalam aspek finansial dan organisasional untuk membela dirinya, Al-Qaeda hadir dan mempengaruhi stigma berpikir internal kelompok Taliban, terutama pemimpin Taliban. Secara perlahan-lahan, Al-Qaeda melibatkan Taliban untuk berkonflik dengan AS, dan tindakan tersebut membuat Taliban yang berbasis di Afghanistan harus rela diserang oleh AS. Hal ini mengakibatkan putusnya pasokan kekuatan kepada Taliban pasca penyerangan terhadap jaringan-jaringan Al-Qaeda

Hubungan antara Taliban dan Pakistan dapat dikatakan sebagai hubungan yang dilematis: hubungan yang sebelumnya bersekutu beralih menjadi musuh. Ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan, Pakistan selalu berusaha untuk mendukung kelompok Mujahidin—kumpulan pejuang gerilyawan yang bertindak atas nama Islam, nantinya akan tergabung dalam kelompok Taliban—untuk menggantikan kelompok Marxis yang berkuasa di pemerintahan (Akhtar, 2008). Pakistan melakukan hal ini tentunya dilandasi oleh kepentingan pribadi, mengingat eksistensi Uni Soviet dan pembentukan 'negara boneka' akan berdampak terhadap keamanan Pakistan. Dukungan Pakistan pada Taliban diwujudkan dalam hubungan diplomatik, menyediakan madrasah atau sekolah islam sebagai sumber perekrutan anggota serta memberikan akses kepada masjid yang ada di Pakistan sebagai sumber pendanaan (Akhtar, 2008). Pakistan juga memberikan pelatihan militer dan memenuhi kebutuhan lainya—misalnya, pada tahun 1997, Pakistan menyumbangkan dana sebesar US$30 juta untuk kelompok Taliban dan US$10 juta untuk membiayai pendapatan pemerintah Pakistan demi nama baik Taliban (Byman, 2005). Perlu disadari bahwa hubungan antara Pakistan dengan Taliban bukan berlandaskan niat tulus tetapi kepentingan untuk saling memanfaatkan. Pakistan menggunakan sumbangan dana agar menjaga Taliban tetap tunduk dan memikat Taliban agar selalu setia membela Pakistan, terutama terhadap India (Johnson, 2016). Pada akhirnya, Pakistan merasa lebih dirugikan dan ditekan akibat insiden 9/11 (Hussain & Siraj, 2019). Pakistan mulai berpaling dari Taliban dan bersedia untuk bekerjasama dengan AS dalam memberantas terorisme yang ditimbulkan Taliban melalui Al-Qaeda (Akhtar, 2008).

Jika diperhatikan secara saksama, permasalahan sesungguhnya dalam hubungan dilematis Al-Qaeda-Taliban terletak dalam tubuh kelompok Taliban karena ambiguitas tujuan, batasan, dan konflik kepentingan dalam organisasi (Johnson, 2016). Sering terjadi kesalahpahaman dan perbedaan persepsi terkait tata cara mendapatkan pendapatan, terdapat beberapa golongan yang menentang tindakan kriminal dan mengatakan tujuan organisasi ini telah melenceng dari prinsip Islam (Yousafzai & Moreau, 2011 dalam Johnson, 2016). Misalnya, para pemimpin Taliban tidak mempedulikan bagaimana 2500 orang sipil dibunuh untuk menegakkan prinsip organisasi yang melenceng dari nilai yang dianut masyarakat (Livingstone & O’Hanlon, 2013 dalam Johnson, 2016), dan pasukan yang mengorkestrasi pembunuhan ini tak dapat memprotes sehingga mereka harus merasakan tekanan moral dan menanggung perasaan bersalah (Yousafzai & Moreau, 2011 dalam Johnson, 2016). Kondisi organisasi ini semakin memburuk pascaserangan balasan AS terhadap Al-Qaeda, karena menjadi buronan dan diserang habis-habisan oleh koalisi AS dalam perang global melawan terorisme mengakibatkan organisasi ini lemah dan berantakan (Johnson, 2016). Selain itu, konflik kepentingan sangat terlihat, setelah Afghanistan dibom secara terus menerus, Mullah Omar yang menjadi pemimpin Taliban tidak akan menyerahkan Osama bin Laden (Byman, 2005). Hal ini berarti pemimpin Taliban lebih rela negaranya dan anggotanya tersiksa demi melindungi orang yang malah merusak dan memperburuk citra Taliban di mata masyarakat internasional.

Tekanan internasional terhadap Taliban juga meningkat. Berbagai negara seperti Rusia, India, Uzbekistan, Tajikistan, Iran, dan bahkan Pakistan, serta NATO (North Atlantic Treaty Organization) menentang dan mengecam tindakan terorisme yang terkait erat dengan Taliban (Byman, 2005). Begitupun pemerintahan Afghanistan yang bersedia bekerja sama dengan AS demi mewujudkan perdamaian dalam negaranya yang selalu dipenuhi oleh peperangan dan ketidakstabilan (North, 2021). AS berupaya untuk mewujudkan perdamaian dengan merencanakan pertemuan di Doha dengan Taliban pada 2018 tahun yang lalu. Namun, upaya ini gagal karena pembunuhan prajurit AS yang mengakibatkan Presiden Trump membatalkan perjanjian (The U.S. War in Afghanistan, 2021). Pada pemerintahan Biden, kembali diajukan rencana perdamaian yang harus disepakati oleh kelompok Taliban dengan syarat menghentikan tindakan terorisme, tetapi kenyataannya pasukan Taliban kembali melanggar dengan menyerang pasukan keamanan Afghanistan (The U.S. War in Afghanistan, 2021). Upaya perdamaian selalu gagal karena ketiadaan jaminan dari kelompok Taliban untuk tidak melanggar kesepakatan. Meskipun terdapat miskomunikasi antaranggota yang memang menjadi permasalahan dalam organisasi ini, seharusnya pemimpin Taliban mampu mengarahkan anggotanya agar tidak melakukan kesalahan dengan melanggar. Pemimpin Taliban juga tidak berhak untuk membuat seolah-olah anggotanya yang salah akibat tidak mengetahui kesepakatan perdamaian hanya untuk mewujudkan kepentingan pihak tertentu.

Sudah waktunya Taliban menyerah demi mewujudkan perdamaian terutama untuk keberlangsungan Afghanistan yang lebih baik. Taliban juga harus menyadari bahwa kekuatan organisasinya kian melemah karena semakin sulit untuk mendapatkan sumbangan dana. Selain itu, Taliban juga tak dapat selalu bertahan dengan gerilya, mengingat pertahanan militer Taliban tidak sekuat AS. Terkait ketakutan dari Taliban adalah pengaruh asing, Taliban harus mampu meyakinkan komunitas internasional agar tidak melakukan kesalahan kembali untuk mencapai keinginannya terlepas dari hadirnya invasi asing dalam politik domestik Afghanistan. Jadikan kesempatan seperti dukungan dari Cina, Pakistan, dan Amerika Serikat sebagai suatu momen positif untuk mencapai keharmonisan (Dobbins & Malkasians, 2015). Keterbukaan Rusia yang memaklumi tindakan Taliban selepas mengecam aksi terorisme yang sebelumnya diinisiasi organisasi serupa menjadi bukti konkret bahwa selalu ada kesempatan kedua untuk memaafkan Taliban (Korybko, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa hal yang terpenting adalah perwujudan janji yang tertuang dalam kesepakatan antara AS dengan Taliban untuk tidak lagi terlibat dengan terorisme dan penyerangan terhadap penduduk sipil serta komunitas yang berada di sekitar kawasan Afghanistan.

REFERENSI

Afghanistan under the Taliban. (2005). In D. Byman, Deadly Connections: States that Sponsor Terrorism (pp. 187-218). New York, US: Cambridge University Press.

Akhtar, N. A. (2008). Pakistan, Afghanistan, and The Taliban. International Journal on World Peace, 25(4), 49-73. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/20752859

Dobbins, J., & Malkasian, C. (2015). Time to Negotiate in Afghanistan: How to Talk to the Taliban. Foreign Affairs, 94(4), 53-64. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/24483817

Hussain, S., & Siraj, S. A. (2019). Coverage of Taliban conflict in the Pak–Afghan press: A comparative analysis. the International Communication Gazette, 81(5), 1-22. doi:10.1177/1748048518817649

Ibrahimi, N., & Akbarzadeh, S. (2019). Intra-Jihadist Conflict and Cooperation: Islamic State–Khorasan Province and the Taliban in Afghanistan. Studies in Conflict & Terrorism, 1-22. Retrieved from : https://doi.org/10.1080/1057610X.2018.1529367

Johnson, R. (2016). The Taliban. In B. Heuser & E. Shamir (Eds.), Insurgencies and Counterinsurgencies: National Styles and Strategic Cultures (pp. 246–266). chapter, Cambridge : Cambridge University Press. doi :10.1017/9781316471364.012

Korybko, A. (2021, July 24). Russia Is Right To Regard The Taliban As Reasonable. Retrieved from oneworld: https://oneworld.press/?module=articles&action=view&id=2134

North, A. (2021, July 14). No exit: A generation of young Afghans faces the end of the US era. Retrieved from Nikkei Asia: https://asia.nikkei.com/Spotlight/The-Big-Story/No-exit-A-generation-of-young-Afghans-faces-the-end-of-the-US-era

The U.S. War in Afghanistan. (2021). Retrieved from Council on Foreign Relations: https://www.cfr.org/timeline/us-war-afghanistan

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet