Alternatif Damai Jebakan Thucydides: “Rivalry Partnership”

Oleh: MIA

Dalam “Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap?”, Graham Allison (2017) berargumen bahwa terdapat “structural stress” yang mendorong hegemon untuk berkonflik dan, dalam kasus terburuk, berperang dengan kekuatan yang baru bangkit. Hegemon berusaha mempertahankan kekuatan dan pengaruhnya di sistem internasional dari kekuatan lain sedangkan kekuatan baru menuntut entitlement yang datang dari perkembangan kekuatannya terhadap kekuatan lama. Di tulisan ini, Allison menjelaskan problematika tersebut dengan memaparkan 16 kasus relasi hegemon dengan kekuatan baru di mana 12 kasus berakhir dengan perang dan hanya 4 yang melihat transisi kekuatan berjalan dengan damai. Seperti kasus-kasus yang dipaparkan, relasi Amerika Serikat dan Cina kontemporer memperlihatkan pola hubungan yang sama antara hegemon dengan kekuatan yang baru bangkit di mana AS merupakan hegemon dan Cina sebagai kekuatan baru. Berangkat dari isu tersebut, Allison menjelaskan apa dan bagaimana hubungan kedua negara dapat berakhir dalam perang maupun tidak.

Kehancuran dari Eskalasi Konflik Kekuatan Besar Era Kontemporer

Konflik antara kekuatan besar seperti yang dihasilkan dari stres struktural di atas memiliki konsekuensi negatif terhadap sistem internasional dari waktu ke waktu. Eskalasi konflik kekuatan besar kontemporer tetapi memberikan dampak negatif yang lebih besar dibanding konflik kekuatan besar sebelumnya. Sama seperti kehancuran yang ditimbulkan dari ide “perang total” saat Perang Dunia I dan II melampaui konflik kekuatan besar abad ke-19 dan sebelumnya, perang di abad ke-21 akan membawa kehancuran yang lebih karena natur teknologi senjata modern yang ada seperti senjata pemusnah massal (WMD). Kepemilikan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina atas senjata pemusnah massal berupa hulu ledak nuklir akan membawa kehancuran masif tidak hanya pada pihak yang berkonflik tetapi juga akan berdampak pada negara lain pula serta memiliki efek jangka panjang. Dari kesehatan jangka panjang individu yang selamat dari ledakan nuklir, keberlangsungan ekosistem sekitar ledakan, hingga manusia dan makhluk hidup lain yang dilewati oleh angin yang membawa partikel dari ledakan nuklir. Pada kasus terburuk perang nuklir dalam skala besar, dapat terjadi “nuclear winter” yang disebabkan debu dan asap dalam jumlah besar yang naik ke atmosfer berkat ledakan nuklir dapat menutupi sinar matahari dan menurunkan temperatur (Encyclopaedia Britannica, n.d).

​Pada kasus perang konvensional pun antara AS dan Cina, baik dalam skenario perang total ataupun perang terbatas, negara lain di kawasan juga dapat terpengaruh. Hal ini merupakan konsekuensi dari dua hal. Pertama, keberadaan jaringan keamanan di antara negara-negara di kawasan. Cina memiliki pakta pertahanan dengan Korea Utara dan memiliki hubungan keamanan informal dengan negara besar seperti Rusia. Sedangkan Amerika Serikat di Asia-Pasifik memiliki hubungan keamanan formal dengan Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Malaysia, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. Perang di antara kedua kekuatan ini berpotensi untuk membawa negara-negara yang menjadi sekutu formal mereka untuk bergabung ke dalam konflik. Kedua, ketergantungan Cina akan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan mineral domestiknya. Terkait hal ini, Amerika Serikat telah memiliki rencana untuk memblokade jalur air yang vital bagi perdagangan Cina seperti Selat Malaka dan Selat Sunda jika hubungan kedua negara memiliki eskalasi (Rachman, 2017). Perluasan angkatan lautnya selama beberapa tahun terakhir tetapi membuat Cina memiliki kemampuan untuk menghadapi rencana AS tersebut. Ketika kedua negara besar melakukan kontak bersenjata untuk memperebutkan jalur air seperti Selat Malaka, negara-negara di sekitarnya seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura dapat mengalami gangguan ekonomi karena kapal kargo yang biasanya melintas akan mencari jalur alternatif.

Hubungan Jenis Baru bagi Amerika Serikat dan Cina: “Rivalry Partnership”

Frasa “rivalry partnership” untuk hubungan hegemon dengan kekuatan baru yang bersifat damai tetapi tidak selalu kooperatif diperkenalkan Allison (2019) dalam tulisannya yang berjudul “Could the United States and China be Rivalry Partners?”. Pada konsep hubungan kekuatan besar ini, penerimaan akan keberadaan satu sama lain yang berbeda dan bertentangan (coexistence) memainkan peranan penting untuk mencapai hubungan kekuatan besar yang damai. Persaingan antara kekuatan besar dalam konsep ini dibatasi dari persaingan di bidang militer dan senjata menjadi yang lebih tidak berbahaya seperti pada bidang teknologi, perekonomian, atau sosial masyarakat. Dalam kata lain persaingan diarahkan dari persaingan negatif yang dapat mengarah pada perang menjadi persaingan positif yang ditujukan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Selain itu, dalam persaingan positif di hubungan “rivalry partnership” pada kasus tertentu diharapkan akan berkembang sebuah kerja sama di sektor-sektor tadi. Untuk menggambarkan konsep ini, Allison menggunakan contoh hubungan Dinasti Liao di utara Cina dengan Dinasti Song di selatan dan hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin, dengan penekanan tehadap kasus Krisis Nuklir Kuba.

​Jenis hubungan kekuatan besar yang diajukan Allison ini tetapi tidak semudah itu untuk dibangun. Natur konflik kekuatan besar yang disebabkan “structural stress” merupakan sesuatu yang kompleks karena hegemon berusaha mempertahankan posisinya sedangkan kekuatan baru menginginkan tempat di sistem internasional. Maka dari itu dalam rangka menciptakan “rivalry partnership”, kekuatan besar yang ada diperlukan untuk memiliki pemahaman bahwa konflik di antara mereka dapat menciptakan kehancuran dan kemenangan dalam konflik tidak membawa keuntungan atau memakan biaya yang besar. Tanpa hal tersebut, atau dalam kasus hanya satu pihak saja yang memiliki pemahaman, satu pihak akan melakukan tindakan yang mengancam keseimbangan kekuatan secara drastis dan memaksa pihak yang lain untuk bertindak. Lebih lanjut, untuk menciptakan hubungan “rivalry partnership” diperlukan kedua belah pihak untuk memahami kepentingan satu sama lain, mengakomodasi kepentingan sendiri dan kepentingan pihak lain, dan memberikan konsesi.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet