Advancing Abrahamic Peace: Can Muslims, Christians, and Jews Live in Permanent Peace Globally in the 21st Century?

oleh: Herman Jaknanihan

Menjelang berakhirnya abad ke-20, tatanan dunia mengalami pergeseran dengan globalisasi yang semakin pesat dan pertukaran informasi yang makin tak mengenal batas. Hal tersebut turut membawa perubahan pada tataran sosial dan kultural masyarakat yang menembus hingga level akar rumput, salah satunya dampaknya adalah masyarakat yang semakin sekuler dan memiliki demarkasi lebih jelas antara agama dan kehidupan pribadi. Di tengah perubahan tersebut, pertanyaan baru akhirnya muncul, “Apakah agama masih tetap relevan?” Daniel Dennet memberikan argumen terkenal yang berakhir dengan kesimpulan bahwa pengaruh agama perlahan akan memudar dan kehilangan relevansinya di masyarakat global pada abad ke-21. Akan tetapi, hipotesis Dennet justru dihadapkan dengan hasil yang sebaliknya. Terjadinya demokratisasi secara massal di berbagai daerah justru membuka peluang bagi kelompok agama untuk mengambil tempat. Hal serupa juga dialami Indonesia, yaitu ketika demokrasi setelah 1998 akhirnya memberi peluang bagi gerakan islamis untuk mengambil tempat di masyarakat, berakibat pada fenomena Urban Islamization di Indonesia — peristiwa yang bagi beberapa kalangan kerap dinilai sebagai anomali karena wilayah perkotaan yang lebih modern kerap dikaitkan dengan gaya hidup yang sekuler.

Masyarakat saat kini akhirnya dihadapkan oleh polarisasi antara umat beragama. Munculnya media baru dan arus informasi secara cepat juga turut berkontribusi pada menguatnya konstruksi identitas antara ‘aku’ dan ‘liyan,’ antara ‘umatku’ dan ‘bukan umatku.’ Kondisi tersebut akhirnya memicu pertanyaan besar yang dibahas dalam salah satu panel CIFP 2019 dengan judul Advancing Abrahamic Peace: Can Muslims, Christians, And Jews Live In
Permanent Peace Globally In The 21st Century? Sakdiyah Ma’ruf dalam panel mengutarakan pertanyaan utama, “Apakah dialog antarumat beragama masih relevan?” Dialog antarumat, meskipun dilaksanakan secara konvensional, kerap dianggap dapat menumbuhkan solidaritas antarumat beragama. Meskipun menjawab dengan nada serupa, Pdt. Jan Aritonang menyebutkan terdapat banyak hal yang mengakibatkan redudansi dari dialog antaragama. Dialog antaragam kerap hanya melibatkan kalangan elite agama tertentu. Padahal, masalah intoleransi justru datang dari masyarakat level akar rumput, bukan ranah elite organisasi keagamaan besar sekaliber Nahdlatul Ulama atau PGI. Selain itu, dialog antaragama juga kerap hanya bersifat simbolis dengan hanya membuat dialog yang penting dihadiri oleh partisipan lintas agama, tetapi melupakan aspek susbstansi yang berusaha untuk dibangun.

Antagonisasi agama juga akhirnya kerap membuat masalah konflik yang diakibatkan oleh polarisasi agama makin diperburuk. Demokratisasi dan diterapkannya keadilan sosial kerap diasosiasikan dengan pelemahan nilai agama di masyarakat tersebut, serupa dengan retorika “Semakin sekuler negaranya, semakin sejahtera masyarakatnya.” Akan tetapi, bila menilik
beberapa transisi masyarakat dalam sejarah, perubahan dalam ranah demokratisasi substansial di banyak negara justru didorong oleh peran kelompok agama. Gerakan demokratisasi dan penegakan HAM di Amerika Latin tahun 1980-an justru didorong oleh kelompok Katolik melalui ajaran teologi pembebasan. Arab Spring di Mesir didorong oleh kelompok Islamis, dan dikenalkannya demokrasi di kalangan agama Indonesia juga justru didorong oleh beberapa organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Mengutarakan hal yang sama, Ust. Abdullah Syukri berkata bahwa nilai demokrasi bisa berjalan seiringan dengan gerakan yang didorong oleh kelompok agama. Akhir kata, keempat pembicara dalam panel setuju bahwa perdamaian antara umat beragama, terlebih agama-agama Ibrahim, dapat tercapai dan hal tersebut dimulai dari ranah yang paling dekat, yaitu diri sendiri tanpa ekslusi satu sama lain.

--

--

Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM
Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

Written by Foreign Policy Community of Indonesia chapter UGM

“Shape & promote positive Indonesian internationalism throughout the nation & the world.” | Instagram: @fpciugm | LINE: @toh2615q | LinkedIn: FPCI Chapter UGM

No responses yet